Thomas Tuchel menjadi manajer pertama sepanjang sejarah yang mampu melaju ke dua final Liga Champions secara beruntun dengan dua tim berbeda. Namun, tak seperti di Paris, ia kini merasa lebih bebas bersama Chelsea.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
LONDON, KAMIS — Manajer Thomas Tuchel hanya butuh waktu sekitar 3,5 bulan untuk mengubah predikat Chelsea dari tim inkonsisten di Inggris menjadi calon penguasa Eropa. Predikat baru itu diraih Chelsea seusai menyingkirkan Real Madrid dengan agregat 3-1 pada semifinal Liga Champions Eropa, Kamis (6/5/2021) dini hari WIB.
”Si Biru” tinggal selangkah untuk meraih trofi yang terakhir kali diraih pada 2012 bersama manajer interim, Roberto Di Matteo. Mereka akan menantang wakil Inggris lainnya, Manchester City, pada final musim ini yang digelar 29 Mei mendatang di Istanbul, Turki.
Capaian positif Chelsea dalam waktu singkat bersama Tuchel itu tidak terlepas dari kebebasan yang diberikan manajemen klub itu. Pemilik Chelsea, Roman Abramovic, dan direktur klub, Marina Granovskaia, memberikan kebebasan besar kepada Tuchel dengan satu syarat, yaitu bisa meraih trofi.
Kebebasan itu sangat disenangi Tuchel. Sejak melatih Mainz pada periode 2009-2014, Tuchel ingin seluruh hal di timnya diatur langsung olehnya. Ia tidak hanya mengatur pola latihan dan taktik tim, tetapi juga menyusun sendiri program pencarian bakat baru, menentukan jual beli pemain, dan memberikan masukan soal pengembangan fasilitas tim.
Semua hal itu didapatkannya kembali saat menangani Chelsea. Di sana, ia tidak perlu lagi berurusan dengan hierarki seperti Direktur Olahraga Paris Saint-Germain Leonardo yang kerap meminta pelatih memainkan Neymar Jr ketika bugar.
”Saya ini apakah seorang manajer atau politisi olahraga, seperti seorang menteri? Saya hanya menyukai sepak bola. Namun, di klub seperti ini (PSG), segalanya bukan hanya tentang sepak bola,” ujar Tuchel sesaat setelah dipecat PSG, malam Natal 2020, dilansir Canal+.
Oleh karena itu, ketika menerima pinangan Chelsea, satu bulan kemudian, Tuchel langsung menargetkan klub barunya itu juara pada musim perdananya. Tuchel tidak seperti Frank Lampard, manajer Chelsea terdahulu, yang melihat klub itu sebagai tim masa depan yang tengah berproses sehingga tidak berambisi meraih trofi dalam waktu dekat.
Ambisi Tuchel itu kini mendekati realitas. Selain final Liga Champions, ia juga membawa Chelsea melaju ke laga puncak Piala FA Inggris. ”Kini, kami hanya butuh dua kemenangan lagi untuk menutup musim ini dengan dua gelar,” ucap Tuchel dikutip Evening Standard.
Manajer asal Jerman itu kini mengukir sejarah sebagai yang pertama yang mampu menembus final Liga Champions dalam dua musim beruntun dengan tim berbeda. Musim lalu, ia melakukannya bersama PSG. Pada babak final saat itu, mereka dikalahkan Bayern Muenchen, 0-1.
Kalah pengalaman tim
Pencapaian unik itu tidak terlepas dari kepiawaian taktiknya. Ia mengubah Chelsea, tim dengan skuad minim pengalaman, menjadi kuda hitam menakutkan musim ini. Dari 11 pemain utama yang diturunkan Tuchel saat menghadapi Real, kemarin, hanya tiga pemain yang telah berpengalaman tampil di babak semifinal kompetisi besar. Mereka adalah Thiago Silva, N’Golo Kante, dan Cesar Azpilicueta.
Sebaliknya, skuad Real kaya akan pengalaman dan prestasi. Sebagian besar pemain klub yang disebut ”raja” Eropa itu, seperti Luka Modric dan Karim Benzema, telah empat kali meraih trofi Liga Champions. Untuk menutupi minimnya pengalaman skuadnya, Tuchel mematangkan persiapan tim, baik taktik maupun psikologis.
Tidak diragukan lagi, Tuchel perlu mencari solusi untuk mengatasi masalah di lini depan timnya jelang menuju laga final. Chelsea jelas membutuhkan pisau bedah, bukan pisau mentega, saat berhadapan dengan City di Istanbul. (The Guardian)
Dari sisi taktik, Tuchel menggunakan pakem formasi 3-1-4-2 yang membuat Pelatih Real Zinedine Zidane kehabisan akal untuk mengimbanginya. Pelatih yang tiga kali meraih trofi Liga Champions bersama Real itu sampai meninggalkan pola bermain favoritnya, 4-3-3, saat dua kali menghadapi Chelsea. Zidane mengikuti pola tiga bek tengah Chelsea dan menerapkan formasi 3-4-1-2.
Hasilnya, Real justru masuk dalam perangkap taktik Chelsea. Meskipun menguasai 64 persen penguasaan bola pada laga kedua di London, kemarin, Real gagal mencetak satu gol pun. Bahkan, di babak kedua, Real tidak mampu menghasilkan satu tembakan mengarah ke gawang Chelsea. Di sisi lain, melalui serangan cepat, Chelsea mampu mencetak dua gol lewat sundulan Timo Werner pada menit ke-28 serta sontekan Mason Mount pada babak kedua.
Selain kejelian taktik, Tuchel juga mempersiapkan dengan baik faktor psikologis para pemain mudanya. Untuk itu, ia memberikan kebebasan semua pemainnya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing sebelum laga itu. Biasanya, mereka menginap di hotel.
”Kebijakan (Tuchel) itu adalah hal terbaik. Penting bagi kami merasakan situasi normal dengan tidur di rumah bersama keluarga. Cara itu telah memberikan dampak baik bagi performa kami selama ini, termasuk pada laga melawan Real,” kata Werner seperti dilansir laman resmi UEFA.
Belum puas
Meskipun timnya tampil dengan mental bagus dan bermain penuh energi sehingga bisa menyingkirkan Real, Tuchel tidak sepenuhnya puas. ”Seharusnya, kami bisa mencetak lebih banyak gol,” kata Tuchel dilansir laman resmi Chelsea.
Sependapat dengan Tuchel, Barney Ronay, pengamat sepak bola di The Guardian, menganggap lini depan Chelsea harus tampil lebih tajam pada babak final nanti. Dari enam laga di Eropa bersama Tuchel, Chelsea rata-rata mencetak 1,3 gol per laga. Adapun City mencetak dua gol per laga di babak gugur Liga Champions musim ini.
Bukan hanya lebih tajam saat menyerang, City juga tangguh dalam bertahan. Gawang ”The Citizens” baru kebobolan empat gol dari 12 laga (rata-rata 0,33 gol per laga) di Liga Champions pada musim ini. Tidak heran, City menjadi satu-satunya tim yang tidak terkalahkan di Eropa pada musim ini.
”Tidak diragukan lagi, Tuchel perlu mencari solusi untuk mengatasi masalah di lini depan timnya jelang menuju laga final. Chelsea jelas membutuhkan pisau bedah, bukan pisau mentega, saat berhadapan dengan City di Istanbul,” tulis Ronay di kolomnya di The Guardian.
Diakui Tuchel, timnya tidak lebih diunggulkan dari City pada final nanti. Ia menilai, performa menakjubkan City menjadi rujukan bagi seluruh tim di Eropa, termasuk timnya. ”Bagi saya, Bayern Muenchen dan Manchester City adalah rujukan. Kami ingin memangkas perbedaan dengan City,” ucapnya.
Tuchel masih memiliki banyak waktu untuk memangkas perbedaan kualitas timnya dengan City menjelang final di Turki. Namun, tanpa perlu menunggu hingga akhir Mei, kedua tim itu sudah bisa menjajal kekuatan masing-masing.
City dan Chelsea akan berduel di ajang Liga Inggris pada Sabtu (8/5/2021) malam WIB di Stadion Etihad, Manchester. Laga ini tidak kalah penting dengan final Liga Champions.
Jika menang, City bakal dinobatkan sebagai kampiun Liga Inggris. Di kubu sebaliknya, jika kalah, Chelsea bisa kehilangan posisinya di peringkat keempat Liga Inggris sekaligus tiket ke Liga Champions pada musim depan. (BBC)