Pelatih Roberto Mancini membangun Italia menjadi tim yang kuat, kreatif, keras dalam duel, dan bermain tanpa takut. Hal itu dibutuhkan untuk melawan Belgia, tim nomor satu dunia yang juga diunggulkan menjadi juara.
Oleh
Sindhunata, wartawan
·5 menit baca
Roberto Mancini adalah pria perlente. Sekitar pertengahan babak pertama laga Italia melawan Wales, sebuah bola tinggi jatuh ke zona kepelatihan Mancini. Alih-alih menangkapnya, Mancini mengangkat kaki kanan dan menghentikan bola dengan tumitnya. Dan, wartawan sempat mengamati sepatu kulitnya yang mengilap. Sepatu itu melengkapi busana perlentenya, kemeja putih dan dasi, serta celana slim-fit-nya.
Memakai jas abu-abu marmer, Mancini masuk stadion bagaikan menuju fashion show di Milan. ”Seperti model Prada,” begitu cuit petenis putri Jerman, Andrea Petkovic, di Twitter-nya. Bagi mata banyak perempuan, Mancini memang seksi. Dan, di Piala Eropa 2021, ia telah menjadi ikon menawan bagi mereka.
Akan tetapi, awas, ia tidak hanya seksi di penampilan, tetapi juga ganas sebagai pelatih di lapangan. Di bawah kepelatihan Mancini, Italia tak terkalahkan dalam 31 pertandingan sampai saat ini. Dia telah melampaui rekor pelatih Vittorio Pozzo yang membawa Italia tak terkalahkan dalam 30 laga secara beruntun pada periode 1935 sampai 1939. Tak pelak lagi jika orang bilang, ”Apa yang disentuh Mancini akan menjadi emas.”
”Mancini telah mengubah mentalitas kesebelasan kami,” kata bek Italia, Francesco Acerbi. ”Ia berusaha agar kami merasa nyaman dengan posisi kami hingga kami tak merasa adanya tekanan apa pun. Ia telah membuat kami menjadi sebuah keluarga.”
Keluarga adalah kata yang mengisyaratkan kedekatan. Memang itulah yang dibuat Mancini bagi anak-anak kesebelasannya. Maka, dikatakan pula, Mancini telah mengubah Azzurri menjadi squadra seolah-olah mereka adalah sebuah klub. Maka, sekarang kesebelasan Italia mempunyai refleks, kohesi, otomatisme, dan ideologi seperti yang dimiliki sebuah klub. Karena itu, Corriere dello Sport menyebut mereka Mancio Football Club. Mancio adalah sebutan bagi Mancini. Dan, warga tim Italia adalah ”Mancio”. Artinya, mereka berada dalam satu komando yang mengikat mereka untuk saling memiliki dan sanggup saling menderita demi tim mereka.
Di bawah Mancini, catenaccio yang klasik Italia tinggal menjadi warisan masa lalu. Sekarang, Italia memainkan sepak bola modern dan atraktif. Mancini mengerahkan anak-anaknya untuk total bermain ofensif. Ini sesuai dengan ciri khas permainannya ketika ia melatih Inter Milan dan Manchester City. Dan, tentu saja sesuai dengan jiwa dan watak pribadinya sebagai pemain.
Ia berusaha agar kami merasa nyaman dengan posisi kami hingga kami tak merasa adanya tekanan apa pun. Ia telah membuat kami menjadi sebuah keluarga.
Sejak muda, Mancini atau Mancio dijuluki Fantasista, sebutan bagi pemain yang bermain bola dengan hati, kemampuannya di atas rata-rata, dan bervisi jauh ke depan. Fantasista adalah imajinasi bagi roh atau kekuatan magis yang bergerak dengan bebas di lapangan. Dengan roh fantasista itu, Mancini menyulap kesebelasan Italia menjadi tim yang kuat secara teknik, kreatif, dan kaya ide, keras dalam duel man to man, serta bermain tanpa ketakutan apa pun.
Bukan lawan mudah
Mancini bertekad membawa pulang Piala Eropa yang tak pernah lagi didapat Italia sejak tahun 1968. Di perempat final kali ini, mereka harus menghadapi Belgia. Tentu Belgia bukan lawan yang mudah. Apalagi dengan kondisi Italia yang lolos menghadapi Austria dengan terengah-engah. Belgia dengan generasi emasnya jelas lebih kuat daripada Austria.
Sejak menjungkalkan tim favorit Brasil, 2-1, di Piala Dunia 2018, Belgia dianggap telah menjadi kesebelasan yang disegani di dunia. Dengan prestasinya selama ini, skuad Roberto Martinez itu dianggap makin matang dalam segala segi. Di Piala Eropa 2021, Belgia juga difavoritkan.
”Pengalaman telah membantu kami. Terserah lawan mau bermain dengan cara apa, kami mempunyai permainan kami sendiri. Yang jelas, kami telah belajar sabar dalam membangun tim. Dan, kami sudah terlatih untuk menderita. Sampai sekarang, pemain-pemain kami belum melakukan kesalahan. Saya merasakan gejolak dan energi dalam diri pemain kami. Kami sungguh bermain dengan konsentrasi dan termotivasi,” kata Martinez yang merasa siap menghadapi lawan siapa pun.
Di Estadio La Cartuja, Sevilla, Belgia memulangkan Portugal, juara Piala Eropa 2016. Bagi Kevin de Bruyne dan kawan-kawannya, gol tunggal Thorgan Hazard ke gawang Rui Patricio adalah isi dari semua perjuangan Belgia sampai saat ini. Gol itu meyakinkan bahwa mereka bisa mencetak emas dari kekacauan apa pun. Gol itu menghilangkan anggapan bahwa biasanya kesebelasan yang hebat di babak penyisihan bisa dengan mudah terkapar di babak knock-out.
”Bola bukan sekadar sport fisik. Bola juga permainan pikiran. Mental teguh sangatlah perlu. Dengan mental itu, orang akan segera bangkit jika jatuh, mencurahkan konsentrasi, berusaha berkepala dingin, dan tepat waktu untuk memilih mana yang benar,” tulis analis bola Belgia, Nico Tanghe. Dengan mental itulah Belgia akan menghadapi Italia.
Tak mudah bagi Italia menaklukkan Belgia. Kendati demikian, mantan Pelatih Inter Milan Antonio Conte melihat, Italia lebih mempunyai kans daripada Belgia. ”Saya sungguh mengapresiasi kerja Martinez. Namun, prestasinya melawan Portugal sama sekali tidak meyakinkan saya, baik dalam menyerang maupun bertahan. Kami pasti bisa banyak membuat banyak problem bagi mereka di sisi sayap,” kata Conte.
Menurut Conte, striker Belgia, Romelu Lukaku, patut diwaspadai. ”Saya amat mengenal Lukaku. Ia mempunyai kekuatan alam luar biasa. Ia dapat sendirian mengerjakan semuanya. Namun, biar bagaimana, hadir atau absennya Kevin De Bruyne dan Eden Hazard akanlah sangat menentukan,” kata Conte yang membawa Lukaku ke Inter pada 2019. Sementara Conte, yang juga pernah melatih kesebelasan Italia, yakin Mancini tahu semua yang harus dibuatnya. ”Dia tidak membutuhkan saran saya. Roberto pasti akan membawa Italia mampu menangani situasi apa pun,” ujarnya.
Mancini tidak hanya bertekad mengalahkan Belgia, tetapi juga membawa pulang Piala Eropa. Katanya, ”Kami ingin memberikan kemenangan bagi semua orang Italia. Juara pada Piala Eropa ini dapat menjadi kelahiran kembali bagi kami dan bagi seluruh tanah air kami. Inilah saat untuk memberikan tawa bagi Italia.”
Tawa itu pasti dinanti-nantikan fans Squadra Azzurra. Mereka tentu berharap, melawan Belgia nanti, tawa itu tidak berubah menjadi air mata.