Dengan caranya sendiri, yang khas, Italia lolos ke final Piala Eropa 2020. Kesuksesan menyingkirkan Spanyol, lawan tersulitnya, menunjukkan kematangan Italia. Meskipun lebih modern, mereka tak melupakan kultur lamanya.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
Italia bernostalgia ke zaman kejayaannya saat melaju ke final Piala Eropa 2020 dengan melewati rival tersulitnya, Spanyol, Rabu (7/7/2021) dini hari WIB di London, Inggris. Keindahan ”tiki-taka”, yang terlahir kembali di skuad Spanyol saat ini, diredam Italia melalui spirit Tuca-Tuca. Italia lolos ke final lewat adu penalti, setelah bermain imbang 1-1 pada waktu normal.
Pada laga semifinal di Stadion Wembley itu, ”Gli Azzurri” tampil dengan wajah berbeda dari biasanya. Tidak ada penguasaan bola tinggi, tusukan dari sayap, maupun serangan gencar dari lini kedua, seperti diperlihatkan saat menghadapi tim nomor satu dunia, Belgia, pada laga sebelumnya di perempat final.
Italia seperti mengingkari jati diri barunya sebagai tim yang gemar memburu bola, bermain ofensif, dan haus gol, yang telah mereka perlihatkan sejak penyisihan grup hingga perempat final. Bersama pelatih Roberto Mancini, Azzurri membawa renaisans, pencerahan, dalam gaya bermain sepak bolanya.
Mancini ingin timnya tamppil lebih berani, modern, penuh gaya, dan berkelas, seperti setelan Giorgio Armani yang kerap dipakainya di Piala Eropa 2020. Semangat baru itu hadir sejak kali pertama ia memimpin latihan timnya di markas sepak bola Italia, Coverciano, musim panas 2018 silam.
Ketika mayoritas tim lainnya bersiap tampil di Piala Dunia Rusia 2018, tim Azzurri dan Mancini sibuk bereksperimen. Ia ingin membangun tim dari puing kehancuran setelah gagal lolos ke Rusia di bawah asuhan pelatih kuno, Gian Piero Ventura.
Saat itu, kiper muda Gianluigi Donnarumma kaget luar biasa. Ia tidak menyangka, saat tengah berlatih, Mancini meminta stafnya membesarkan volume pengeras suara yang terhubung ke ponsel.
Sempat terbengong-bengong, skuad Azzurri melanjutkan latihan itu dengan energi ekstra seraya ditemani musik penuh semangat dari Queen, Miley Cyrus, dan The Killers. Itulah kali pertama musik diperdengarkan di Coverciano, ”kampus” sepak bola kebanggaan Italia yang dulu dikenal sangat kaku.
Tak heran, skuad Azzurri seperti tampil kesetanan sejak itu. Mereka hampir selalu mendominasi lawan-lawannya, memojokkan mereka. Sejak September 2018, Italia tidak lagi pernah kalah. Kini, rekor itu berlanjut hingga 33 laga.
Mereka telah melewati rekor 30 laga tidak terkalahkan Hongaria bersama legendanya, Ferenc Puskas. Di Eropa, rekor Italia itu hanyalah kalah dari Spanyol pada awal era emas ”tiki-taka”, 2007 - 2009. Saat itu, ”La Furia Roja” tidak terkalahkan di 35 laga.
Italia ingin seperti Spanyol yang bermain indah. Maka, Azzurri konsisten memainkan formasi 4-3-3 dengan tiga virtuoso, gelandang serba bisa nan flamboyan, yaitu Jorginho, Marco Verratti dan Nicolo Barella. Azzurri meniadakan tradisi hadirnya gelandang perusak, seperti Marco Tardelli, Gennaro Gattuso, dan Daniele De Rossi, di lini tengah tim.
Jatuh cinta ala sepak bola Italia, sejak dulu, bukan karena mereka tampil bak ”tiki-taka” Spanyol atau bermain menawan seperti total football ala Belanda.
Bek sayap, Emerson Palmieri, pun sejatinya lebih ofensif. Jadi, Italia saat ini sebetulnya tidak didesain bermain catenaccio alias "parkir bus" atau bertahan total. Buktinya, mereka bisa mencetak 12 gol dan 108 tembakan di Piala Eropa 2020. Lagi-lagi, hanya Spanyol yang bisa mengalahkan statistik menawan itu.
Namun, kemarin, Azurri memilih menahan diri. Menyadari lawannya pemilik sepak bola indah yang hobi menguasai bola, apalagi dengan taktik false nine yang diterapkan Luis Enrique, pelatih Spanyol, Azzurri kembali ke pakem lamanya. Mereka tidak ingin seperti final Piala Eropa 2012. Tampil naif, mereka digilas skuad emas La Roja, 0-4, pada laga final saat itu.
Azzuri memilih memaknai Tuca-Tuca, lagu tahun 1971 yang dinyanyikan Raffaella Carra. Penyanyi legendaris Italia yang karyanya tersohor hingga Spanyol itu tutup usia, Senin. Lagu karyanya pun dinyanyikan jelang laga Italia versus Spanyol.
Tuca-Tuca adalah lagu tentang kembalinya rasa jatuh cinta yang tak lekang waktu. Jatuh cinta ala sepak bola Italia, sejak dulu, bukan karena mereka tampil bak ”tiki-taka” Spanyol atau bermain menawan seperti total football ala Belanda.
Kecintaan ala Italia diperlihatkan lewat pengorbanan, siap menderita satu sama lain, dan kegigihan. Seperti pernah dikatakan Marcello Lippi, mantan pelatih Italia peraih trofi Piala Dunia 2006, semangatdan pengorbanan adalah segalanya bagi tim. Mereka harus melakukan hal yang harus dilakukan, termasuk bermain bertahan, jika ingin menang. Spirit itu telah berkali-kali membawa Italia ke masa kejayaan tanpa diduga, seperti di Jerman pada 2006 silam. Semangat itu kini hidup kembali.
Sebaliknya, Spanyol tidak perlu larut dalam kesedihan setelah tersingkir di semifinal dengan cara menyakitkan. Adu "tos-tosan" adalah soal keberuntungan, terlepas kiper Donnarumma telah mempelajari karakter mengeksekusi penalti para skuad La Roja bersama staf pelatih Italia.
Ibarat gelas yang terisi separuh, bukan sebaliknya, kegagalan di semifinal adalah awal era baru La Roja yang lebih cerah. Sempat tidak diperhitungkan melangkah jauh di Piala Eropa 2020 karena skuad mereka kalah glamor dibandingkan era-era sebelumnya dan diguncang penularan virus korona baru, La Roja bermain indah di Wembley.
Mereka memaksa Italia, tim yang lebih difavoritkan menang pada laga itu, untuk bertahan nyaris sepanjang laga. Sepak bola penguasaan bola tinggi, sentuhan satu-dua, operan akurat, dan skill menawan para pemain mereka, menyulitkan Gli Azzurri untuk mengembangkan permainannya.
Hal yang paling membanggakan adalah mayoritas skuad Spanyol dibela pemain-pemain muda generasi baru, seperti kiper Unai Simon, bek tengah Eric Garcia, gelandang Pedri, lalu penyerang Daniel Olmo dan Ferran Torres. Mereka adalah pilar skuad generasi emas baru La Roja di masa depan.