Palembang, di Antara Keraguan Publik dan Temuan Arkeologi Kedatuan Sriwijaya
Berdasarkan bukti yang ada, dari prasasti, artefak, hingga catatan asing, Palembang pernah menjadi ibu kota Sriwijaya.
Hingga kini, di kalangan masyarakat luas, termasuk di Sumatera Selatan, masih banyak yang menyangsikan apakah betul ibu kota Sriwijaya ada di Palembang. Namun, sejumlah prasasti dan temuan arkeologi menegaskan posisi tersebut.
Ibu kota Sriwijaya di Palembang bukanlah isapan jempol belaka. Sejumlah bukti, mulai dari data prasasati, artefak, hingga catatan asing, menyatakan bahwa ibu kota dari kedatuan bercorak maritim itu memang pernah ada di Palembang.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Koordinasi Persiapan Penelusuran dan Penyelamatan Arsip Kemaritiman Sriwijaya di Palembang, Rabu (22/5/2024). Dalam sesi tanya-jawab, Gunawan, seorang penanya dari Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumsel, mengatakan, dirinya masih bingung di mana lokasi persis Sriwijaya, apakah betul pernah berpusat di Palembang. Sepengetahuannya, suatu pusat kerajaan biasanya meninggalkan jejak berupa pusat keagamaan.
Baca juga: Penelusuran Arsip Kemaritiman Sriwijaya Segera Dimulai untuk Memperkuat Memori Kolektif Bangsa
Namun, menurut Gunawan, di Palembang tidak ada pusat keagamaan, seperti candi-candi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, Gunawan mengambil kesimpulan bahwa Sriwijaya tidak pernah berpusat di Palembang.
”Di sini, temuannya cuma ada sedikit-sedikit, cuma sekadar-sekadar. Jadi, Sriwijaya itu tidak ada di sini. Atau, Sriwijaya di sini hanya legenda yang dicocok-cocokkan. Kita justru akan malu kalau ada orang asing yang bertanya karena sejarah kita masih penuh dengan misteri,” ujarnya.
Pertanyaan Gunawan pun mendapatkan respons tegas dari arkeolog dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Maritim dan Budaya Berkelanjutan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Sondang M Siregar. Sondang mengingatkan, Sriwijaya bukan fiktif karena memiliki bukti data, baik berupa prasasti, arca, artefak, maupun catatan asing atau literatur yang jelas dan kuat.
Terkait pertanyaan di mana letak ibu kota Sriwijaya dan apakah betul ibu kotanya ada di Palembang, Sondang memastikan, itu adalah pertanyaan klasik yang terus diulang-ulang. Padahal, sejauh ini, semua bukti yang ada menunjukkan tanda-tanda kuat bahwa Palembang pernah menjadi pusat dari kedatuan tersebut.
”Kalau ada yang bertanya di mana lokasi Sriwijaya, sejauh ini jawabannya ada di Palembang. Bukannya saya mau melegitimasi Palembang, tetapi berdasarkan data yang ada, tinggalan arkeologi dari era Sriwijaya yang terbanyak ada di Palembang,” ujar Sondang.
Baca juga: Masjid Cheng Ho Palembang, Jembatan Keberagaman di ”Bumi Sriwijaya”
Tim arkeolog telah mencoba merekontruksi kota Sriwijaya. Suatu wilayah dikatakan sebagai kota atau ibu kota Sriwijaya kalau memenuhi tiga unsur, yakni menjadi pusat permukiman, memiliki pusat peribadatan, dan ada pusat rekreasi. Dari temuan yang ada, Palembang memenuhi semua unsur tersebut.
Jejak pusat permukiman Sriwijaya di Palembang terbentang dari kawasan Karang Anyar yang menjadi lokasi situs hidrolis Sriwijaya hingga sekitar 10 kilometer ke arah timur, tepatnya hingga kawasan Sabokingking yang menjadi lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu. Permukiman itu berada di tepian Sungai Musi. Di sepanjang kawasan itu, arkeolog menemukan banyak tiang kayu yang diduga fondasi rumah dan pecahan keramik dari sekitar abad VII atau saat era awal Sriwijaya.
Jejak pusat peribadatan Sriwijaya di Palembang berada di Bukit Siguntang, kompleks Candi Angsoka, Situs Sarangwati, dan Situs Telaga Batu. Pusat peribadatan itu berada sedikit ke utara yang tidak terlalu jauh dari kantong-kantong permukiman. Di lokasi-lokasi itu, arkeolog menemukan prasasti, arca, dan reruntuhan candi ataupun jejak fondasi candi, termasuk yang dari abad VII.
Jejak pusat rekreasi Sriwijaya di Palembang berada di Taman Sriksetra yang berada di sebelah utara dari pusat permukiman dan peribadatan. Keberadaan taman itu diperkuat oleh temuan Prasasti Talang Tuwo yang bertanggal 23 Maret 684 Masehi. Prasasti itu berisi perintah pendirian taman oleh penguasa Sriwijaya. Hingga kini, kolam atau saluran air yang diceritakan dalam prasasti itu masih ada. Arkeolog pun pernah menemukan jejak vegetasi tanaman yang dikisahkan dalam prasasti tersebut.
Harus diingat, kita berada di lahan rawa, berbeda dengan Jawa yang berada di lahan kering. Jadi, semua bangunan dari era Sriwijaya di sini mengalami kerusakan alami yang lebih cepat.
Akan tetapi, mayoritas dari tinggalan itu sudah tidak utuh lagi karena faktor lingkungan Palembang dan sekitarnya yang berupa bentang lahan rawan.
”Harus diingat, kita berada di lahan rawa, berbeda dengan Jawa yang berada di lahan kering. Jadi, semua bangunan dari era Sriwijaya di sini mengalami kerusakan alami yang lebih cepat. Saya bertahun-tahun meneliti dan menggali hingga kedalaman 2-3 meter, tetapi saya tidak pernah menemukan bangunan utuh dari era Sriwijaya. Candi yang ditemukan semuanya dalam bentuk fondasi dengan ketinggian 1-2 meter,” kata Sondang.
Selain oleh faktor alam, lanjut Sondang, tak sedikit dari tinggalan yang tersisa mengalami kerusakan, bahkan hilang, karena faktor kesengajaan oleh ulah manusia. ”Sebagai contoh, kami pernah menemukan formasi bata candi di Bukit Siguntang. Tetapi, kini, reruntuhan candi itu sudah tidak ada lagi karena tertimbun oleh perkembangan kota,” tuturnya.
Dibunyikan oleh prasasti
Arkeolog Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN Wahyu Rizky Andhifani menuturkan, keberadaan Sriwijaya, termasuk ibu kota Sriwijaya, hanya bisa dibuktikan kalau ada jejak tertulis. Sejauh ini, jejak tertulis yang tersisa berupa prasasti. Untuk itu, prasasti menjadi sumber primer untuk membunyikan kesejarahan Sriwijaya.
”Apakah mungkin ada bukti tertulis lainnya yang dibuat di kertas, kulit kayu, atau kulit hewan, itu mungkin saja. Tetapi, itu mungkin saja sudah rusak karena sejarah Sriwijaya berasal dari 14 abad yang lalu, suatu rentan sejarah yang sudah sangat panjang,” ujar Wahyu.
Baca juga: Cap Go Meh Jadi Saksi Harmoni Keberagaman di Tepian Musi
Hingga kini, Wahyu menyampaikan, prasasti-prasasti Sriwijaya banyak ditemukan di Palembang. Sebarannya meliputi di sekitar wilayah pabrik PT Pusri yang diduga menjadi pusat kedatuan, di sekitar Bukit Siguntang yang menjadi pusat peribadatan, dan di lokasi Taman Sriksetra. Sebagian besar dari prasasti itu mencatat peristiwa penting yang turut memperkuat legitimasi Palembang sebagai ibu kota kedatuan tersebut.
Salah satunya ialah Prasasti Kedukan Bukit yang berisi pembangunan wanua atau permukiman atau kota pada 26 Juni 682 Masehi. Prasasti Kedukan Bukit dianggap sebagai prasasti pertama Sriwijaya karena belum ada prasasti lebih tua yang ditemukan. Di sisi lain, ada sejumlah prasasti persumpahan yang isinya menunjukkan kekuasaan Sriwijaya di wilayah Palembang dan sekitarnya.
”Dari prasasti yang ditemukan di Palembang, di luar Palembang, hingga luar negeri, ada empat asumsi saya mengenai lokasi Sriwijaya. Saya meyakini Sriwijaya bermula di Minanga, Ogan Komering Ulu, Sumsel, sebelum abad VII. Kemudian, Sriwijaya berpindah ke Palembang antara abad VII dan IX, berpindah lagi ke Muaro Jambi pada abad X-XI, dan terakhir di Kedah, Malaysia, pada abad XI,” kata Wahyu.
Yang patut dipahami, Wahyu mengutarakan, Sriwijaya adalah milik bersama atau bukan milik salah satu daerah saja. Karena itu, tidak heran kalau banyak daerah lain merasa memiliki Sriwijaya, seperti Padang Lawas, Sumatera Utara, dengan Candi Bahal dan Kerajaan Pannai yang terkait Sriwijaya serta Riau dengan Candi Muara Takus.
Baca juga: Pengajar Sejarah Kunci Rekonstruksi Memori Kolektif Sriwijaya
Fenomena itu wajar karena Sriwijaya memiliki pengaruh yang sangat luas dari Sumatera, Jawa, sebagian Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Thailand, hingga ke Filipina. ”Sah-sah saja, ada daerah lain yang bilang Sriwijaya, tetapi bukan berarti mereka sebagai ibu kotanya. Sama seperti sekarang, sah-sah saja kalau Sumsel atau Papua bilang Indonesia, tetapi mereka bukan ibu kotanya,” tutur Wahyu.
Ketua Tim Penelusur Arsip Isu Strategis Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Agung Ismawarno mengatakan, sebagai kedatuan yang bersifat maritim, berpindah ibu kota menjadi sesuatu yang wajar untuk Sriwijaya. Biasanya, proses perpindahan lokasi ibu kota itu terjadi karena faktor ekonomi dan keamanan.
”Pada awal berdirinya, Sriwijaya melakukan pemindahan ibu kota untuk mengembangkan kerajaan sehingga dipilih Palembang karena dinilai memiliki letak yang lebih strategis. Pada masa selanjutnya, mereka meninggalkan Palembang karena ada serangan musuh,” ujarnya.
Pada awal berdirinya, Sriwijaya melakukan pemindahan ibu kota untuk mengembangkan kerajaan sehingga dipilih Palembang karena dinilai memiliki letak yang lebih strategis. Pada masa selanjutnya, mereka meninggalkan Palembang karena ada serangan musuh.
Terlepas dari itu, Agung menuturkan, munculnya pertanyaan klasik mengenai di mana lokasi ibu kota Sriwijaya telah membuktikan bahwa Palembang butuh Museum Sriwijaya ataupun Pusat Studi Sriwijaya yang komprehensif.
”Tempat itu bisa menjadi pusat kajian dan publikasi atau sosialisasi mengenai Sriwijaya sehingga masyarakat Palembang ataupun Sumsel lebih mengenal sejarah, jati diri, dan identitas nenek moyang mereka,” kata Agung.