Tim Italia kini ibarat kupu-kupu indah yang bermetamorfosa setelah mengalami periode terburuk, 2017 silam. Spirit "rinascimento" itu terus menyala, meskipun mereka kembali ditimpa tragedi cederanya Leonardo Spinazzola.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
MUENCHEN, SABTU - Italia melengkapi proses metamorfosanya dengan menyingkirkan tim terbaik dunia saat ini, Belgia, di babak perempat final Piala Eropa 2020, Sabtu (3/7/2021) dini hari WIB. Metamorfosa bak ulat menjadi kupu-kupu itu ditempa oleh tangis dan penderitaan.
Suasana di dalam kabin pesawat yang mengangkut skuad ”Gli Azzurri” kembali ke Italia, kemarin, mendadak riuh seperti di kamar ganti. Federico Bernardeschi, pemain sayap yang selama ini lebih sering duduk di bangku cadangan skuad tim Italia, menyabotase pesawat itu.
Ia mengambil alih mikrofon dari awak kabin. ”Ole! Ole! Spina! Spina!” teriaknya seraya diikuti seluruh tim Azzurri lainnya yang berjingkrak girang.
Mereka bukan tengah mabuk kemenangan, setelah memukul favorit juara, Belgia, 2-1, di Arena Allianz, Muenchen, Jerman, kemarin. Mereka bertingkah kekanak-kanakan di pesawat untuk menghibur rekan setimnya, Leonardo ”Spina” Spinazzola, yang menangis di tengah laga itu.
Spinazzola, bek sayap Italia, tidak berada di pesawat itu karena harus menjalani perawatan khusus setelah didera cedera tendon achilles pada laga versus Belgia. Cedera yang paling ditakutkan para atlet sepak bola bola itu mengancam mimpinya untuk bermain di final. Menyadari ketakutannya itu, ia pun menangis saat ditandu keluar lapangan.
”Sungguh kehilangan besar untuk kami. Kini, kami akan melakukan segalanya untuk bisa menembus final, demi dia (Spinazzola). Dia sangat penting bagi tim ini,” ujar Lorenzo Insigne,” salah seorang pencetak gol Italia ke gawang Belgia.
Spinazzola adalah personifikasi rinascimento, kaus hijau yang biasa dipakai skuad Gli Azzurri untuk berlatih di bawah asuhan Roberto Mancini. Sesuai namanya, kaus langka yang dulu juga pernah dipakai skuad Italia seusai tragedi kecelakaan pesawat Superga (1949) itu mengusung semangat renaisans alias kebangkitan dari masa kegelapan atau kehancuran.
Italia tim paling komplet saat ini. Mereka menyerang, bertahan, dan menghibur, lebih baik dari tim-tim lainnya.
Spinazzola adalah perwujudan dari sepak bola modern, indah, dan menghibur, ala Italia saat ini. Bek sayap kiri klub AS Roma yang kariernya kurang bersinar akibat cedera kambuhan itu kini menjelma salah satu bintang paling terang di Piala Eropa 2020.
Tidak hanya bermain ofensif dan telah membuat dua asis gol, ia juga seolah-olah tidak pernah kehabisan energi untuk membantu pertahanan timnya. Salah satu penyelamatan gemilangnya adalah mencegah bola sontekan striker Belgia, Romelu Lukaku, yang berdiri tepat di depan gawang Italia pada babak kedua.
Jika tidak ada Spinazzola, Belgia bakal menyamakan kedudukan, 2-2. Tidak heran, para pemain Italia, seperti Giorgio Chiellini dan Gianluigi Donnarumma, silih berganti mencium keningnya bak kekasih pujaan hati.
”Dia adalah salah satu pemain terbaik di turnamen ini (Piala Eropa 2020),” ujar Alan Shearer, legenda Inggris, mengenai Spinazzola, pemain yang dua kali menyabet penghargaan ”bintang laga” di turnamen itu.
Adegan menyentuh di Arena Allianz, markas klub raksasa Jerman, Bayern Muenchen, itu persis seperti yang telah dibayangkan pendahulu Donnarumma, Gianluigi Buffon.
Kiper yang membawa Italia meraih trofi Piala Dunia 2006 di Jerman itu juga meneteskan air matanya di lapangan, yaitu saat Azzurri disingkirkan Swedia di babak playoff kualifikasi Piala Dunia Rusia 2018, November 2017 silam.
Sempat ”kiamat”
Kegagalan itu dikenang sebagai era tergelap, tragedi sepak bola Italia. Koran Italia, Il Corriere dello Sport, bahkan menyebutnya sebagai ”kiamat”. Untuk kali pertama dalam 60 tahun, Azzuri absen di Piala Dunia.
”Sebuah era berakhir hari ini. Namun, saya yakin, kami punya masa depan cerah karena kami memiliki kebanggaan, kemampuan, dan tekad. Setelah masa suram, kami selalu bisa bangkit,” ujar Buffon, merujuk keberhasilan Italia meraih trofi Piala Dunia 2006 setelah sempat diguncang skancal calciopoli (pengaturan skor), dalam sebuah wawancara 2017 silam.
Sejak kehancuran pada 2017 itu, Italia bertransformasi. Mereka meninggalkan pakem sepak bola defensif-pragmatis yang ingin dipelihara pelatih Gian Piero Ventura. Mereka melangkah ke masa depan bersama Mancini, pelatih revolusioner yang telah berkali-kali membawa tim-tim yang sempat sulit juara, seperti Manchester City dan Inter Milan, menjadi kampiun dengan cara yang indah.
Hasilnya, Italia kini menembus semifinal, capaian terbaik mereka sejak Piala Eropa 2012. Sejumlah rekor Eropa pun mereka ukir, antara lain 15 kemenangan beruntun sejak kualifikasi. Skuad Mancini pun tidak terkalahkan di 32 laga, melewati rekor pada era keemasannya bersama Vittorio Pozzo, 1939 silam (total 30 laga).
Jumlah gol mereka, 11 gol dari lima laga, adalah rekor terbanyak Italia di Piala Eropa. Jumlah gol itu hanya kalah dari Spanyol (12 gol), lawan mereka di semifinal. ”Italia tim paling komplet saat ini. Mereka menyerang, bertahan, dan menghibur, lebih baik dari tim-tim lainnya,” tutur Susy Campanale, pengamat sepak bola Italia, di Football-Italia.
Seperti diungkapkan Manuel Locatelli, pemain Italia, semua itu dicapai lewat spirit kebangkitan dan kolektivitas yang ditebalkan lewat sejumlah penderitaan. Kebersamaan Azzurri itu akan diuji Spanyol, tim yang kini juga tengah bangkit setelah sempat terpuruk beberapa dekade terakhir, pada semifinal mendatang.