Liga Super Eropa yang digagas 12 klub elite dinilai bertujuan mengejar uang semata. Rencana itu memantik kemarahan massal karena dianggap bisa menghancurkan spirit dalam sepak bola
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·6 menit baca
MADRID, SENIN - Sebanyak 12 klub sepak bola elite di Eropa kompak ingin mengelar Liga Super Eropa, kompetisi yang lebih bergengsi dan menguntungkan dari sisi finansial, Senin (19/4/2021) WIB. Namun, rencana itu membuat Eropa terbelah. Para pendukung klub, mantan pemain, hingga para pemimpin negara, beramai-ramai mengecam kompetisi yang dinilai sebagai bentuk keserakahan klub-klub elite itu.
Kedua belas klub tersebut adalah AC Milan, Arsenal, Atletico Madrid, Chelsea, Barcelona, Inter Milan, Juventus, Liverpool, Manchester City, Manchester United, Real Madrid, dan Tottenham Hotspur. Meski kecaman terus mengalir, mereka tetap bergeming. Bahkan, mereka akan menempuh jalur hukum untuk memperkuat keputusannya tersebut.
Goyahnya industri sepak bola karena dihantam pandemi Covid-19 menjadi alasan utama ke-12 klub tersebut guna melahirkan kompetisi tandingan Liga Champions Eropa itu. ”Ke depan, para klub pendiri ingin mengembangkan kualitas dan intensitas kompetisi Eropa setiap musim dan menciptakan format kompetisi bagi klub dan pemain terbaik untuk bertanding secara rutin,” bunyi keterangan Atletico Madrid, salah satu perwakilan ke-12 klub itu, melalui laman resminya.
Selama lebih dari satu tahun terakhir, pandemi telah menggerus keuangan klub-klub sepak bola di seluruh dunia. Pandemi membuat klub kehilangan sebagian besar pendapatan, terutama dari penjualan tiket dan aktivitas komersial lainnya yang melibatkan publik secara langsung. Klub-klub, tidak terkecuali di Eropa, praktis sangat mengandalkan pendapatannya dari hak siar televisi.
Dianggap jalan keluar
Di sisi lain, dua klub raksasa Spanyol, seperti Barcelona dan Real Madrid, membutuhkan keuangan yang stabil untuk bisa menutup biaya operasional yang sangat besar. Menurut The Athletic, kerugian yang telah diderita Barcelona mencapai lebih dari 1 miliar euro atau Rp 17 triliun. Sementara kerugian Real mencapai 900 juta euro atau Rp 15 triliun.
Tanpa keuangan yang kuat, klub-klub besar ini bisa kehilangan para pemain bintangnya yang bergaji selangit dan bakal kesulitan membeli pemain bintang lainnya. Dalam kondisi terpojok seperti ini, bagi klub-klub pendiri, Liga Super Eropa menjadi jalan keluar yang terbaik.
Klub-klub pendiri Liga Super Eropa langsung bisa menikmati 200 juta euro atau Rp 3,4 triliun begitu kompetisi berjalan. Total akan ada dana sebesar 3,5 miliar euro yang siap dibagikan kepada para klub pendiri. Skema ini bisa berjalan karena para klub pendiri bisa menggaet perusahaan investasi global, JP Morgan, sebagai penyokong dana.
Artinya, dengan tampil di Liga Super, klub-klub di Eropa bisa mendapatkan uang lebih banyak ketimbang bermain di Liga Champions yang kini telah menjadi kompetisi antarklub paling bergengsi di Eropa. Sebagai perbandingan, tim juara Liga Champions hanya bisa mendapatkan uang total sebesar 82,4 juta euro.
Uang dalam jumlah jauh lebih besar ketimbang di Liga Champions itu dimungkinkan karena setiap klub pendiri bakal selalu tampil di kompetisi itu setiap musimnya. Mereka tidak bisa terdegradasi. Jumlah peserta kompetisi itu pun sangat sedikit, yaitu 20 tim.
Sebanyak 15 tim adalah pendiri, adapun lima tim sisanya diambil lewat babak kualifikasi. Ke-20 tim itu akan dibagi dalam dua grup. Setiap tim akan bermain kandang-tandang selama penyisihan grup. Tiga tim terbaik di setiap grup berhak otomatis lolos ke fase gugur, yaitu dimulai dari perempat final. Adapun tim yang finis di peringkat keempat dan kelima di masing-masing grup akan mengikuti babak playoff untuk memerebutkan dua tiket tersisa ke perempat final.
Presiden UEFA Aleksander Ceferin menilai, Liga Super Eropa hanyalah ajang keserakahan yang mencederai nilai-nilai sepak bola.
”Kami akan membantu sepak bola di setiap jenjang untuk mendapatkan tempat yang layak di dunia. Sepak bola adalah satu-satunya olahraga global yang punya 4 miliar penggemar. Maka, adalah tanggung jawab kami untuk merespon gairah mereka,” ungkap Florentino Perez, Presiden Real Madrid yang ditunjuk sebagai Presiden Liga Super Eropa.
Konsep Liga Super Eropa yang menggiurkan itu membuat klub-klub pendiri sangat percaya diri rencananya bisa berjalan. Bahkan, mereka optimistis bakal ada tiga klub lagi yang bergabung sehingga nantinya bakal ada 15 klub pendiri. Kedua belas klub pendiri saat ini baru berasal dari tiga liga top Eropa, yaitu Liga Spanyol, Liga Inggris, dan Liga Italia.
Namun, klub-klub di Jerman sudah menyatakan menolak rencana itu karena mereka masih berkomitmen untuk mengikuti sikap Asosiasi Klub Eropa (ECA). ”Anggota ECA bersikap tegas menolak Liga Super Eropa. Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund juga bersikap serupa,” bunyi pernyataan resmi Dortmund, kemarin.
Langkah yang diambil para klub pendiri itu untuk menggelar Liga Super terbilang nekat. Otoritas tertinggi sepak bola, seperti FIFA dan UEFA, telah menegur, bahkan mengancam dengan sanksi berat. Mereka melarang pemain yang tampi di Liga Super Eropa untuk bermain di Piala Dunia maupun Piala Eropa.
Presiden UEFA Aleksander Ceferin menilai, Liga Super Eropa hanyalah ajang keserakahan yang mencederai nilai-nilai sepak bola. ”Liga Super Eropa hanyalah tentang uang, milik selusin klub. Sepak bola telah menjadi olahraga terbesar di dunia yang didasarkan kompetisi terbuka dan integritas. Kami tidak bisa membiarkan itu semua diubah. Tidak akan pernah,” katanya.
UEFA semakin berang karena Liga Super Eropa itu diumumkan kurang dari sehari ketika UEFA akan membahas pengembangan format Liga Champions. Mereka ingin menambah jumlah peserta Liga Champions, yaitu dari 32 menjadi 36 tim, agar kian banyak klub yang bisa tampil dan mendapat keuntungan finansial.
Proyek Liga Super Eropa mengancam prinsip solidaritas dan kepantasan dalam olahraga. (Emmanuel Macron)
Kemarin, para pendukung klub yang terlibat di Liga Super Eropa terus melancarkan protes. Para pendukung Liverpool, misalnya, mendatangi Stadion Anfield dan memasang spanduk berisi kecaman. ”Memalukan. RIP LFC 1892-2021,” bunyi tulisan salah satu spanduk tersebut.
Kritikan serupa datang dari mantan pemain. ”Saya merasa jijik. Sungguh jijik. Mereka memisahkan diri untuk liga tanpa kompetisi (yang pantas) dan mereka tidak bisa terdegradasi,” ujar Gary Neville, mantan bek MU, dikutip Sky Sports.
Sejumlah pemimpin negara juga ikut bersuara mengkritisi langkah pembelotan klub-klub elite Eropa itu. Lewat akun Twitter-nya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berkata, Liga Super bakal merusak Eropa. Untuk itu, ia mendukung langkah otoritas sepak bola Inggris, Football Association (FA), yang menentang dan akan mengambil langkah tegas atas rencana pendirian liga itu. Sebanyak enam klub raksasa Inggris, yang biasa disebut "The Big Six", sebelumnya telah mendukung ide pembentukan kompetisi eksklusif itu.
Sementara itu, di Perancis, belum ada satu pun klub, termasuk klub kaya raya Paris Saint-Germain, yang menyatakan akan bergabung dengan liga itu. "Kami menyambut baik sikap klub-klub Perancis yang menolak berpartisipasi di Liga Super Eropa. Proyek itu mengancam prinsip solidaritas dan kepantasan dalam olahraga," ujar Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Polemik itu pun membuat para pemain dan manajer atau pelatih klub berada dalam posisi sulit. ”Kami adalah pekerja di klub. Sebaiknya, kami tidak ikut berpolitik dalam situasi ini. Persoalan ini di luar kendali kami,” kata Manajer Chelsea Thomas Tuchel. (AP/AFP/REUTERS)