Pengurangan kuota atlet angkat besi di Olimpiade Paris 2024 bisa membuat lifter Indonesia kehilangan kans berprestasi dalam ajang terbesar. IOC menghapus empat kelas sehingga angkat besi hanya menyisakan 10 nomor.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan kuota atlet Olimpiade Paris 2024 berdampak besar pada cabang angkat besi. Pengurangan drastis ini turut memberi ketidakpastian bagi lifter nasional tampil di Paris. Indonesia yang selalu mengandalkan medali dari angkat besi pun akan dirugikan.
Sebelumnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengumumkan pengurangan kuota atlet Olimpiade Paris 2024 dari kuota Tokyo 2020. Sebanyak 28 cabang dipangkas kuotanya. Angkat besi menjadi yang paling banyak dipotong, dengan kuota 120 atlet dalam 10 kelas. Jumlah ini berkurang dari 196 atlet di 14 kelas pada Tokyo 2020. Adapun kuota lifter di Rio de Janeiro 2016 sebanyak 260 atlet.
”Trennya terjadi pengurangan terus. Ini tak hanya merugikan Indonesia, tetapi juga cabang angkat besi sendiri. Kita hanya bisa melihat dan menunggu sambil terus bersiap diri,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Sonny Kasiran saat dihubungi, Rabu (9/12/2020), dari Jakarta.
Hal paling mengkhawatirkan adalah hilangnya kelas-kelas ringan unggulan Indonesia. Pada kelas tersebut terdapat lifter muda berpotensi besar tampil di Paris, seperti Muhammad Fathir (61 kg), Rahmat Erwin Abdullah dan Rizki Juniansyah (73 kg), serta Windy Cantika Aisah (49 kg putri).
PB PABBSI menunggu kongres Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) pada 2021 yang akan menentukan kelas pada Paris 2024. PABBSI akan memberi masukan agar pembagian kelas berlangsung adil. Diharapkan kelas ringan hingga berat bisa dibagi rata dalam 10 nomor tersebut.
Pindah kelas
Jika kelas andalan Indonesia tidak masuk, masih ada peluang untuk pindah kelas, dengan catatan perpindahan tidak terlalu jauh, misalnya dari kelas 73 kg menjadi 81 kg. Namun, persaingan akan semakin ketat dan kans Indonesia untuk berprestasi akan sangat berat.
”Jangankan meraih medali, untuk lolos saja sudah sulit. Sebab, persaingan pasti akan lebih ketat dengan hanya 12 atlet per kelas. Ditambah lagi, banyak lifter yang akan pindah kelas,” kata Sonny.
Pelatih kepala pelatnas angkat besi, Dirdja Wihardja, mengatakan, perubahan kelas tidak akan menjadi masalah selama dipersiapkan jauh hari. Apalagi, lifter-lifter yang diharapkan lolos ke Olimpiade nanti masih berusia 17-19 tahun. Adaptasi kelas baru akan lebih mudah bagi para lifter muda.
”Sangat mungkin naik kelasnya. Misalnya Rizki, sekarang dia baru 17 tahun. Lebih muda, lebih mudah diubahnya. Kalau sudah ada pengumuman resmi IWF, pasti akan kami sesuaikan dan jaga. Yang jelas harus disiapkan setidaknya dua tahun sebelum Olimpiade, saat kualifikasi dimulai,” kata Dirdja.
Angkat besi mengalami pengurangan kuota terbanyak karena faktor utama, yaitu masalah doping yang terjadi pada ajang-ajang sebelumnya. Selain itu, tata kelola organisasi IWF juga turut menjadi pertimbangan IOC.
Jangankan meraih medali, untuk lolos saja sudah sulit. Sebab, persaingan pasti akan lebih ketat dengan hanya 12 atlet per kelas. Ditambah lagi, banyak lifter yang akan pindah kelas.
Secara keseluruhan, kuota atlet Olimpiade akan berkurang 592 atlet, dari 11. 092 di Tokyo menjadi sekitar 10.500 atlet di Paris. Nomor pertandingan yang dilombakan pun berkurang dari 339 menjadi 329 meskipun ada beberapa cabang baru, seperti breakdancing.
IOC juga akan memulai era baru kesetaraan jender pada 2024. Jumlah atlet putra dan putri akan dibuat seimbang dengan perbandingan 50:50, dari sebelumnya yang lebih banyak atlet putra. ”Kami ingin menjadikan Olimpiade Paris cocok untuk dunia setelah Covid-19. Kami mengurangi biaya dan kerumitan penyelenggaraan Olimpiade,” kata Presiden IOC Thomas Bach.
IOC memberikan waktu kepada IWF untuk memutuskan kelas yang akan dilombakan hingga akhir 2021. Dalam rilis IWF, mereka meyakini akan memenuhi kriteria untuk Olimpiade Paris. (REUTERS)