Orangtua menjadi salah satu kunci pembentukan mental baja seorang pecatur sehingga siap menerima kemenangan ataupun kekalahan. Pembenahan sisi teknik dan mental seorang pecatur harus seimbang.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menjadi pecatur berprestasi, atlet harus memiliki mental baja yang siap menghadapi naik turun kariernya. Orangtua dinilai menjadi salah satu kunci pembentukan mental baja itu. Namun, orangtua juga harus memahami batasan dalam pembinaan mental atlet agar tidak berlebihan yang justru bisa berdampak buruk.
Demikian mengemuka dalam bincang-bincang daring bertema ”Mental Toughness for Champions” yang digelar Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA), Minggu (30/8/2020). Anggota Dewan Pembina Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PB Percasi), Eka Putra Wirya, mengatakan, untuk menjadi pecatur berprestasi, titik krusialnya berada pada pembinaan atlet usia muda.
Dalam pembinaan atlet muda, pembenahan sisi teknis atau kemampuan dan mental harus seimbang karena keduanya saling melengkapi. Perkembangan teknis dan mental adalah dua fondasi untuk keberlanjutan karier pecatur. Jika salah satu fondasi lemah, sulit untuk pecatur itu menjadi atlet berprestasi atau juara.
Pecatur yang unggul secara teknis biasanya tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik dalam ajang-ajang besar jika mentalnya lemah. Sementara itu, pecatur kuat mental sulit untuk bersaing jika tidak memiliki kemampuan lebih.
Untuk pembenahan teknis, Eka menilai, pembinaannya sudah cukup kompetitif. Paling tidak sudah banyak akses untuk pecatur mengembangkan kemampuannya, seperti melalui internet ataupun sekolah catur. PB Percasi juga telah menyiapkan pelatih-pelatih berkualitas untuk membenahi sisi teknis para pecatur nasional.
Untuk pembenahan mental dibutuhkan usaha lebih. Sebab, pembentukan mental pecatur dipengaruhi banyak faktor, mulai dari diri sendiri hingga lingkungan sekitar. Pembentukan mental juga butuh proses panjang, yakni dari usia dini. ”Agar pembentukan mental optimal, diperlukan pula peran serta aktif dari orangtua ataupun pelatih yang mendampingi,” ujarnya.
Tidak bisa diremehkan
Eka mengingatkan, pembentukan mental ini tidak bisa diremehkan, tetapi juga tidak boleh berlebihan. Orang-orang di sekitar pecatur bersangkutan harus peka, seperti memberikan masukan agar tidak senang berlebihan saat menang dan tidak terlalu bersedih saat kalah.
”Kemenangan dan kekalahan dalam suatu pertandingan sangat memengaruhi perkembangan mental pecatur. Dalam hal ini, pecatur harus diingatkan untuk tidak hanya melihat hasil menang atau kalah, melainkan bagaimana respons mereka terhadap hasil itu dan sikap orangtua dalam mendampingi,” katanya.
Selain itu, agar mental lebih kuat, pecatur perlu digiring untuk selalu menantang diri keluar dari zona nyaman. Selama ini, kebanyakan pecatur nasional hanya fokus berlatih pembukaan. Mereka perlu didorong berlatih permainan terakhir dan permainan tengah. Dengan begitu, mereka akan terpacu dan terbiasa berpikir lebih keras dalam memecahkan persoalan. ”Agar mental semakin baik, pecatur patut dibiasakan hidup displin dan jujur,” ucap Eka.
Ketua Umum PB Percasi Grand Master (GM) Utut Adianto menuturkan, orangtua memang memiliki peran penting dalam pembinaan mental pecatur. Namun, orangtua perlu paham pula batasan diri. Di Indonesia, orangtua sangat ingin anak-anaknya menjadi pecatur berprestasi. Walakin, sejumlah orangtua justru berlebihan dalam perkembangan karier anaknya.
”Dalam catur, naik turun prestasi ataupun performa pecatur itu hal biasa. Akan tetapi, agar tidak jatuh ketika gagal, pecatur harus didampingi dengan tepat. Khususnya orangtua, jangan masuk terlalu dalam ke hal teknis atlet. Sebab, itu justru akan berdampak buruk bagi atlet atau anak mereka. Itu bagaikan salah memberi obat untuk anak,” ujarnya.
Peran besar orangtua
Selama ini, peran besar orangtua secara tepat turut menjadi kunci sukses pembenahan teknis dan mental pecatur nasional sehingga menjadi atlet berprestasi. Hal itu terlihat dalam karier GM Susanto Megaranto. Menurut pecatur asal Indramayu, Jawa Barat, itu, ayahnya sangat berpengaruh dalam kariernya. Sejak mulai berlatih catur pada usia tujuh tahun, ayahnya selalu mendampingi saat latihan ataupun bertanding.
Di samping itu, lanjut Susanto, ayahnya tak segan memarahi ketika dirinya kalah dalam perlombaan. Salah satu contoh, ketika berusia 12 atau 13 tahun, dia ikut Kejuaraan Nasional Catur Cepat di Jakarta. Ketika itu, dia kalah di babak kedelapan. Setelah kekalahan itu, ayah Susanto marah dan langsung menyuruhnya pulang sehingga tidak melanjutkan perlombaan.
Padahal, Susanto masih punya kesempatan meraih hadiah walau kalah di babak kedelapan tersebut. ”Waktu kecil, saya sempat tidak terima perlakuan ayah saya. Tetapi, saat dewasa, saya baru paham, tujuan ayah saya supaya saya punya mental untuk selalu menang dan tidak mengulangi kesalahan. Akibatnya, saya selalu punya motivasi lebih untuk menang walaupun menghadapi lawan lebih berkualitas dan menjalani masa krisis dalam pertandingan,” katanya.
Orangtua pecatur berusia sembilan tahun As Syahsyah Syakish Thirof, Samsul Bahri, menyampaikan, dewasa ini, sulit untuk mendidik anak dengan keras karena justru bisa menjadi bumerang terhadap mental anak bersangkutan. Apalagi, usia anaknya masih sangat dini dan punya karier yang masih panjang.
Pendekatan lebih lunak
Untuk itu, Samsul memilih pendekatan lebih lunak, tetapi tetap terarah. Dia tidak mau menampilkan wajah kecewa atau marah ketika anaknya gagal menang. Dirinya memilih untuk mendekati dan mengajak bicara dari hati ke hati ketika anaknya kalah atau remis. Dirinya pun mengajak diskusi bersama membahas ketika anaknya meraih hasil tak optimal.
Cara itu cukup ampuh ketika As Syahsyah ikut kejuaraan internasional perdananya, yakni Kejuaraan Asia Timur Catur Remaja di Bangkok, Thailand, 2019. Saat itu, As Syahsyah menang dua kali secara beruntun di babak pertama dan kedua. Walakin, dari babak ketiga sampai keenam, As Syahsyah hanya meraih remis sehingga peluangnya masuk tiga besar kecil.
Hasil itu membuat As Syahsyah kecewa dan tidak bersemangat melanjutkan perlombaan. Pada saat itu, Samsul mendekati dan memberikan nasihat untuk bermain lebih lepas karena As Syahsyah terlihat tegang dalam kesempatan perdanaya tampil di pentas internasional,
Hasilnya, As Syasyah bisa meraih tiga kemenangan di tiga babak tersisa walaupun menghadapi lawan lebih tangguh. Dia pun mendapatkan perunggu dalam ajang tersebut. ”Saya selalu mengajak As bicara kalau dia meraih hasil tidak optimal. Saya arahkan dia untuk pelajari kesalahannya dan jangan diulang. Saya tidak mau memarahi karena takut justru semakin menjatuhkan mentalnya. Apalagi, dia masih kecil dan kariernya masih panjang,” tutur Samsul.
Medina menang
Setelah acara bincang-bincang, SCUA menggelar 14 laga dwitarung daring untuk memperingati HUT ke-27 sekolah yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, tersebut. Partai utama dwitarung mempertemukan pecatur Indonesia, Grand Master Putri (WGM) Medina Warda Aulia, dan pecatur Georgia, WGM Sopiko Guramishvili.
Dwitarung itu berlangsung dalam enam babak, yakni dua babak catur cepat, dua babak catur kilat, dan dua babak catur bullet. Medina berhasil menang atas Guramishvili dengan total skor 6,5 poin-5,5 poin. Salah satu faktor utama kemenangan Medina adalah ketika Guramishvili melakukan blunder menggerakkan benteng putihnya dari a2 ke b2 dalam babak kedua catur cepat.
Akibat kesalahan itu, Guramishvili menyerah karena benteng putih pasti akan dimakan gajah hitam dari f6 ke b2. Setelah itu, dirinya hanya menyisakan dua pion, sedangkan Medina masih memiliki satu gajah, satu kuda, dan dua pion. ”Laga ini bisa menjadi pengalaman dan mengasah diri sebelum saya ikut Piala Dunia Catur Putri (yang ditunda dari 2020 ke 2021), terutama dari sisi mematangkan pembukaan dan taktik/strategi,” kata Medina.