Pertemuan Jerman dan Inggris memiliki sejarah panjang yang membentuk rivalitas kedua kesebelasan. Laga perempat final Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley membuka kenangan lama yang terntang hingga Piala Dunia 1966.
Oleh
Sindhunata, wartawan
·5 menit baca
Gol Wembley 1966. Gol itu telah menjadi mistis dan bersejarah. Tiap kali Inggris dan Jerman bertemu, kenangan akan gol tersebut selalu dibangkitkan kembali. Tak ada kepastian tentang benar tidaknya gol itu. Gol itu tetap tinggal misteri. Dan bagi Jerman, gol itu menjadi melankolia yang selalu menggugah semangat mereka setiap kali mereka harus melawan Inggris, juga di babak 16 besar Piala Eropa 2021 ini.
Saat itu setelah 90 menit usai, skor sama kuat 2-2. Gol-gol Jerman dilesatkan Helmut Haller (menit ke-12) dan Wolfgang Weber (89’). Sementara itu, gol Inggris dicetak Geoff Hurst (18’) dan Martins Peters (78’). Pertandingan diperpanjang. Menit 101, tembakan kaki kanan Geoff Hurst sempat dihalau dengan refleks kilat kiper Jerman, Hans Tilkowski. Tetapi, hasil tendangan itu disahkan menjadi gol oleh wasit asal Swiss, Gottfried Dienst, setelah ia berkonsultasi dengan hakim garis Gospodin Bachramow dari Rusia.
Pemain-pemain muda Jerman, Franz Beckenbauer, Wolfgang Overath, dan Wolfgang Weber berlari ke hakim garis dan memprotes. “Tetapi, Kapten Uwe Seeler langsung mengusir kami, katanya, berhenti protes, wasit sudah memutuskan!” Begitu Weber mengenang kemalangan itu. “Kami, anak-anak muda ingin menuntut keadilan. Tapi akhirnya kami patuh, karena begitulah disiplin bola yang didoktrinkan pada kami waktu itu.” Akhirnya, Jerman pun kalah 2-4, dan harus rela melihat Inggris dinobatkan jadi juara.
“Gol itu disahkan, dan selanjutnya adalah sejarah,” kata penulis bola Markus Hesselmann. Bagi Inggris, gol itu adalah modal optimisme setiap kali mereka harus menghadapi Jerman, apalagi jika mereka harus bertemu di Wembley. Bagi Jerman, gol itu adalah melankolia yang mendorong mereka untuk menggali jati diri sepak bola mereka.
Generasi pemain bola Jerman tahun 1966 tidaklah semegah dengan generasi pemain mereka di tahun 1954 dan 1974. Dengan keajaiban Bern di tahun Piala Dunia 1954, generasi bola mereka mewakili kebangkitan Jerman baik di bidang politik maupun ekonomi. “Kami telah menjadi seseorang lagi,” begitulah semboyan mereka, mewakili perasaan bangsa Jerman yang mampu bangkit dari reruntuhan setelah hancur lebur di Perang Dunia II.
Sementara itu, generasi pemain Jerman 1974 dikenal lebih glamour. Günter Netzer atau Paul Breitner, dan tentu saja Beckenbauer adalah pemain-pemain yang hebat. Selain itu mereka adalah anak-anak modern Jerman di saat ekonomi mereka mapan. Mereka juga dianggap mewakili generasi yang kritis terhadap otoritas. Seperti tampak lebih-lebih pada Paul Breitner, generasi ini menawan karena sikapnya yang berani memberontak.
Generasi 1966 lain dengan itu semua. Mereka adalah generasi yang diam, bekerja keras, dan patuh. Itu tampak pada pribadi-pribadi bola mereka. Sepanjang karir bola, Uwe Seeler setia dan selalu bermain untuk klubnya, Hamburger SV. Seperti Seeler, Wolfgang Weber juga tidak pernah berpindah-pindah dari klubnya, FC Köln. Patuh pada prinsip dan disiplin, itulah prinsip yang dipegang oleh generasi sederhana ini.
Suasana sederhana itu beriringan dengan situasi politik dan ekonomi Jerman di tahun 60-an. Di bawah kanselir kedua Ludwig Erhard, Jerman sedang merintis menuju keajaiban ekonominya. Banyak keprihatinan dan kerja keras ditekankan. Pemerintahan Erhard sendiri dipandang tidak terlalu sukses dibandingkan dengan dengan kesuksesan yang diraih penggantinya, Willy Brandt.
Membentuk kekuatan
Itulah sejarah yang menyertai sepak bola Jerman di dekade 60-an. Di masa itu, sepak bola mereka pun berada dalam situasi yang diam dan tenang. Di dekade ini mereka memang tidak banyak membuahkan prestasi. Tetapi, saat itulah mereka menggali kedalaman dan refleksi. Dan dari sana menimba kekuatan yang membentuk kekuatan sepak bola mereka. Maka, bagi mereka, gol Wembley adalah simbolik, bagaimana mereka harus menentukan sejarah sepak bola mereka. “Wembley liegt uns. Wembley cocok untuk kami", kata kapten Jerman, Manuel Neuer menjelang pertemuan mereka melawan Inggris nanti.
Memang, setelah gol Wembley yang menyakitkan itu, sejarah kemudian berpihak pada Jerman setiap kali mereka melawan Inggris. Di perempat final Piala Eropa 1972, Jerman di bawah Helmut Schön menggebuk tuan rumah Inggris, 3-1. Di semifinal Piala Eropa 1996, Jerman kembali berjaya atas Inggris, dalam pertandingan yang berakhir dengan adu penalti yang amat dramatis. Terjungkirnya Inggris justru terjadi di stadion mereka yang sakral, Wembley. Kekalahan ini mengulang peristiwa di seminal final Piala Dunia 1990, di mana mereka disingkirkan Jerman, juga lewat adu penalti.
Pertandingan nanti sungguh absolut perjuangan. Dan bisa berakhir dengan adu penalti lagi.
Sekarang Inggris dan Jerman bertemu lagi. Pertemuan ini dianggap terlalu pagi. Kedua kesebelasan sebenarnya tak suka harus bertemu sepagi itu. Apalagi, pertemuan mereka itu harus terjadi di Wembley, yang selalu menyisakan pertanyaan sejarah tentang nasib yang harus mereka derita. Tapi mau apa, sejarah pulalah yang rupanya menghendakinya.
Baik Inggris maupun Jerman harus bertemu dalam kondisi yang tak terlalu meyakinkan. Inggris keluar sebagai juara grup dengan prestasi gol yang minim. Adapun Jerman keluar dari grup neraka dengan tertatih-tatih. "Jika Anda melihat kedua tim, posisi demi posisi, mereka hampir sama-sama kuat. Kansnya 50/50. Performa mereka masing-masing pada hari itulah yang akan menentukan kemenangan," kata Jürgen Klinsmann, yang amat mengenal kekuatan baik Inggris maupun Jerman. Memang pertandingan nanti akan amat mendebarkan.
“Pertandingan nanti sungguh absolut perjuangan. Dan bisa berakhir dengan adu penalti lagi,” ramal Klinsmann, mantan pelatih timnas Jerman yang pernah bermain di Liga Inggris bersama Tottenham Hotspur.
Adu penalti? Jangan sampai ini terjadi, lebih-lebih bagi Inggris di bawah Gareth Southgate, pelatihnya yang sekarang. Maklum bagi Southgate, penalti melawan melawan Jerman adalah hantu yang selalu menjadi bayang-bayang. Di Piala Eropa 1996, pertandingan Inggris lawan Jerman di semi final harus dilanjutkan dengan adu penalti, setelah mereka bermain dengan akhir 1-1.
Semua pemain Inggris berhasil menyeploskan bola ke gawang Jerman yang dijaga Andy Köpke. Giliran Southgate, dan dialah satu-satunya pemain Inggris yang gagal mengeksekusi. Lalu Andreas Möller datang, dan menaklukkan kiper Inggris, David Seamann. Jerman menang, dan sisanya adalah trauma yang harus ditanggung Southgate sampai sekarang.
Maka Southgate tidak ingin pertandingan melawan Jerman nanti diputuskan lewat penalti. Sebab, biar bagaimana pun ia mesti menerima, bila dikatakan, “Southgate adalah pelatih yang belum mengatasi trauma penalti di masa lalunya”. Ia pasti tak ingin trauma itu terulang pada anak asuhannya. Maka baik bahwa ia bertekad terus menekankan permainan kolektif kesebelasannya, dan mendesak mereka untuk bermain seefektif mungkin, walau dengan hasil gol yang minim.