Pensiunnya Adhi Pratama meninggalkan "lubang" besar di posisi "center" tim nasional basket Indonesia. Belum ada penerusnya yang bisa menggantikannya. Tak pelak, naturalisasi pemain masih menjadi solusi instan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Adhi Pratama (27) memutuskan pensiun dari basket profesional akibat masalah cedera. Pensiunnya pemain center lokal terbaik itu menjadi pukulan bagi basket nasional. Belum ada penggantinya yang setara akibat mandeknya regenerasi di tengah kepungan para pemain asing.
Adhi menyatakan gantung sepatu pada Kamis (8/10/2020), sehari setelah kelanjutan Liga Bola Basket Indonesia (IBL) musim 2020 diputuskan batal. Dia menutup 11 tahun karier sebagai pebasket profesional di klub Pelita Jaya.
”Intinya karena cedera (lutut) kambuhan. Semakin ke sini, kian sulit menahan rasa sakit itu. Sebenarnya, (pensiun) ini direncanakan akhir musim. Ternyata, IBL dibatalkan. Jadi, itu dipercepat,” kata Adhi dihubungi Jumat (9/10/2020) dari Jakarta.
Pensiunnya Adhi menyisakan realitas pahit. Saat ini, belum ada center lokal yang bisa menggantikannya. Pengalaman dan kualitasnya masih jauh dibandingkan para penerusnya. ”Kita gawat darurat di posisi center. Jangankan kualitas, kuantitasnya sangat sedikit. Berarti, ada yang salah regenerasinya,” kata mantan pelatih timnas basket Indonesia, Fictor Roring.
Di timnas putra Indonesia, kini tersisa satu pemain center murni, Vincent Kosasih. Pebasket berusia 24 tahun ini berbakat, tetapi belum cukup matang sebagai tulang punggung tim. Jam terbang di klub dan timnas masih sangat minim.
Hal itu berbeda jauh dengan Adhi. Ketika berusia 22 tahun, dia sudah matang bersama timnas Indonesia di SEA Games 2015. Dia menjadi tulang punggung tim putra meraih medali perak bersama para center senior, seperti Rony Gunawan, Christian Ronaldo Sitepu, dan Ponsianus Nyoman Indrawan.
Menurut Fictor, persoalan ini perlu menjadi evaluasi Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) maupun IBL. ”(IBL) memproduksi pemain berkualitas. Jadi, harus dilihat dari sana juga,” ungkapnya kemudian.
Dominasi asing
Sementara, Adhi menilai, lambatnya regenerasi tidak lepas dari kekurangan menit bermain para center lokal. Jangankan pemain muda, senior seperti dirinya kesulitan mendapatkan kesempatan bermain. Semua karena dominasi pemain asing.
”Saya merasakannya sendiri. Bukannya nggak bisa bersaing. Pelatih kan lebih percaya mereka (center asing). Kesempatan bermain (pemain lokal) pun berkurang drastis. Padahal, menit bermain itu memupuk percaya diri kita,” katanya.
Musim ini, IBL memperbolehkan setiap klub memiliki tiga pemain asing, yaitu dua pemain inti dan satu cadangan. Kuota pemain asing itu bertambah dari sebelumnya hanya dua, yaitu pada 2017.
Itu (pemain asing) seperti pedang bermata dua. Menusuk pemain lokal kita. Bagaimana mereka (center lokal) bisa teruji jika hanya bermain saat latihan.
Pengamat basket nasional Eko Widodo mengatakan, korban paling besar dari kehadiran pemain asing adalah center lokal. Klub-klub akan fokus mencari pemain asing bertubuh besar. Klub-klub yang memiliki pemain besar dominan, sejauh ini, memiliki kecenderungan juara.
”Untuk penonton memang bagus, atraktif. Tetapi, itu seperti pedang bermata dua. Menusuk pemain lokal kita. Bagaimana mereka (center lokal) bisa teruji jika hanya bermain saat latihan,” ucapnya.
Menurut Eko, akan sangat baik jika Perbasi bisa menghadirkan tiga kompetisi dalam setahun, seperti yang dilakukan penguasa basket di Asia Tenggara, Filipina. Mereka membuat kompetisi-kompetisi berbeda. Ada yang khusus pemain lokal, ada pula liga dengan satu serta dua pemain asing.
IBL sebetulnya sudah memiliki kompetisi khusus pemain lokal. Akan tetapi, itu hanya kompetisi pramusim sebelum liga sebenarnya dimulai. Liga itu berlangsung sekitar sebulan.
Naturalisasi
Lambatnya regenerasi pemain membuat timnas mencari pemain dari luar. Awal pekan ini, permohonan naturalisasi dua pemain putra dari luar negeri, Lester Prosper dan Brandon Jawato, disetujui Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Menurut Menteri Pemuda dan Olahraga RI Zainudin Amali, Perbasi masih mencari pemain dengan tinggi di atas 2 meter. Langkah itu dilakukan agar kualitas timnas Indonesia bisa mengimbangi negara-negara lain pada Piala Dunia FIBA 2023 mendatang.
”Ada kandidat pemain berdarah Indonesia yang sedang bermain di klub-klub Eropa. Perbasi sedang mengusahakannya agar kita bisa bersaing saat jadi tuan rumah di Piala Dunia,” ujarnya