Tiga kekalahan beruntun di Liga Inggris menenggelamkan identitas Liverpool sebagai juara bertahan. Supremasi ”The Reds” tidak lagi terlihat pada musim ini.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LEICESTER, SABTU — Identitas Liverpool sebagai juara bertahan Liga Inggris semakin dipertanyakan setelah dikalahkan Leicester City, Sabtu (13/2/2021) malam. Datang dengan motivasi lebih untuk mempersembahkan kemenangan di tengah rasa duka manajernya, Juergen Klopp, skuad ”The Reds” justru pulang dengan rasa malu.
Tak tanggung-tanggung, Liverpool kalah 1-3 pada laga itu. Laga itu kian menegaskan kondisi negatif mereka, akhir-akhir ini. Dalam tiga laga terakhir di Liga Inggris, mereka selalu kalah dan kebobolan total delapan gol dari lawan-lawannya.
Padahal, mereka datang dengan semangat berlipat ke markas Leicester, Stadion King Power, kemarin malam. Mereka ingin sedikit menghibur Klopp yang baru kehilangan ibunya, Elizabeth, Rabu lalu. Namun, motivasi lebih Liverpool ternyata berujung mimpi buruk bagi Klopp.
”Si Merah” lengah menghadapi ledakan tim tuan rumah dalam 15 menit terakhir laga bertajuk ”duel tim empat besar Liga Inggris” tersebut. Padahal, ironisnya, mereka sempat unggul lebih dulu lewat gol indah penyerangnya, Mohamed Salah. Ia membuat tembakan melengkung setelah memanfaatkan umpan tidak kalah hebatnya, yaitu lewat tumit Roberto Firmino, pada menit ke-67 laga itu.
Akan tetapi, celakanya, Liverpool seolah larut dalam euforia setelah terciptanya gol itu. Mereka seolah-olah menganggap laga itu telah berakhir. Petaka pun menghampiri mereka. Leicester mengejutkan mereka dengan tiga gol balasan, hanya dalam waktu enam menit. Ketiga gol itu secara berturut-turut dicetak James Maddison, Jamie Vardy, dan Harvey Barnes.
Bukannya dibuat tersenyum, Klopp pun tampak geram terhadap tim asuhannya. Ketika kemasukan gol secara beruntun, dia meneriaki para pemain sambil merentangkan tangannya. Dia tampak kecewa dan mempertanyakan komitmen Salah dan rekan-rekannya.
”Ini adalah momen yang sangat berat. Ini sekaligus pelajaran yang harus kami ambil sebagai kritik terhadap diri sendiri. Pertandingan sangat mudah berubah hanya dengan keunggulan satu gol. Reaksi kami tidak bagus,” kata Klopp yang menjalani laga ke-300 bersama Liverpool pada pertandingan itu.
Wajar jika Klopp tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya pada laga itu. Manajer yang telah berjasa memberikan Liverpool trofi juara Liga Inggris pertama dalam tiga dekade dan satu trofi Liga Champions Eropa itu tidak mampu dihibur para pemainnya saat berduka.
Kekalahan itu kian melengkapi derita mereka yang sebelumnya dipermalukan rivalnya dalam perburuan gelar juara, Manchester City, 1-4, pekan lalu. Tak pelak, sejumlah pihak menyebutkan, Liverpool tengah mengalami krisis identitas.
Pada dua musim terakhir di Liga Inggris, mereka sangatlah perkasa. Dari delapan laga terakhir menghadapi Leicester, misalnya, mereka tujuh kali menang. Adapun kemenangan ”Si Rubah” kali ini merupakan yang pertama kali sejak 2016.
Juara bertahan terburuk
Aura Liverpool sebagai tim menakutkan pun mulai memudar. Dalam 24 pekan, mereka mengalami penurunan jumlah poin hingga 42 persen dibandingkan dengan musim lalu. Musim ini mereka hanya memiliki 40 poin. Pada periode yang sama di musim lalu, mereka mengemas 70 poin. Statistik itu menempatkan Liverpool sebagai salah satu juara bertahan terburuk sepanjang sejarah liga itu.
Jangankan juara, Liverpool kini terancam keluar dari zona empat besar. Chelsea, jika menang saat menghadapi Newcastle United pada laga Selasa (16/2/2021) dini hari WIB, akan mengudeta Liverpool dari peringkat keempat. Sementara itu, Leicester telah merangsek ke peringkat kedua, menyalip Manchester United yang baru akan bermain pada Minggu (14/2/2021) malam.
Mimpi buruk Liverpool, kemarin, diawali oleh kecerobohan Thiago Alcantara menghasilkan pelanggaran tepat di luar kotak penalti. Tendangan bebas itu dieksekusi sempurna gelandang berbakat tim tamu, Maddison.
Setelah itu, giliran bek baru dan debutan Liverpool, Ozan Kabak, yang membuat blunder. Ia menjadi biang keladi terjadinya gol kedua Leicester. Dia bertabrakan dengan kiper Alisson Becker yang membuat bola jatuh ke kaki Vardy yang dengan mudahnya mencetak gol.
Liverpool menjadi tim yang paling terpengaruh karena tidak ada penonton di stadion. Energi spesial yang selalu mendukung permainan intens Liverpool tidak ada. Itulah yang sangat dirindukan mereka.
Barnes, penyerang sayap Leicester, memanfaatkan pertahanan Liverpool yang sudah kehilangan konsentrasinya. Golnya semakin menenggelamkan mental tim tamu.
Padahal, sepanjang permainan, Liverpool sebetulnya mendominasi laga dengan 62 persen penguasaan bola. Namun, penguasaan itu tidak berarti besar. Mereka tidak mampu menemukan banyak peluang berarti di sepertiga pertahanan lawan.
Kemenangan Leicester tidak lepas dari kesuksesan eksekusi strategi Manajer Leicester City Brendan Rodgers. Dia memainkan pola 3-4-2-1 dengan tujuan lebih bertahan menghadapi kepungan tim tamu. Cara itu sangat efektif karena mereka bisa memanfaatkan serangan balik cepat lewat akselerasi dan kelincahan Vardy di lini depan.
”Saya sangat bangga dengan tim ini. Saya pikir, tahun lalu, kami tertinggal jauh dari mereka. Tadi, pada babak kedua, kami bermain sangat baik dengan pertahanan yang agresif. Hal itu membuat kami bisa menyerang lebih agresif juga. Para pemain bermain sangat bagus. Mereka mau berlari, bertarung, hingga kami bisa mendapatkan gol,” kata Rodgers yang nampak gembira seusai laga itu.
Martin Keown, mantan pemain Arsenal, menilai, musim ini akan sangat berat dijalani Liverpool. Ia memprediksi Liverpool bakal kesulitan menembus peringkat empat besar. Masalah utamanya adalah kelemahan lini belakang mereka.
”Liverpool tidak terlihat seperti tim juara pada musim ini. (Selain lini belakang) mereka juga menjadi tim yang paling terpengaruh karena tidak ada penonton di stadion. Energi spesial yang selalu mendukung permainan intens Liverpool tidak ada. Itulah yang sangat dirindukan mereka,” kata Keown.(AP/BBC/REUTERS)