Dalam persaingan olahraga, sportivitas adalah nilai yang harus ditegakkan, baik kepada lawan maupun ofisial pertandingan. Ketidakmampuan mengontrol emosi bisa menamatkan perjalanan atlet pada sebuah turnamen.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
”Berbicara tentang memukul bola dengan amarah di lapangan tenis, Anda harus sadar bahwa jika bola mengenai seseorang, perjalananmu di turnamen selesai saat itu juga. Maka, ketika bola dari Novak mengenai tubuh hakim garis, saya tegaskan, dia selesai. Tak ada skenario lain,” ujar Rennae Stubbs, komentator Grand Slam Amerika Serikat Terbuka untuk stasiun televisi ESPN.
Mantan petenis putri Australia tersebut menyampaikan pendapatnya terhadap apa yang dilakukan Novak Djokovic, petenis putra nomor satu dunia, ketika berhadapan dengan Pablo Carreno Busta pada babak keempat AS Terbuka. Pertandingan berlangsung di Stadion Arthur Ashe, Flushing Meadows, New York, Minggu (6/9/2020) waktu setempat.
Setelah kehilangan servis pada gim ke-11, yang membuatnya tertinggal 5-6, Djokovic memukul bola ke belakang lapangan tanpa melihat arah. Alih-alih menuju petugas pemungut bola, bola tersebut mengenai leher sebelah kanan salah satu hakim garis. Seketika, hakim garis perempuan tersebut jatuh berlutut.
Dengan raut wajah terkejut, Djokovic berlari menghampiri hakim garis untuk meminta maaf. Setelah diperiksa tim medis dan dipastikan dalam kondisi baik, petugas tersebut meninggalkan lapangan.
Diskusi terjadi antara Djokovic, wasit turnamen Soeren Friemel, penyelia Grand Slam Andreas Egli, dan wasit pertandingan Aurelie Tourte. Friemel memastikan kronologi kejadian dengan meminta penjelasan Tourte dan Djokovic.
”Kami memberi kesempatan kepada Djokovic untuk menyampaikan pandangannya. Dia berkata bahwa dia tidak sengaja. Kami setuju dengan itu, tetapi faktanya, bola tetap mengarah dan membuat hakim garis kesakitan. Tak ada pilihan lain selain mendiskualifikasi,” kata Friemel.
Berdasarkan Buku Peraturan Grand Slam dari Federasi Tenis Internasional (ITF), keputusan dari wasit turnamen yang dibuat setelah berdiskusi dengan penyelia Grand Slam adalah keputusan final.
Setelah bersalaman dengan Busta dan meninggalkan lapangan, petenis asal Serbia itu tak menghadiri konferensi pers melalui konferensi video karena turnamen diselenggarakan pada masa pandemi Covid-19. Namun, Djokovic menyampaikan permintaan maaf melalui pernyataan dalam akun media sosialnya. Dia juga mengatakan bahwa insiden itu menjadi pelajaran, tidak hanya dalam kariernya sebagai petenis, tetapi juga sebagai manusia.
Menyesalkan
Sejumlah mantan petenis, seperti Martina Navratilova, Billie Jean King, dan James Blake menyesalkan kejadian tersebut. Mereka juga sepakat, sanksi memang harus didapat Djokovic.
”Novak Djokovic adalah seorang juara dan menjadi contoh bagi atlet cabang lain. Dia juga sosok yang baik. Tetapi, ketika dia melakukan sesuatu yang menempatkan orang lain dalam bahaya, sanksi memang harus diberikan,” ujar Blake kepada The New York Times.
Selain diskualifikasi, yang merupakan hukuman langka dalam turnamen tenis, Djokovic juga menerima konsekuensi kehilangan poin peringkat dari AS Terbuka 2020. Dia pun didenda dari hadiah yang didapat dengan mencapai babak keempat, sebesar 250.000 dollar AS (sekitar Rp 3,6 miliar), dan bisa ditambah dengan denda lain terkait pelanggaran yang dilakukannya.
Seperti diatur dalam Buku Peraturan Grand Slam, sanksi atas pelanggaran kode etik bagi petenis terdiri dari peringatan, penalti poin, dan diskualifikasi. Atas pelanggaran yang dilakukan Djokovic, karena dinilai sebagai pelanggaran berat, sanksi penalti poin bisa dilewati untuk penerapan diskualifikasi dengan segera.
Kasus Djokovic merujuk pada Pasal III mengenai pelanggaran yang dilakukan petenis saat di lapangan. Dalam poin Q tentang pelecehan fisik disebutkan, pemain tidak boleh melecehkan petugas, lawan, penonton, atau orang lain di dalam area turnamen.
Selanjutnya dijelaskan, ”Pelanggaran bagian ini akan membuat pemain dikenai denda hingga 20.000 dollar AS untuk setiap pelanggaran. Selain itu, jika pelanggaran tersebut terjadi selama pertandingan (termasuk pemanasan), pemain akan dikenai penalti poin.”
”Pada kondisi yang paling keras, ’perilaku yang diperburuk’ dapat memicu denda hingga 250.000 dollar AS atau jumlah hadiah uang yang dimenangi dalam turnamen, tergantung pada jumlah yang lebih besar. Dapat ditetapkan pula hukuman maksimum, yaitu penangguhan permanen dari permainan di semua turnamen Grand Slam.”
Atas dasar itu, Djokovic pun mendapat denda dengan jumlah maksimal, sesuai hadiah uang yang didapatnya hingga mencapai babak keempat.
Buang peluang
Bukan sekali ini saja diskualifikasi di tengah turnamen tenis terjadi, termasuk di arena Grand Slam. Salah satu momen terkenal adalah ketika petenis temperamental John McEnroe dikeluarkan dari Australia Terbuka 1990.
Ketika berhadapan dengan Mikael Pernfors (Swedia), pada babak keempat, McEnroe mengintimidasi salah satu hakim garis yang keputusannya dinilai merugikan.
McEnroe memantul-mantulkan bola menggunakan raket di depan wajah hakim garis tersebut. Setelah mendapat tiga kali peringatan karena pelanggaran lain, yaitu membanting raket, dia pun didiskualifikasi oleh wasit. Peraturan yang berlaku ketika itu mengharuskan wasit mengeluarkan petenis dari turnamen jika mendapat tiga peringatan dalam satu pertandingan.
Mantan petenis Inggris, Tim Henman, yang kebetulan menjadi salah satu komentator pertandingan Djokovic melawan Busta juga pernah mengalaminya. Bermain pada ganda putra, berpasangan dengan Michael Jeremy Bates, Henman didiskualifikasi pada babak pertama karena memukul bola yang melukai salah satu pemungut bola.
Dari luar Grand Slam, peristiwa paling mengerikan terjadi ketika Denis Shapovalov memukul bola dengan keras hingga mengenai mata wasit Arnaud Gabbas. Mata Gabbas bengkak sehingga Shapovalov didiskualifikasi dan didenda 7.000 dollar AS.
Bagi Djokovic, pelampiasan emosi yang membahayakan atau hampir membahayakan orang lain tak hanya terjadi kali ini. Pada perempat final Grand Slam Perancis Terbuka 2016, melawan Tomas Berdych, raket yang dibantingnya hampir mengenai salah satu hakim garis.
Pada tahun yang sama, ketika melawan Dominic Thiem dalam penyisihan grup turnamen Final ATP di London, Inggris, Djokovic melampiaskan emosi dengan memukul bola ke arah timnya yang duduk di barisan depan tribune penonton.
Kepada BBC, Djokovic pun mengakui keburukannya itu. ”Ini bukan masalah baru bagi saya, bukan untuk pertama kalinya saya melakukannya,” katanya.
Jika sebelumnya selalu lolos dari sanksi berat, kali ini Djokovic tak bisa mengelak dari hukuman. Dampaknya cukup besar, yaitu menggagalkan ambisi mengejar dan melampaui prestasi dua rivalnya, Roger Federer dan Rafael Nadal, dalam meraih gelar juara Grand Slam. Saat ini, dengan 20 gelar, Federer menjadi tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, diikuti Nadal (19 gelar) dan Djokovic (17).
Apa yang dialami Djokovic menjadi contoh bahwa kekalahan seorang petenis tak hanya ditentukan oleh buruknya permainan, tetapi juga karena buruknya perilaku hingga melanggar etika.