Eksekutor menanggung beban terberat dari kegagalan sebuah tendangan penalti. Tos-tosan yang kerap mengundang kontroversi itu kini menelan korban juara dunia Perancis akibat kegagalan bintang mereka, Kylian Mbappe.
Oleh
Anton Sanjoyo, Penikmat Sepak Bola
·4 menit baca
”Tidak adilnya adu tendangan penalti adalah bahkan orang setua saya bisa membobol gawang kiper kelas dunia.” Terry Venables
Jika Terry Venables memang sudah cukup sepuh saat menangani Inggris di Piala Eropa 1996, berbalik kenyataan dengan Kylian Mbappe, bintang muda Perancis, yang justru gagal mengeksekusi penalti ke gawang Swiss. Didapuk sebagai eksekutor penentu kelima, sepakan pemain Paris St Germain yang punya nilai pasar 160 juta euro (sekitar Rp 2,8 triliun) itu ditepis kiper Swiss, Yann Sommer. Walhasil, Perancis yang berstatus juara dunia dan favorit kuat Euro 2020 digusur kuda hitam Swiss di babak perdelapan final.
Kutipan Venables yang melegenda adalah refleksi, betapa pahitnya kekalahan dalam sebuah momen adu keberuntungan bernama tendangan penalti. Venables dan timnya kala itu tergusur oleh Jerman di laga semifinal, padahal Inggris sedang euforia dengan slogan ”Football’s coming home” di Euro 1996, saat mereka menjadi tuan rumah.
Dalam sejarah sepak bola modern, Inggris termasuk paling kerap mengalami penderitaan mendalam pada ajang turnamen raya. Sebelum Euro 1996, pasukan ”Tiga Singa” juga kalah adu tendangan penalti melawan Jerman (Barat) pada semifinal Piala Dunia 1990. Di Piala Dunia 2006, lagi-lagi Inggris menelan pil pahit adu penalti saat kalah melawan Portugal di babak perempat final.
Tentu bukan hanya Inggris, banyak tim fenomenal kalah tos-tosan di turnamen agung dan ingatan kelam tersebut mereka bawa sampai mati, terutama oleh para eksekutornya yang gagal. Bintang Italia, Roberto Baggio, misalnya, pasti akan ingat selamanya momen saat eksekusinya melayang di atas mistar gawang Brasil di Piala Dunia 1994. Di level klub, Andrij Shevchenko (AC Milan) tidak akan pernah melupakan kegagalannya menaklukkan kiper Liverpool, Jerzy Dudek, di final Liga Champions 2005.
Selain Venables, dalam sejarah adu tendangan penalti yang diperkenalkan pada dekade 1960-an, banyak pelatih dan tokoh besar sepak bola yang mempersoalkan ”keadilan” dalam tos-tosan adu penalti. Mereka berargumen, perjuangan seluruh tim selama 90 menit (plus 30 menit) tiba-tiba disangkal begitu saja oleh momen yang dilakukan oleh seorang pemain dan seorang kiper.
Dalam perspektif kiper, penalti memberikan beban yang jauh lebih ringan dan peluang untuk menjadi pahlawan.
Adu tendangan penalti diakui menuai banyak kontroversi, tetapi otoritas sepak bola dunia sungguh tak punya banyak pilihan untuk menentukan pemenang tanpa tos-tosan yang paling brutal, lempar koin! Dalam periode tiga dekade belakangan, beberapa opsi telah dipilih, di antaranya aturan golden goal dan silver goal, tetapi tetap dianggap adu tendangan penalti yang paling ”masuk akal” sampai sekarang.
Wacana penentuan pemenang lewat tos-tosan ala Amerika Latin pun pernah dimunculkan, tetapi tak terwujud. Alih-alih sepakan bola statis dari titik 12 langkah, tos-tosan ala Amerika Latin mengharuskan eksekutor menggiring bola dari luar kotak penalti untuk menaklukkan kiper lawan, 1 lawan 1. Opsi ini pun tidak mendapat persetujuan di level federasi internasional.
Secara teori, dalam adu tendangan penalti, beban mental nyaris mutlak milik sang eksekutor. Beban makin menekan manakala laga semakin penting dan puluhan ribu mata menatap langsung. Berjalan ke kotak penalti dengan kondisi seperti itu jelas sudah menjadi tekanan tersendiri bagi eksekutor, yang konon punya peluang lebih dari 95 persen untuk mencetak gol.
Di pihak lain, dengan hanya punya peluang kurang dari lima persen untuk menepis penalti, kiper benar-benar diuntungkan secara psikologis. Sebab, kalaupun gagal, tak seorang pun mempersoalkan.
”Dalam perspektif kiper, penalti memberikan beban yang jauh lebih ringan dan peluang untuk menjadi pahlawan,” ujar psikolog olahraga Tom Young, seperti dikutip ESPN. Dalam isu terbaru, di Euro 2020, kiper Swiss, Yann Sommer, dinobatkan sebagai pahlawan dan Mbappe, di kutub berlawanan, sebagai pecundang.
Di kalangan pesepak bola profesional sering terdengar mantra dalam menyepak 12 langkah, ”bidik sudut gawang dan jangan berubah pikiran”. Mantra ini barangkali moncer sebelum ilmu statistik dan psikologi olahraga ikut menentukan taktik di lapangan hijau. Dicatat oleh ESPN, Chelsea, misalnya, menyewa konsultan statistik asal Jerman untuk menganalisis penalti lawan. Mereka memasok 16.000 basis data penalti untuk dijadikan rujukan.
Data ini dipakai Chelsea saat berhadapan dengan Manchester United di final Liga Champions 2008. Kala itu, seluruh eksekusi pemain Chelsea diarahkan ke sisi kiri kiper Edwin van der Saar yang dianalisis sebagai sisi terlemahnya, sebelum kemudian Nicolas Anelka mengabaikan data tersebut dan gagal.
Semalam di Arena Nationala, Bucharest, kiper Sommer barangkali tidak dibekali data arah eksekusi Mbappe, tetapi sering pula kiper punya ”feeling” kuat terhadap arah bola. Sommer, mungkin, mempergunakan ”feeling”-nya untuk menggapai lima persen kesempatan menjadi pahlawan.