Pengajar Sejarah Kunci Rekonstruksi Memori Kolektif Sriwijaya
Pengajar atau peneliti sejarah Sumatera Selatan menjadi kunci untuk merekonstruksi memori kolektif masyarakat tentang Sriwijaya. Dari tradisi setempat, sejarah Sriwijaya justru terbenam oleh kekaguman terhadap Majapahit.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengajar ataupun peneliti sejarah Sumatera Selatan merupakan kunci untuk merekonstruksi memori kolektif masyarakat setempat mengenai Kedatuan Sriwijaya. Merujuk catatan historiografi tradisional di Sumsel, seperti kisah di atas lontar atau cerita tutur, sejarah Sriwijaya nyaris terlupakan karena terbenam kekaguman terhadap Majapahit. Padahal, Sriwijaya memiliki bukti nyata muncul, eksis, dan berjaya di Sumsel.
”Sejarah lisan atau sumber sejarah lisan itu ada masanya. Para sejarawan merekonstruksi sejarah Sriwijaya bukan dari sumber lisan, melainkan dari catatan perjalanan asing, dari Timur Tengah dan China. Sekarang, tugas universitas atau sekolah adalah memancing masyarakat membaca hasil penelitian itu untuk membentuk pemahaman baru,” ujar dosen sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sriwijaya (Unsri), Helen Susanti, dalam ”Kajian dan Pelatihan, Sejarah dan Tradisi Lisan Sumsel oleh Laboratorium Pendidikan Sejarah, FKIP Unsri” secara daring, Rabu (7/12/2022).
Berdasarkan penelaahan Kompas, seperti dalam buku Batanghari Sembilan dari Abad ke Abad karya Yusuf A Wani dan kawan-kawan, 1980, sejumlah daerah di pedalaman Sumsel menyebutkan puyang atau nenek moyang mereka adalah keturunan Majapahit. Kisah itu mereka tuangkan dalam manuskrip kuno, seperti di atas lontar dan cerita tutur berupa sejumlah seni sastra lisan.
Walau jejak fisik lokasi persis kerajaan belum ditemukan, ada banyak temuan lainnya yang bisa dipelajari dan diteladani, seperti dari prasasti.
Hal itu diperkuat oleh Djohan Hanafiah dalam buku Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang, 1995. Hanafiah menyatakan, apa yang diyakini kalangan penduduk Melayu Sumsel sangat unik bahwa puyang mereka adalah setidaknya keturunan Majapahit, bahkan dari Kediri dan Singasari. Namun, pengakuan keturunan Majapahit ini lebih sekadar kekaguman akan cerita Majapahit, bahkan Babad Tanah Jawi sangat memengaruhi persepsi penduduk setempat di sepanjang Batang Hari Sembilan (sembilan sungai besar Sumsel).
Menurut GJ Resink dalam Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910 (1987), sejarah Indonesia diliputi mitos, bahkan memengaruhi penulis-penulis Belanda dalam laporan dan penulisannya tentang Indonesia. Maka itu, karena begitu tertanamnya mitos Majapahit, yang tertinggal di Sumsel sampai saat ini adalah legenda-legenda terkait Majapahit.
Padahal, dalam kenyataan sejarah, Majapahit tidak meninggalkan bukti-bukti jelas di Sumsel, apakah berupa prasasti ataupun nama-nama tempat. Sementara Sriwijaya yang lebih tua kurun waktu kemunculannya daripada Majapahit, masih ada peninggalan prasasti-prasastinya, demikian pula nama-nama tempat (toponym). Demikian juga dengan bahasa Melayu Tua atau bahasa Sriwijaya terus dikembangkan dan digunakan di Sumsel.
Slamet Mulyana dalam Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979, menyampaikan, di daerah-daerah itu tidak ditemukan piagam sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah, yang ditulis kemudian hari, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongengan, tidak sebagai catatan sejarah khusus. Dongengan-dongengan itu menunjukkan sekadar kekaguman terhadap keagungan Majapahit.
Untuk itu, Helen mengatakan, sejarawan Sumsel harus lebih kritis terhadap sumber yang sudah beredar di masyarakat, terutama sejarah lisan yang diteruskan turun-temurun. ”Tidak disarankan mengkaji sejarah lisan hanya dengan wawancara dari satu narasumber. Dan, setiap hasil wawancara tidak bisa langsung dianggap kebenaran. Itu mesti dibandingkan lagi dengan sumber tertulis atau dokumen terkait,” katanya.
Salah satu narasumber kajian daring itu, dosen sejarah FKIP Unsri, Alif Bahtiar Pamulaan, menuturkan, itu semua adalah fenomena dari jejak historiografi atau sejarah tradisional, yakni sejarah yang lebih banyak memuat dan bernapaskan politik, serta lebih berfokus pada sejarah orang-orang besar saja. Dengan kata lain, sejarah dicatat atau dibuat oleh pemenang.
Keteladanan Sriwijaya
Secara detail, Alif mengutarakan, yang bisa dilakukan untuk merekonstruksi ingatan masyarakat mengenai Sriwijaya adalah mengajak mereka lebih mengenal keteladanan yang dilakukan penguasa Sriwijaya. Misalnya tentang pendirian Taman Sriksetra dalam isi Prasasti Talang Tuo (23 Maret 684 Masehi).
Pembangunan taman itu adalah bentuk komitmen Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang berjanji melengkapi spiritualitasnya seusai melakukan siddhayatra atau perjalanan suci, mengunjungi tempat-tempat sakral yang ada nilai politis dan ekonomisnya. Taman Sriksetra dipersembahkannya untuk menyejahterakan masyarakat dan semua makhluk lainnya.
”Perintah mengenai pendirian taman itu tertulis dengan bahasa yang sangat halus dan religius. Itu menggambarkan raja punya cita-cita besar untuk menyejahterakan masyarakat dan semua makhluk dalam kekuasaannya. Sifat pemimpin seperti itu sulit kita temui sekarang,” ucap Alif.
Contoh lainnya, raja Sriwijaya memiliki toleransi sangat baik. Terbukti tak sedikit kerajaan kecil yang tidak beragama Buddha, yang menjadi agama negara, eksis di bawah pemerintahan Sriwijaya. Salah satunya Kerajaan Bumiayu yang beragama Hindu yang jejaknya kini masuk wilayah Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumsel.
Raja Sriwijaya pun mampu membangun relasi diplomatik berwawasan global. Relasi itu tak cuma dengan China, tetapi hingga ke Timur Tengah, antara lain dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (memimpin Kekhalifahan Umayyah 717-720 Masehi).
Semua keteladanan itu bisa ditawarkan kepada masyarakat selaku agen informasi guna membangkitkan kembali kebanggaan terhadap sejarah asli daerahnya, khususnya memori kolektif tentang Sriwijaya. Apalagi bukti keberadaan Sriwijaya di Sumsel sangat kuat.
”Ini menjadi tugas kita bersama, terutama para pengajar ataupun peneliti sejarah, untuk mengajak masyarakat, terlebih para pelajar, untuk mengkaji lagi soal Sriwijaya. Walau jejak fisik lokasi persis kerajaan belum ditemukan, ada banyak temuan lainnya yang bisa dipelajari dan diteladani, seperti dari prasasti,” tutur Alif.
Bersifat fleksibel
Rekonstruksi ingatan masyarakat Sumsel mengenai Sriwijaya sangat mungkin dilakukan. Apalagi, lanjut Alif, ketersediaan sumber sejarah di Sumsel lebih banyak dalam bentuk lisan dibandingkan tulisan. Sejarah lisan di Sumsel cenderung berjalan beriringan dengan keberadaan tradisi lisan yang ada, antara lain seni sastra tutur.
Fenomena itu jadi kesempatan besar untuk para peminat sejarah mulai menuliskan sejarah daerahnya atau meluruskan informasi lisan yang telah berkembang dalam tulisan. ”Dalam dunia akademik, peluang ini harus benar-benar dibaca dengan baik oleh pendidik untuk mengarahkan dan memberikan kesempatan mahasiswa menuliskan sejarah dari daerah asalnya masing-masing,” ujar Alif.
Budayawan Sumsel yang banyak mengkaji tradisi lisan ataupun sastra tutur Sumsel, Vebri Al Lintani, menjelaskan, tradisi lisan berkembang di Sumsel karena keterbatasan masyarakat dalam menguasai baca-tulis huruf, baik aksara Ulu (Kaganga) maupun Jawi (Arab gundul). Akan tetapi, itu membuktikan bahwa masyarakat Sumsel tidak kalah dengan keterbatasan. Mereka punya kemauan kuat untuk menyampaikan serta menyerap informasi.
Adapun ciri tradisi lisan antara lain tak reliabel atau cenderung berubah-ubah dan rentan perubahan, serta berisi kebenaran terbatas atau kebenaran internal, bukan bersifat universal. Tradisi lisan pun sering kali memuat aspek-aspek cerita masa lalu atau sejarah.
Hal itu menunjukkan tradisi lisan yang diteruskan dari generasi ke generasi dalam bentuk sastra tutur bersifat fleksibel. Maksudnya, isi kandungannya masih mungkin berubah mengaktualisasi diri menyesuaikan informasi terbarukan.
Misalnya sastra tutur Guritan Basemah. Para senimannya sering diundang untuk mengisi sejumlah acara dari undangan pemerintah hingga masyarakat, dan mereka bisa menyesuaikan isi Guritan dengan acara terkait. ”Jadi, sastra tutur di Sumsel sangat kontekstual. Itu bisa menjadi alat untuk melestarikan kesenian itu sendiri dan menyampaikan info-info baru kepada masyarakat,” kata Vebri.