Kejutan Rahmat Erwin Abdullah di Panggung Angkat Besi
Lifter muda Rahmat Erwin Abdullah membuat kejutan meraih perunggu kelas 73 kg walau berlaga dari Grup B. Ini petanda positif angkat besi Indonesia guna menjaga tradisi dan meraih medali lebih baik di Olimpiade berikut.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
TOKYO, RABU – Lifter muda kelas 73 kilogram Indonesia, Rahmat Erwin Abdullah (20), membuat kejutan di Olimpiade Tokyo, di Tokyo International Forum, Rabu (28/7/2021). Walau berlaga dari Grup B, lifter asal Makassar itu merebut medali perunggu dengan total angkatan 342 kilogram dan hanya bisa dilampaui oleh dua lifter senior Grup A. Kejutan Rahmat menunjukkan keberhasilan regenerasi atlet angkat besi Indonesia.
”Capaian Rahmat ini spektakuler. Jarang terjadi lifter di Grup B bisa merebut medali, kecuali lifter Korea Utara Om Yun-chol yang meraih emas kelas 56 kg di Olimpiade London 2012,” ujar Kepala Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PB PABSI) Hadi Wihardja, saat dihubungi dari Jakarta.
Pada laga Grup B, Rahmat melakukan angkatan snatch 152 kg dan clean and jerk 190 kg di kesempatan ketiga. ”Tadi pas mau angkatan clean and jerk, otot hamstring Rahmat hampir cedera. Tim pelatih dan ayah Rahmat, Erwin Abdullah, buru-buru menyemprot penghilang nyeri dan mengurutnya. Beruntung, walau gagal di angkatan kedua, Rahmat berhasil di clean and jerk ketiga yang sangat menentukan,” kata pelatih kepala Dirdja Wihardja.
Raihan itu hanya bisa dilampaui oleh lifter China Zhiyong Shi (27) yang meraih emas dengan total angkatan 364 kg, yang berlaga dalam Grup A, selang dua jam kemudian. Zhiyong Shi memecahkan rekor snatch Olimpiade dengan 166 kg, rekor clean and jerk Olimpiade dengan 198 kg, dan rekor dunia dengan 364 kg. Perak direbut lifter Venezuela Julio Ruben Mayora Pernia dengan total angkatan 346 kg (snatch 156 kg, clean and jerk 190 kg).
Kunci kesuksesan Rahmat adalah bisa mencapai clean and jerk 190 kg. Angkatan itu sulit dilampaui oleh lifter di Grup A, kecuali oleh Zhiyong.
Masa depan cerah
Keberhasilan Rahmat membuat tim angkat besi Indonesia mengumpulkan satu perak dan dua perunggu di Olimpiade ini. Sebelumnya, lifter putri Windy Cantika Aisah (19) meraih perunggu kelas 49 kg, Sabtu (24/7) dan lifter senior Eko Yuli Irawan merebut perak kelas 61 kg, Minggu (25/7).
Rahmat dan Cantika merupakan hasil program pembinaan usia muda yang dilakukan pelatnas PB PABSI sejak 2017. Mereka mulai mengorbit di SEA Games 2019 Filipina. Ketika itu, Rahmat merebut medali emas kelas 73 kg dan Cantika meraih emas 49 kg putri.
Waktu itu, Rahmat dan Cantika tidak disangka-sangka bisa merebut emas karena mereka masih sangat muda dan itu ajang multi cabang perdana mereka.
Itu adalah dua dari empat emas yang diperoleh angkat besi Indonesia. Dua emas lainnya diraih lifter senior, yakni Eko di 61 kg dan Deni di 67 kg.
”Waktu itu, Rahmat dan Cantika tidak disangka-sangka bisa merebut emas karena mereka masih sangat muda dan itu ajang multi cabang perdana mereka,” ujar Dirdja.
Selain Rahmat dan Cantika, PB PABSI juga memiliki empat lifter muda lain yang juga menjanjikan. Di kelas 73 kg, selain Rahmat, ada Rizki Juniansyah yang memecahkan tiga rekor dunia yunior sekaligus dalam Kejuaraan Dunia Yunior 2021 di Tashkent. Lifter 18 tahun itu memecahkan rekor snatch dengan 155 kg, clean and jerk 194 kg, dan total angkatan 349 kg.
Selain itu, ada Muhammad Faathir yang masih 18 tahun di kelas 61 kg dan menggenggam rekor dunia remaja total angkatan 273 kg yang dicetak pada Kejuaraan Asia Remaja dan Yunior 2020.
Di putri, terdapat juga lifter 55 kg Juliana Klarisa yang berusia 19 tahun dan lifter 64 kg Restu Anggi yang berusia 18 tahun. Enam lifter muda itu juga masih punya beberapa pelapis yang tak kalah potensial.
Menjaga tradisi medali
Hadi mengatakan, sekarang, PB PABSI memang fokus untuk melakukan regenerasi untuk menjaga tradisi medali Olimpiade yang telah bertahan 21 tahun atau sejak lifter putri Raema Lisa Rumbewas meraih perak 48 kg di Olimpiade Sydney 2000. Selain itu, ada Sri Indriyani dengan perunggu 48 kg dan Winarni Binti Slamet perunggu 53 kg pada Olimpiade 21 tahun silam.
Apalagi generasi Eko sudah memasuki usia pensiun, seperti Eko berusia 32 tahun dan Deni kelas 67 kg berusia 32 tahun. Walau masih bisa bertahan sampai Olimpiade Paris, bukan perkara gampang bagi Eko yang bakal berusia 35 tahun pada tiga tahun mendatang untuk bersaing merebut medali, terutama emas.
Yang menjadi pekerjaan rumah utama saat ini, lanjut Hadi, PB PABSI dan segenap pihak terkait perlu bersinergi untuk merawat bersama para “mutiara” yang ada agar bisa meraih prestasi lebih baik di Paris 2024. Penerapan sport science harus lebih tajam. Para lifter pun perlu mendapatkan lebih banyak jam terbang bertanding di level internasional.
Sekarang, merawat lebih sulit dari mencetak atlet. Lebih-lebih di tengah suasana pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhir, mengirim atlet ikut kejuaraan internasional di luar cukup sulit. ”Sebagai solusi, mungkin kami perlu lebih sering mengadakan kejuaraan daring agar atlet muda ini terus terasah mental bertandingnya,” kata Hadi.
Ini memerlukan pelatih conditioning yang melekat, jangan cuma seminggu sekali.
Dalam pembinaan, lifter muda tidak bisa pula dipaksa untuk langsung punya angkatan jauh lebih besar. Pembinaan mereka perlu menyesuaikan usia dan kondisi tubuh. Yang utama saat ini, pondasi tubuh lifter muda patut dibangun lebih kuat agar bisa mengangkat barbel lebih berat tanpa cedera memasuki level senior dua-tiga tahun ke depan. ”Ini memerlukan pelatih conditioning yang melekat, jangan cuma seminggu sekali,” tegas Dirdja.