Dukungan untuk Eko Yuli Terhalang Kuota, Doa Menembus Segalanya
Saat Olimpiade Rio 2016, Eko Yuli membawa pulang perak. Perjuangannya saat itu diiringi perjuangan ayah ibunya di Metro, Lampung, mencari sinyal untuk bisa menonton siaran Olimpiade.
Oleh
Angger Putranto
·4 menit baca
Ini cerita tentang Salman dan Wastinah, orangtua Eko Yuli. Kompas mengunjungi kediamannya di Metro, Lampung, sesaat setelah putra mereka menyumbangkan medali perak untuk Indonesia di Olimpiade Rio 2016. Tulisan ini merupakan cukilan dari berita yang telah tayang di harian Kompas, 11 Agustus 2016.
Di Metro, Lampung, Salman (47) dan Wastinah (45) tak pernah menyangka putra pertama mereka, Eko Yuli Irawan (27), kini lebih dari sekadar kebanggaan keluarga. Eko juga layak dibanggakan Indonesia. Tiga kali tampil di Olimpiade, tiga kali pula ia menyumbang medali.
Pada Olimpiade Beijing 2008, Eko membawa pulang medali perunggu. Keberhasilan kembali berulang empat tahun lalu saat di London 2012 kembali meraih perunggu. Di Olimpiade Rio 2016, hasil akhir lebih baik karena ia menggondol medali perak. Ini prestasi tertingginya di ajang Olimpiade.
Sayangnya, di tengah ingar-bingar kebanggaan tersebut, Salman dan Wastinah tidak bisa menjadi saksi sejarah bagi putranya. Mengingat, tiada satu televisi nasional pun yang menayangkan detik-detik bersejarah tersebut.
”Saya sudah menunggu dari pukul 20.00 sampai pukul 22.00 (Senin, 8/8/2016), tapi tidak ada yang menayangkan siaran langsung Olimpiade. Sekitar pukul 05.00 (Selasa, 9/8/2016), Angga (adik kedua Eko Yuli) menelepon saya. Dia meminta saya melihat Eko yang akan berlomba. Saya segera cari siaran di televisi, tetap tidak ada yang menyiarkan,” ujar Salman.
Salman dan anak-anaknya tidak kehabisan akal. Angga yang bisa menyaksikan kakaknya berlomba melalui televisi berbayar di Bekasi melakukan video call dengan adik ketiga Eko Yuli, Inge, yang tinggal bersama Salman di Metro, Lampung.
Salman, Wastinah, dan Inge harus berbagi tempat agar bisa menyaksikan perjuangan Eko melalui layar telepon genggam berukuran 5 inci. Ada kegembiraan ketika Eko berhasil melakukan angkatan pertama snatch seberat 142 kilogram.
”Pada angkatan kedua dan ketiga snatch, Eko gagal. Bikin dag-dig-dug. Kami bertiga cuma bisa berdoa agar dia bisa terus melakukan angkatan clean and jerk. Harapan kami terkabul. Dia bisa masuk final,” ujarnya.
Untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Kuota internet di telepon seluler milik Inge habis. Siaran video call yang hendak menayangkan aksi Eko Yuli di final clean and jerk seketika terhenti.
Rasa penasaran, tegang, dan kecewa berbaur menjadi satu. ”Saya memilih masuk kamar. Lemes rasanya. Mau tidur, tapi tidak ngantuk. Ya, cuma guling-gulingan di kasur. Saya cuma kepikiran, anak saya menang atau kalah? Moga-moga menang,” tutur Salman.
Baru sekitar pukul 06.00, Selasa, Salman mendapat telepon dari Angga yang mengabarkan bahwa Eko berhasil mendulang perak. Salman langsung melakukan sujud syukur atas prestasi yang ditorehkan putra pertamanya tersebut.
Sementara Wastinah yang sedang dalam perjalanan ke pasar sama sekali tidak mengetahui hasil perjuangan anaknya. Ia baru tahu ketika tiba di lapak tempatnya berjualan sayur-mayur di Pasar Pugung Raharjo.
”Tiba-tiba banyak orang menyalami saya dan mengucapkan selamat. Mereka minta traktir mie ayam karena Eko dapat perak. Ya saya jawab, nanti duitnya belum cair,” ujar Wastinah.
Mi rebus
Siapa yang menyangka, anak penjual sayur dan tukang becak yang dulunya sibuk menggembalakan kambing itu kini termasuk dalam jajaran orang kuat di dunia. Keinginan kuat Eko untuk membahagiakan orangtua telah ia wujudkan.
”Saya dan Eko pernah menggembalakan kambing bersama. Saat itu hujan turun. Eko yang kedinginan tiba-tiba berujar, ’Mak, makan mi rebus enak ini, Mak. Aku pengin mi rebus.’ Saat itu juga, saya ke warung mau ngutang mi, tapi tidak boleh,” kenang Wastinah.
Dari pengalaman itu, lanjut Wastinah, Eko Yuli selalu mengatakan bawah ia ingin membahagiakan orangtuanya. Kepada Wastinah, Eko Yuli berjanji akan menyejahterakan orangtuanya. ”Eko tidak mau melihat saya ngutang lagi,” ujar Wastinah.
Olimpiade Tokyo 2020 merupakan olimpiade keempat Eko Yuli. Di gelaran ini, Eko pun mengukir rekor, yaitu menjadi olimpian pertama yang selalu meraih medali di empat Olimpiade yang diikutinya, yaitu Beijing 2008, London 2012, Rio De Janeiro 2016, dan Tokyo 2020. Total dua perak dan dua perunggu dikoleksinya dari empat edisi Olimpiade berbeda.
Berkat Eko Yuli, Salman dan Wastinah bisa pindah dari rumah berdinding anyaman bambu berukuran 4 meter x 6 meter ke rumah berdinding tembok yang jauh lebih besar dan labih layak. Salman dan Wastinah juga telah diantarkan putranya menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji. Kemenangan demi kemenangan yang diraih Eko juga telah dikonversi menjadi 0,5 hektar lahan sawah dan 3,5 hektar kebun sawit di Lampung.
Eko Yuli tak hanya mampu mengangkat barbel-barbel beban di pentas dunia. Ia juga telah berhasil mengangkat martabat bangsa dan keluarganya. Semoga, negara yang telah diangkat martabatnya juga mampu menyejahterakan Eko dan atlet-atlet lainnya saat mereka tak lagi mampu berlaga di pentas olahraga.