Warga Inggris terbang ke langit ketujuh seusai meraih final pertamanya di Piala Eropa dengan mengalahkan Denmark. Mereka berpesta di stadion dan jalanan seolah merayakan kebebasan dari setengah abad belenggu kesedihan.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
LONDON, KOMPAS — Sebelum Piala Eropa 2020 dimulai, publik Inggris tidak terlalu antusias, bahkan sebagian menanggapi dingin soal kans tim mereka di turnamen itu. Namun, atmosfer di Inggris telah berubah 180 derajat seiring keberhasilan tim nasional mereka lolos ke babak final.
Suasana kegembiraan, tawa, bahkan tangis haru tampak dari raut wajah warga Inggris, mulai dari Stadion Wembley hingga pusat kota London, seusai tim ”Tiga Singa” meraih tiket final dengan mengalahkan Denmark, Kamis (8/7/2021) dini hari WIB.
Setelah mengalami rangkaian luka dan kekecewaan yang melintasi lebih dua generasi, Inggris akhirnya meraih final turnamen besar pertamanya sejak menjuarai Piala Dunia 1966 di Wembley, London, 55 tahun silam. Kini, belenggu kesedihan itu telah sirna. Luka lama warga Inggris telah disembuhkan pasukan pemberani Gareth Southate.
Warga Inggris pun berpesta turun ke jalan-jalan di London untuk merayakan hari ”pembebasan” itu. Di pusat kota, para pendukung Inggris yang ”mabuk” kebahagiaan memanjat atap bus-bus tingkat khas London. Mereka mengibarkan ”St George Cross”, bendera Inggris, dengan penuh kebanggaan dan emosi, seolah-olah baru saja memenangi Perang Dunia.
Di Wembley, pasukan Tiga Singa dan seluruh staf pelatih dan ofisial membuat ”konser dadakan” seusai laga semifinal. Mereka mengajak puluhan ribu penonton menyanyikan lagu ”Three Lions” dan ”Sweet Caroline”. Tim Inggris dan suporter menyanyi bersama, bak pasangan yang mabuk asmara. Para pendukung bahkan tidak henti-hentinya bernyanyi saat meninggalkan Stadion Wembley menuju rumah masing-masing.
”Hari ini, saya menyaksikan banyak hal gila yang dilakukan suporter Inggris. Ya sudahlah, biarkan saja. Hari ini, Inggris masuk final. Biarkan mereka berpesta,” ujar Anna, polisi lalu lintas di Wembley, ikut bergembira, seperti dilaporkan kontributor Kompas di London, Adie Masdyka Sudaryanto.
John Engall (65), warga London, sampai sulit mengingat kapan terakhir kali warga Inggris solid bersatu dan merasakan kebahagiaan kolektif seperti itu. Di Inggris, sepak bola sangat mengakar dan digandrungi hampir seluruh warga. Sayangnya, fanatisme dan kecintaan itu sering bertepuk sebelah tangan jika dikaitkan dengan kiprah tim nasional mereka.
Hari ini, tim Inggris bermain dengan sepenuh hati. Sungguh performa fantastis dari skuad Gareth Southgate. Kini, kita di final. Mari bawa pulang (trofi Piala Eropa).
Meskipun dianggap sebagai negara asal-usul sekaligus kiblat sepak bola dunia, Inggris tidak pernah menjuarai Piala Eropa. Piala Eropa 2020 bahkan adalah final pertama mereka. Trofi Piala Dunia 1966 menjadi satu-satunya kebanggaan mereka.
”Saya ingat momen tahun 1966 itu. Waktu itu, saya masih 10 tahun. Namun, sekarang, saya jauh lebih bahagia dan bergairah ketimbang waktu kecil dulu,” ungkap Engall yang menonton laga Inggris versus Denmark di Croydon, pinggiran London.
Tak hanya rakyat jelata, rasa bangga dan kebahagiaan juga terlihat dari para pemimpin Inggris. Pangeran William, Duke of Cambridge yang juga Presiden Federasi Sepak Bola Inggris, tidak berhenti menebar senyum dan bertepuk tangan penuh semangat begitu laga Inggris versus Denmark berakhir.
”Hari ini, tim Inggris bermain dengan sepenuh hati. Sungguh performa fantastis dari skuad Gareth Southgate. Kini, kita di final. Mari bawa pulang (trofi Piala Eropa),” ujar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang turut hadir di Wembley.
Pada laga itu, para pemain Tiga Singa memang tampil bak pejuang yang lapar kemenangan. Meskipun Denmark sempat memimpin, lalu berlindung di balik ”benteng” berlapis pertahanannya, Inggris tidak lelah menggempur tim lawan.
Semangat menggebu itu jauh berbeda dari skuad Inggris di era-era sebelumnya, terutama saat disingkirkan tim semenjana, Eslandia, 1-2, di babak 16 besar Piala Eropa Perancis 2016. Itulah masa tergelap Inggris. Sejak itu, Inggris berbenah dan mengangkat Southgate sebagai pelatih baru. Salah satu terobosannya ialah berani memainkan pemain-pemain muda penuh semangat, seperti Jack Grealish dan Bukayo Saka.
”Mengingat minimnya pengalaman mereka, apa yang kami capai kini adalah menakjubkan. Menyenangkan bisa memberikan malam fantastis untuk fans dan negara ini. Namun, tugas kami belum berakhir,” ujar Southgate menyambut laga final versus Italia. (AP/AFP)