Merayakan Kreasi dan Harmoni Cita Rasa di Perayaan Rujak Cingur
Semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika mewujud dalam kreasi rujak cingur di Festival Rujak Uleg untuk Hari Jadi Surabaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Stan salah satu peserta Festival Rujak Uleg di Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/5/2024). Festival Rujak Uleg bertema ”History of Rujak Cingur” diselenggarakan untuk menyambut 731 tahun Surabaya yang diperingati pada Jumat (31/5/2024).
Rujak cingur Surabaya menyajikan simbol keanekaragaman yang bersatu dalam harmoni kelezatan cita rasa. Layaknya hubungan sesama anak bangsa, rujak cingur Surabaya mensyaratkan toleransi antar-elemen bumbu dan harmoni racikan yang bersatu padu. Dalam semangat itulah, Festival Rujak Uleg di Taman Surya, Surabaya, Jawa Timur, dirayakan.
Beragam kreasi menu rujak cingur itu disajikan di atas 100 meja dalam Festival Rujak Uleg di Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Minggu (19/5/2024). Keramaian acara bertema ”The History of Rujak Cingur” (Sejarah Rujak Cingur) dengan subtema ”Akulturasi Budaya Surabaya dan Pasar Rakyat” diadakan untuk memeriahkan 731 tahun Surabaya yang akan diperingati pada Jumat (31/5/2024).
Tidak ada menu selain rujak cingur meski memakai jenama Festival Rujak Uleg. Mungkin untuk menghormati tema yang diangkat. Lagi pula, rujak cingur telah menjadi warisan budaya tak benda Indonesia untuk Surabaya dengan penetapan pada 2021 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Meski semua meja menghidangkan rujak cingur, ada gagasan yang membedakan satu sajian dengan sajian lain. Wujudnya ada rujak cingur yang bernyali, berani, berbeda, unik, nekat, nyeleneh. Tak salah jika kenekatan dan keberanian menjadi karakter arek Surabaya, termasuk dalam kreativitas baru rujak cingur. Sayangnya, ini muncul dari barisan koki hotel setelah nyantrik bertahun-tahun di warung dan kedai rujak cingur warga.
Tim Leedon Hotel & Suites menyajikan crojak, akronim dari croissant rujak. ”Saya meriset setahun untuk kemudian mencoba menu fusi ini,” ujar Alvian Suroko, juru masak.
Kroisan atau roti sabit disobek-sobek dan diberi seporsi rujak cingur. Bisa juga rujak cingur menjadi isi kroisan seperti menikmati roti lapis. Sungguh, kenekatan yang ketika dicicipi menghadirkan umpatan pujian khas Surabaya. Tekstur roti bertemu irisan tempe, tahu, sayur, cingur (hidung sapi), dan bumbu petis dengan tingkat pedas yang bisa diatur.
”Untuk bumbu, saya memakai tiga petis udang yang telah saya teliti selama dua bulan,” kata Alvian.
Petis udang kualitas bagus, biasa, dan jenis buatan Sampang, Pulau Madura. Penasaran bagaimana rasanya jika bumbu itu dicampur dengan petis lain dari ikan, kerang atau kupang, dan kombinasi buatan Tuban, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, atau Pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep).
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Kreasi fusi crojak atau croissant rujak cingur ala Leedon Hotel & Suite Surabaya ditampilkan dalam Festival Rujak Uleg di Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/5/2024). Festival Rujak Uleg bertema ”History of Rujak Cingur” ini untuk menyambut 731 tahun Surabaya yang diperingati pada Jumat (31/5/2024).
Kreasi tim Tab Hotel juga menarik perhatian. Cholis, sang juru masak, dan tim menghadirkan dua jenis rujak cingur. Salah satunya versi vegan atau tidak ada unsur hewani dalam rujak cingur. Petis dibuat dari fermentasi jamur kuping yang dikeringkan. Irisan cingur dibuat dari tepung rumput laut yang diolah.
Saat dicicipi memang berbeda antara rasa petis nabati dibandingkan yang hewani. Petis jamur terasa ringan, kurang beraroma, tetapi menjadi tawaran yang berani, terutama bagi penggila kuliner vegan. Tekstur ”cingur” yang kenyal jelas berbeda antara olahan tepung dan hidung sapi, tetapi sajian ini tetap menarik sebagai alternatif menu kreasi baru.
”Menu rujak cingur versi vegan ini khusus disiapkan dari beberapa bulan lalu untuk festival,” ujar Cholis. Salah satu bahan bumbu ialah kacang tanah, kacang mete, atau kombinasi sesuai dengan selera.
Tim dari Oakwood Hotel & Residence tampil dengan penyajian berbeda lewat menu Rujak Cingur Buncing. Rujaknya biasa atau umum, tetapi disajikan di potongan atau selongsong bambu runcing.
”Idenya mengangkat bambu runcing, salah satu senjata yang dipakai rakyat untuk perang kemerdekaan. Kami menghargai esensi kepahlawanan bambu runcing,” ujar Sugiarto, juru masak.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Menu Rujak Bucing atau rujak cingur bambu runcing ala Oakwood Hotel & Residence Surabaya dihadirkan dalam Festival Rujak Uleg di Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/5/2024).
Rujak cingur ala tim Midtown Residence mengandalkan bumbu dengan racikan empat jenis petis. Joko Siswanto, juru masak, membocorkan, dalam bumbu rujak cingur digunakan petis udang, kupang, dan kombinasi udang-kupang-ikan buatan Sidoarjo dan petis merah dari jembret buatan Madura.
”Di bumbu saya gunakan kacang tanah dan kacang mete sehingga menghasilkan cita rasa dan tekstur yang unik,” kata Joko.
Tim Universitas Airlangga Global Engagement hadir dengan barisan mahasiswa-mahasiswi dari Honduras, Perancis, Belarus, China, dan Brunei Darussalam. ”Kami berpartisipasi untuk turut menyuarakan keberagaman dan kemanusiaan,” ujar Kalisa, juru bicara tim.
Tim Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Surabaya hadir dengan riasan tokoh wayang, terutama punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong). ”Rujak ulek lak rujak cingur, WBT (warisan budaya tak benda) warisane leluhur. Wis disahno taun rongewu selikur Kuto Suroboyo semsaya misuwur,” kata Sisca Widuri, pesinden yang menjadi pranatacara saat melantunkan parikan.
Jika diterjemahkan, pantun itu berarti ’rujak ulek itu rujak cingur, warisan budaya tak benda dari leluhur, sudah disahkan tahun 2021 agar Kota Surabaya semakin terkenal’.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Peserta dari Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Surabaya mempersiapkan rujak cingur dalam Festival Rujak Uleg di Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/5/2024). Festival Rujak Uleg ini untuk menyambut hari jadi Surabaya.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam sambutannya mengutarakan dalam bahasa suroboyoan bahwa rujak cingur atau rujek ulek berfalsafah gotong royong dan toleransi dalam keberagaman.
Dalam rujak cingur ada sayur, buah, lauk, lontong, dan bumbu yang disusun dari beragam bahan. Peracikan merupakan upaya mengeluarkan karakter gotong royong dari semua bahan untuk menghasilkan menu yang unik dan kreatif. Toleransi dapat dipahami dari kepiawaian peracik untuk mengukur kadar bahan bumbu, antara lain petis, cabai, irisan pisang muda, terasi, kacang, garam, dan gula. Jika kadar tidak ditoleransi atau diukur, rasa bumbu bisa tidak keruan.
”Kalau tidak ada sayurnya, ya, hambar. Dari rujak kita belajar gotong royong, toleransi, menghormati keberagaman agar warga Surabaya menjaganya sampai kiamat,” kata Eri.
Toleransi dapat dipahami dari kepiawaian peracik untuk mengukur kadar bahan bumbu, antara lain petis, cabai, irisan pisang muda, terasi, kacang, garam, dan gula. Jika kadar tidak ditoleransi atau diukur, rasa bumbu bisa tidak keruan.
Festival Rujak Uleg juga dimeriahkan parade busana dari perwakilan aparatur pemerintah. Busana yang diperagakan membumikan subtema akulturasi budaya yang diterjemahkan menjadi empat, yakni gaya Eropa, peranakan oriental (Tionghoa), peranakan Ampel (Arab), dan kebanggaan lokal.
Semangat akulturasi budaya disimbolkan dengan racikan rujak cingur yang menggambarkan penghormatan pada keberagaman dan toleransi. ”Surabaya sebagai metropolitan juga adalah Indonesia mini yang sepatutnya memelihara semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika,” pungkas Eri.