Olimpiade Tokyo 2020 memberikan pelajaran berharga untuk peningkatan prestasi panahan Indonesia ke depan. Ada beberapa aspek yang masih harus dibenahi untuk mengakhiri paceklik medali panahan Indonesia.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
TOKYO, KOMPAS — Tim panahan Indonesia memperpanjang paceklik medali setelah pulang tanpa hasil dari Olimpiade Tokyo 2020. Tiga pemanah terakhir nomor recurve individu putra dan putri kandas. Kegagalan itu menyiratkan ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan Pengurus Pusat Persatuan Panahan Seluruh Indonesia ke depan.
Ketiga pemanah, Riau Ega Agata Salsabilla, Diananda Choirunisa, dan Alviyanto Bagas Prastyadi, yang tampil di nomor individu, Kamis (29/7/2021), di Yumenoshima Archery Park, Tokyo, gagal mengakhiri paceklik medali cabang panahan, setelah Olimpiade Seoul 1988.
Alviyanto dan Diananda tersingkir di babak 64 besar. Alviyanto harus mengakui keunggulan pemanah Australia Taylor Worth dengan skor 6-0. Kemudian, giliran Diananda kalah dari pemanah Denmark Maja Jager dengan skor 6-2.
Sementara itu, Ega sempat menang mudah atas pemanah senior Australia David Barnes dengan skor 7-1. Ega melaju ke babak 16 besar dan menghadapi pemanah Amerika Serikat, Jacob Wukie.
Ega kehilangan banyak poin di set pertama dan kalah 19-28. Dia bangkit di set kedua dan memaksakan hasil imbang 28-28. Skor menjadi 1-3 untuk keunggulan Wukie.
Di set ketiga, Ega tampil sempurna dengan mengemas 30 poin. Ketenangan menjadi kunci penampilan Ega. Dari alat sensorik yang dipasang panitia, detak jantung Ega stabil 140 kali per menit dan turun menjelang melepaskan anak panah. Angka detak jantung yang stabil dan cenderung melambat mencerminkan ketenangan dan fokus yang terjaga.
Pemenang laga ini harus ditentukan lewat babak shoot off. Kedua pemanah bermain imbang di set keempat dan kelima. Ega kalah di set keempat dengan skor 26-27, tetapi merebut set kelima dengan skor 28-24.
Di babak shoot off, pemanah hanya memanah satu kali. Ega memanah lebih dulu. Detak jantungnya naik dari 150 kali per menit menjadi 167 kali per menit. Bidikan Ega melenceng dan mendapat 8 poin. Wukie justru lebih tenang. Detak jantungnya di kisaran 135-134 kali per menit dan terus turun. Pada akhirnya Wukie mendapatkan 9 poin dan membuat Ega kalah dengan skor 5-6.
Pelatih tim panahan Indonesia, Permadi Sandra Wibowo, mengatakan, Olimpiade Tokyo 2020 memberikan pelajaran berharga untuk peningkatan prestasi panahan Indonesia ke depan. Aspek peningkatkan fasilitas latihan dan pembinaan harus dibenahi.
Dari aspek fasilitas, alat latihan mendesak untuk ditingkatkan karena alat yang seharusnya digunakan para pemanah di Olimpiade baru datang satu minggu sebelum berangkat ke Tokyo.
Kalau saja alat baru tiba lebih cepat, mereka punya waktu menyesuaikan diri dan bisa meningkatkan performa.
”Peralatan memanah yang baru tiba sepekan sebelumnya digunakan sebagai cadangan di Tokyo, karena pemanah belum terbiasa menggunakannya. Kalau saja alat baru tiba lebih cepat, mereka punya waktu menyesuaikan diri dan bisa meningkatkan performa,” ujar Permadi.
Selain itu, pembenahan kompetisi panahan yang bermuara pada pembinaan atlet juga harus segera dilakukan. Saat ini, beberapa kejuaraan sudah digelar, tetapi masih terpencar dan belum tertata rapi oleh Perpani.
Permadi berharap, ke depan kejuaraan panahan di Indonesia bisa dikumpulkan dalam satu kalender kompetisi yang lebih rapi. Itu bertujuan untuk memudahkan pemantauan pemanah potensial.
”Kalau (kejuaraan yang ada) tertata, ini tentunya bisa memudahkan untuk pembibitan. Dalam setiap kejuaraan itu dibuatkan sistem poin yang betul sehingga bisa jadi ajang mencari bakat-bakat baru,” katanya.