Sejumlah kendala membuat regenerasi pebulu tangkis ganda putri lebih lambat dari nomor lainnya. Perlu waktu untuk menghasilkan penerus Greysia Polii, pemain ganda putri terbaik Indonesia saat ini.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Penggemar bulu tangkis Indonesia harus menanti lebih lama untuk melihat lahirnya ”Greysia Polii” baru. Hingga dua tahun mendatang, skuad pelatnas nomor ganda putri masih dalam proses melahirkan dan mematangkan penerus pemain ganda putri paling senior tersebut.
Saat ini, Indonesia hanya memiliki Greysia/Apriyani Rahayu sebagai pasangan yang aktif bertanding pada posisi 30 besar dunia. Sebagai salah satu negara dengan kekuatan besar di bulu tangkis dunia, jumlah itu yang paling sedikit dibandingkan dengan negara besar lain.
China, misalnya, memiliki lima pasangan dalam rentang peringkat sama, sedangkan Jepang dan Korea Selatan dengan empat pasangan. Malaysia pun punya tiga pasangan, diikuti Thailand dengan dua pasangan.
Nama Della Destiara Haris/Rizki Amelia Pradipta sebenarnya masih tertera pada peringkat ke-22 dunia, tetapi mereka tak lagi aktif bertanding. Setelah Greysia/Apriyani, pasangan Indonesia berikutnya adalah Siti Fadia Silva Ramadhanti/Ribka Sugiarto di peringkat ke-34 dunia.
Fadia/Ribka, yang sama-sama lahir tahun 2000, adalah satu dari enam pasangan yang disiapkan tim pelatih ganda putri untuk meneruskan era Greysia/Apriyani. Meski belum membicarakan kepastian pensiun, dengan usia 33 tahun, perjalanan karier Greysia seharusnya tak lama lagi berakhir. Adapun Apriyani, yang lebih muda 11 tahun dari seniornya itu, akan disiapkan berpasangan dengan pemain lain.
Persiapan untuk mencari pasangan baru Apriyani itu dilakukan bersamaan dengan program saat ini, yaitu mengisi pelatnas utama ganda putri dengan pemain berusia 18-20 tahun. Lima orang di antara mereka naik dari pelatnas pratama.
Program regenerasi ganda putri untuk meneruskan era Greysia/Nitya Krishina Maheswari, lalu Gresia/Apriyani, dilakukan dengan menempuh risiko. Pelatih kepala ganda putri Eng Hian menjelaskan, dengan peringkat dunia rendah—hanya Greysia/Apriyani, Fadia/Ribka, dan Nita Violina Marwah/Putri Syaikah yang masuk 100 besar dunia—sebagian besar ganda putri pelatnas harus tampil pada turnamen level rendah, seperti BWF Super 100, International Challenge, dan International Series. Turnamen level itu banyak digelar di Eropa.
”Jika bisa bertanding dan mengumpulkan poin dalam 10-12 turnamen setahun ini, mereka seharusnya bisa bertanding pada turnamen dengan level lebih tinggi dari Super 100 pada 2022. Target utamanya adalah menyiapkan pemain untuk Olimpiade 2024,” tutur Eng Hian di Jakarta, Rabu (7/4/2021), dalam pertemuan dengan media melalui Zoom yang diselenggarkaan tim Humas dan Media PP PBSI.
Berdasarkan program tersebut, tak banyak ganda putri Indonesia yang tampil dalam turnamen berlevel Super 500 ke atas pada waktu dekat. Eng Hian bahkan memastikan, ganda putri tak bisa diharapkan meraih kemenangan pada kejuaraan beregu Piala Uber yang digelar pada 9-17 Oktober di Denmark.
Jika bisa bertanding dan mengumpulkan poin dalam 10-12 turnamen setahun ini, mereka seharusnya bisa bertanding pada turnamen dengan level lebih tinggi dari Super 100 pada 2022. Target utamanya adalah menyiapkan pemain untuk Olimpiade 2024.
Pelatih ganda putri pelatnas sejak 2014 yang mengantar Greysia/Nitya meraih medali emas Asian Games Incheon 2014 itu menjelaskan beberapa kendala melahirkan ganda putri top dunia. Selain faktor personal, seperti rendahnya motivasi, Eng Hian menyebut kendala lain, yaitu tidak ada pemain ganda putri Indonesia yang bermain di dua nomor.
”Padahal, itu penting untuk meningkatkan kemampuan pemain. Idealnya bisa dilakukan sejak yunior hingga tingkat Super 500. Hal itu dilakukan banyak pemain internasional. Di sini, semuanya sudah terkotak-kotak, pemain dibagi dalam lima nomor,” tuturnya.
Hindari cedera
Tentang persiapan Greysia/Apriyani, yang akan menjadi satu-satunya wakil ganda putri Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 pada 23 Juli-8 Agustus, Eng Hian mengatakan hanya akan menyertakan mereka pada dua turnamen sebelum ke Tokyo. Kedua turnamen itu adalah Malaysia Terbuka (25-30 Mei) dan Singapura Terbuka (1-6 Juni).
”Target mereka untuk juara sudah dijalankan dalam tiga turnamen di Thailand pada Januari. Dalam sisa waktu ini, penilaian saya adalah penampilan mereka, bukan hasil. Hal lain yang juga penting adalah menjaga diri jangan sampai cedera,” kata Eng Hian.
Dalam turnamen yang masing-masing berlevel Super 750 dan 500 itu, tim pelatih juga akan memantau penampilan calon lawan di Olimpiade, terutama pemain Jepang dan China. Setelah absen di semua turnamen yang telah berlangsung pada 2021, skuad China dikabarkan akan bermain di Malaysia dan Singapura.
Pemain Jepang seharusnya menjadi lawan di All England, tetapi pertemuan dengan mereka batal terjadi setelah tim ”Merah Putih” didiskualifikasi karena kasus berada satu pesawat dengan penumpang yang terinfeksi Covid-19 dari Turki ke Inggris.