Malam Panjang nan Melelahkan Menanti Italia dan Inggris di Wembley
Malam panjang yang melelahkan sudah menanti finalis Piala Eropa 2020, Italia dan Inggris, di laga puncak. Stadion Wembley, London, Inggris, akan menjadi saksi bisu perjuangan spartan mereka meraih trofi Henri Delaunay.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Publik Inggris amat yakin nyanyian ”Football’s Coming Home” mendekati kenyataan. Pada saat bersamaan, pendukung Italia tidak mau kalah. Mereka memparodikan nyanyian itu menjadi ”Football’s Coming Rome”. Dua keyakinan berbeda ini akan saling bersinggungan dalam laga puncak Piala Eropa 2020.
Namun, nyanyian atau parodi pendukung hanya bumbu penyedap pertarungan. Penentuan tim penguasa Eropa nanti tidaklah semudah mengucap tiga kata sederhana itu. Skuad Inggris dan Italia sudah dinanti malam panjang yang melelahkan, seperti yang sudah dialami dalam perjalanan ke final.
Di semifinal, Italia setengah mati menghadang dominasi Spanyol selama 120 menit yang akhirnya berpesta seusai drama adu penalti. Sehari kemudian, giliran Inggris bertarung hebat dua jam untuk merobohkan benteng Denmark.
Fabio Capello, mantan pelatih Inggris asal Italia, melihat final nanti sangat ideal. Bukan hanya karena punya basis pendukung banyak di liga domestik masing-masing, kedua tim juga memiliki kualitas, kebersamaan, dan gairah hampir sepadan.
”Inggris punya kekuatan dan agresivitas, juga striker top Harry Kane. Lalu Italia membuat saya kagum dengan persatuan dan gairahnya, juga punya kiper terbaik dunia (Gianluigi Donnarumma),” kata Capello membandingkan para finalis.
Bakal lebih sulit
Hasil akhirnya jauh dari kata pasti. Trofi bisa saja pulang ke ”kampung” sepak bola, Inggris, atau melenggang ke Italia. Di antara ketidakpastian itu, ada hal yang hampir pasti terjadi. Pertarungan di Stadion Wembley nanti akan lebih sulit dari bayangan, mungkin tidak akan selesai hanya dalam 90 menit.
Perpanjangan waktu menjadi hal yang lumrah di turnamen ini. Sebanyak separuh laga di babak gugur, yaitu 7 dari 14, berlangsung hingga 120 menit. Tiga laga di antaranya bahkan berlanjut sampai adu penalti.
Para finalis sendiri sudah merasakan pertandingan menguras fisik itu. Italia dua kali melewati perpanjangan waktu, sementara Inggris baru sekali. Perjalanan serupa pun berpeluang terulang di final nanti.
Diakui Pelatih Inggris Gareth Southgate, bakal sangat sulit mengalahkan Italia. ”Laga nanti akan sangat imbang karena Italia lawan hebat. Mereka tidak terkalahkan dalam 33 laga terakhir. Akan sulit membobol gawang mereka,” katanya.
Selain itu, seluruh tim pasti akan berhati-hati ketika berlaga di final. Inggris, misalnya, tidak akan tergesa-gesa memanfaatkan momen yang baru datang setelah penantian 55 tahun ke final. Begitu pula dengan Italia yang 15 tahun berpuasa trofi.
Langkah hati-hati finalis terekam dalam sejarah final Piala Eropa. Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) mencatat, 6 dari 15 duel final selalu berakhir imbang setelah melewati 90 menit. Butuh tambahan waktu untuk menentukan pemenang.
Pertarungan ”catur” itu akan sangat menentukan siapa juara di final. Namun, penentu utamanya tetap para bidak di lapangan. Kian besar daya juang, kian dekat pula mereka dengan gelar juara.
Kesulitan mencari gol selama satu setengah jam pertandingan merupakan kisah klasik finalis terdahulu. Hal serupa dikhawatirkan gelandang Italia, Marco Verratti, karena Inggris belum kemasukan dari permainan terbuka sepanjang turnamen.
Satu-satunya gol yang merobek gawang Inggris berasal dari tendangan bebas. ”Itu menunjukkan mereka sangat solid dan seimbang,” ucap Verratti.
Sejarah pertemuan kedua tim semakin memperkuat kemungkinan laga berlanjut hingga babak tambahan. Inggris dan Italia terakhir kali bertemu di perempat final Piala Eropa 2012.
Setelah 120 menit laga, skor 0-0. Laga pun berlanjut ke adu tos-tosan. Italia menang dengan ditandai tendangan ala Panenka dari gelandang legendarisnya, Andrea Pirlo, saat itu.
Pertarungan catur
Sebagai skuad dengan kedalaman pemain yang bagus, Inggris dan Italia agaknya tidak bermasalah dengan tambahan waktu. Skuad mereka juga lebih muda di turnamen kali ini berkat peremajaan dari pelatih mereka masing-masing, Southgate dan Roberto Mancini.
Maka, pemenang duel sengit ini akan lebih ditentukan lewat ”pertarungan catur” Southgate dan Mancini. Ketika melawan Spanyol, Italia memanfaatkan pergantian jelang berakhirnya babak kedua. Mancini memasukkan pemain dengan kemampuan menendang penalti.
Perjudian ini berbuah manis. Tiga pemain cadangan, Manuel Locatelli, Federico Bernardeschi, dan Andrea Belotti, terpilih sebagai eksekutor penalti ”Gli Azzurri”. Dua pemain di antaranya sukses mengeksekusi penalti.
Beda lagi dengan Southgate ketika laga semifinal. Dia justru hanya mengganti satu pemain selama 90 menit, yaitu Bukayo Saka dengan Jack Grealish. Southgate tidak mau mengganti banyak pemain karena ingin menang dalam waktu normal.
Dia menghindari adu penalti yang sering menjadi kutukan mereka. Jika mengganti banyak pemain, ia khawatir sistem dan irama permainan Inggris akan terganggu.
Pelatih berusia 50 tahun ini juga menyimpan kuota pergantian pemain untuk strateginya di tambahan waktu. Terbukti, setelah unggul 1-0, dia menarik kembali Grealish ke bangku cadangan. Bek sayap Kieran Trippier dimasukkan agar tim lebih fokus bertahan.
Strategi ini sukses karena Denmark gagal dengan perjudiannya. Pelatih Kasper Hjulmand sudah mengganti lima pemain pada waktu normal. Ketika tertinggal pada babak tambahan, dia tidak bisa banyak mengubah strategi di lapangan.
Pertarungan catur itu akan sangat menentukan siapa juara di final. Namun, penentu utamanya tetap para bidak di lapangan. Kian besar daya juang, kian dekat pula mereka dengan gelar juara. (AP/AFP)