Pebulu tangkis Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung, kembali kesulitan menghadapi pemain Thailand, Ratchanok Intanon, pada Olimpiade Tokyo 2020. Gregoria kalah dan peluang Indonesia meraih medali tunggal putri tertutup.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
TOKYO, KOMPAS — Momen hampir menang Gregoria Mariska Tunjung atas Ratchanok Intanon dalam persaingan sebelum bertemu di Olimpiade Tokyo 2020 tidak juga berubah menjadi kemenangan. Gregoria bahkan tak bisa mengulang penampilan baiknya yang penuh gereget ketika bertemu pada tiga pertemuan lain.
Ketiga pertemuan itu terjadi pada babak kedua Indonesia Terbuka 2019, babak ketiga Kejuaraan Dunia 2019, dan babak pertama Indonesia Masters 2020. Tiga momen itu memiliki kesamaan: Gregoria memenangi gim pertama, lalu hampir menang pada gim berikutnya, tetapi kalah pada gim ketiga.
Di Musashino Forest Plaza, Kamis (29/7/2021), satu-satunya wakil tunggal putri Indonesia di Tokyo 2020 itu baru bisa mengimbangi Intanon menjelang akhir gim kedua. Namun, upaya itu terlambat. Gregoria kalah dengan skor 12-21, 19-21, yang membuatnya selalu kalah dalam delapan pertemuan dengan Intanon.
Seperti dilaporkan wartawan Kompas, Agung Setyahadi, dari Tokyo, sejak pertandingan dimulai, Gregoria lebih banyak memberi poin bagi lawan dibandingkan bagi dirinya sendiri karena banyak membuat kesalahan.
Pemain Indonesia peringkat ke-23 dunia itu juga tak bisa mengimbangi permainan Intanon yang dengan cerdik mengarahkan pukulan hingga sulit dijangkau. Pemain Thailand juara dunia 2013 itu dengan mudah mendapat angka dari smes, permainan yang membuat kok meluncur tipis di net, bahkan melalui lob yang jatuh di garis pinggir atau belakang lapangan. Intanon merebut gim pembuka hanya dalam waktu 15 menit.
”Pada gim pertama, saya mainnya ikut cepat, padahal pola cepat tidak menguntungkan untuk saya. Dalam pengembalian, saya sebenarnya berusaha ingin menyusahkan lawan, tetapi justru berbuah kesalahan,” kata Gregoria.
Gregoria hampir kalah dengan cepat ketika langsung tertinggal 1-7 pada gim kedua. Dia tak juga bisa mengatur irama permainan. Untuk menenangkan diri, dia menepuk-nepuk dadanya sambil menarik napas dalam.
Pemain asal PB Mutiara Cardinal Bandung itu masih kesulitan, terutama ketika Intanon beberapa kali mengajaknya adu permainan net. Dua kali, tunggal putri peringkat keenam dunia itu meraih poin dari adu net, salah satunya dengan diakhiri net silang yang mengecoh Gregoria.
Ketika Intanon membutuhkan empat poin lagi untuk menang, barulah Gregoria bisa tampil lebih ”panas” dengan mempercepat tempo permainan. Dia meraih lima poin beruntun, sejak skor 8-17 menjadi 15-17.
Dua match point Intanon juga digagalkannya, dari 17-20 menjadi 19-20. Namun, momen bangkitnya pemain berusia 21 tahun itu terlambat. Intanon, yang tinggal membutuhkan satu poin lagi untuk menang, mendapatkannya ketika kok dari backhand Gregoria tidak bisa melewati net.
Pada gim kedua, saya merasa, masa kalah dengan penampilan seperti ini. Kalau kalah dengan tidak mencoba berjuang, pasti akan menyesal sekali.
”Pada gim kedua, saya merasa, masa kalah dengan penampilan seperti ini. Kalau kalah dengan tidak mencoba berjuang, pasti akan menyesal sekali. Kalah dalam kondisi seperti ini juga menyesal, tetapi kalau tidak mencoba, akan lebih menyesal,” ujar Gregoria.
Ditemui di area mixed zone Musashino Forest Sport Plaza, juara dunia yunior 2017 itu juga bercerita ingin membuktikan kepada dirinya bahwa dia bisa bermain dengan baik pada ajang besar. ”Saya ingin membuktikan, di Olimpiade yang empat tahun sekali ini, saya bisa mengeluarkan kemampuan terbaik. Namun, saat berada di lapangan, tekanan memang terasa lebih besar, apalagi pertandingan sudah memasuki sistem gugur. Saya tidak bisa mengatur tekanan dan ekspektasi,” katanya.
Gregoria telah berusaha untuk bermain lepas, tanpa beban. Namun, tidak dimungkiri, bermain di ajang sebesar Olimpiade membuatnya tak bisa melupakan tekanan itu.
”Kalau dikatakan kalah karena faktor tekanan, sebenarnya tidak juga, karena di awal, saya memang main berantakan. Jadi, kalahnya karena banyak faktor. Sementara pemain yang rankingnya sudah di atas sudah terbiasa menghadapi tekanan besar dan mereka bisa mengatasinya dengan baik,” lanjutnya.
Setelah tampil di Tokyo, Gregoria akan memperbaiki kelemahannya dalam sesi latihan. ”Sekarang, saya harus tahu kekurangan saya di lapangan dan saat saya menghadapi tekanan. Yang bisa mengubah itu, kan, diri saya sendiri dan itu harus dibiasakan di latihan. Kalau untuk turnamen, saya berharap dapat hasil terbaik karena dua tahun terakhir ini, hasil saya kurang bagus. Saya ingin membuat diri saya bangga atas hasil latihan saya. Setahap demi setahap," tuturnya.
Kemenangan atas Gregoria membuat Intanon akan berhadapan dengan unggulan kedua, Tai Tzu Ying (Taiwan), pada perempat final, di paruh bawah undian. Di paruh atas, unggulan pertama, Chen Yufei (China), akan bertemu pemain berusia 19 tahun, An Se-young (Korea Selatan).