Perkawinan Anak di Aceh Memicu KDRT hingga Putus Sekolah
Perempuan korban perkawinan anak rawan mengalami kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan gangguan reproduksi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
Praktik perkawinan anak di bawah umur 19 tahun tahun masih terjadi di Provinsi Aceh. Niat awal untuk mengurangi beban keluarga, perkawinan anak justru melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga, gangguan reproduksi, hingga putus sekolah.
Riset terbaru yang dilakukan Flower Aceh, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu perempuan dan anak di Aceh, menyebutkan, praktik perkawinan anak banyak terjadi di pedesaan dan daerah terpencil. Fakta lain anak yang menjadi korban perkawinan, mereka dari keluarga ekonomi rendah.
Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati, Kamis (16/5/2024), di Banda Aceh, menuturkan, penelitian dilakukan pada Oktober-Desember 2023 di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tamiang, dan Aceh Utara. Flower menemukan 12 kasus perkawinan Aceh. Namun, Riswati meyakini, kasus serupa banyak terjadi tempat lain di provinsi itu.
”Praktik perkawinan anak dan usia perkawinan di bawah usia 19 tahun terus terjadi. Grafiknya sejak 2015 hingga 2022 tidak menurun,” kata Riswati.
Penelitian itu bagian dari program Inklusi Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif. Aceh menjadi wilayah program karena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, stunting atau tengkes, kemiskinan, dan daerah tertinggal masih banyak.
Riswati menambahkan, selama tiga bulan, tim Flower melakukan wawancara mendalam banyak tokoh dan warga akar rumput lintas sektor, mulai dari perempuan korban, orangtua korban, tokoh agama, kantor urusan agama, hingga aparatur desa.
Dalam beberapa studi kasus yang ditemukan, perkawinan anak mayoritas bukan kemauan anak tersebut, tetapi dominan karena dorongan keluarga atau lingkungan. Menikah dianggap jalan keluar atas beban masalah yang dihadapi keluarganya.
”Kami menemukan fakta yang membuat kita terenyak. Mereka adalah korban atas ketidakadilan pembangunan,” kata Riswati.
Misalnya, kasus yang ditemukan di Aceh Besar. Seorang anak perempuan berusia 16 tahun dipaksa menikah dengan pacarnya yang berusia 20 tahun karena kedapatan berdua-duan di rumahnya. Ibunya meninggal beberapa tahun lalu, sedangkan ayahnya telah menikah lagi.
Padahal, saat itu korban masih duduk dibangku kelas tiga sekolah menengah pertama. Namun, karena menikah, dia tidak lagi melanjutkan pendidikan. Usia pernikahan hanya bertahan beberapa bulan. Suaminya kerja serabutan dan menceraikannya dalam keadaan hamil karena tidak sanggup menafkahi. Sempat ia mencoba menggugurkan kandungan. Dia tidak punya kartu keluarga, selain selembar surat keterangan yang diteken penghulu.
”Dia telah melahirkan. Kini didampingi kader puskesmas, pihak desa, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Flower Aceh,” kata Riswati.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Buku saku Mari Kita Cegah Perkawinan Anak yang diluncurkan, Kamis (4/8/2022), di Jakarta, secara daring.
Riswati menambahkan, dari wawancara mendalam pihaknya menemukan banyak kondisi buruk dialami perempuan korban perkawinan anak, seperti kekerasan fisik, psikologis, ditelantarkan secara ekonomi, gangguan reproduksi, disharmoni, perundungan, dan berakhir dengan perceraian, kemiskinan, putus sekolah, dan stunting.
Riswati menuturkan, banyak pemicu langgengnya perkawinan anak di Aceh, seperti keterbatasan akses informasi tentang risiko perkawinan anak dan perlindungan anak, serta sempitnya ruang partisipasi perempuan dalam pembangunan.
”Strategi dan metode pencegahan dan penanganan belum komprehensif. Peran pemangku kepentingan dan tokoh strategis harus lebih optimal,” kata Riswati.
Riswati mengatakan, pencegahan perkawinan anak harus dilakukan bersama melibatkan lintas sektor. Sosialisasi perlindungan anak harus diperkuat dan harus tindakan tegas terhadap kadi liar.
”Optimalisasi peran multipihak keluarga, pemerintah, masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, media, akademisi, dan swasta dalam pencegahan dan penanganan perkawinan di bawah usia 19 tahun,” kata Riswati.
Dia akan mengalami krisis kepercayaan diri dan bisa depresi. Anak juga rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Hingga Jumat (17/5/2024) siang, permintaan konfirmasi dari Kompas kepada dinas terkait yang mengurusi perlindungan perempuan dan anak di Provinsi Aceh belum mendapatkan tanggapan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Mural bertemakan penolakan terhadap perkawinan anak menghiasi dinding tembok pembatas antara rel kereta api dan jalan raya di Jalan Bekasi Timur, Jakarta Timur, Sabtu (28/9/2019).
Namun, sebelumnya, dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh, Endang Setianingsih, menuturkan, secara psikologis, anak belum siap menjalani tanggung jawab sebagai orangtua. Saat ada masalah, anak tersebut cepat putus asa, menjadi pribadi tertutup, dan mudah emosi.
”Dia akan mengalami krisis kepercayaan diri dan bisa depresi. Anak juga rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga,” kata Endang.
Anak yang telanjur dinikahkan perlu pendampingan secara psikologis, penguatan ekonomi, dan peningkatan pengetahuan lainnya.
Anak harus dipersiapkan dengan baik untuk menuju usia perkawinan. Mereka perlu disiapkan pengetahuan kesehatan, spiritual, mental, dan keterampilan.