Diterjang Banjir, Trans-Sulawesi di Konawe Utara Lumpuh
Diterjang banjir bercampur lumpur, jalan trans-Sulawesi di Konawe Utara lumpuh. Pengendara antre menunggu banjir surut.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Jalan trans-Sulawesi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, lumpuh sejak Jumat (3/5/2024) pagi. Banjir dengan arus deras dan bercampur lumpur menerjang dengan ketinggian hingga 1 meter. Pemerintah menyiagakan petugas dan mengantisipasi bencana meluas.
Hingga Jumat pukul 15.00 Wita, jalan trans-Sulawesi di Kecamatan Langgikima, Konawe Utara, belum bisa dilalui kendaraan. Jalan yang menghubungkan Konawe Utara, Sultra, dengan Morowali, Sulawesi Tengah, tersebut diterjang banjir bercampur lumpur dari luapan sungai.
Asbul (27), pengendara dari Morowali yang akan menuju Kendari, telah menunggu selama lima jam dan air belum surut sehingga jalan tersebut belum bisa dilewati. Antrean kendaraan lebih dari 1 kilometer.
”Belum ada yang berani melintas karena arus sangat deras dan air masih tinggi. Kalau di tepi jalan, air terlihat sampai tengah pohon kelapa,” katanya, dihubungi dari Kendari.
Para pengendara masih menunggu air surut. Sebab, jalan ini adalah akses satu-satunya dari dan menuju Kendari. Akses untuk sepeda motor bisa menggunakan rakit yang disiapkan warga dengan bayaran tertentu.
Untuk sementara titik-titik itu tidak bisa dilalui kendaraan secara normal karena ketinggian air lebih dari 1 meter. Untuk warga semuanya aman karena tidak ada yang menetap di bantaran kali.
Dihubungi terpisah, Camat Langgikima Tasrun mengungkapkan, banjir memang merendam sejumlah wilayah di Langgikima sejak Jumat pagi. Hujan yang berlangsung selama satu hari telah membuat debit air tinggi dan air melimpas.
Sejauh ini, sedikitnya ada empat lokasi jalan trans-Sulawesi di Langgikima yang terendam banjir dan sulit dilalui kendaraan. Sementara itu, dua jalan kabupaten juga terputus diterjang banjir.
”Untuk sementara titik-titik itu tidak bisa dilalui kendaraan secara normal karena ketinggian air lebih dari 1 meter. Untuk warga semuanya aman karena tidak ada yang menetap di bantaran kali,” katanya.
Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah penanganan. Posko terpadu akan didirikan, lengkap dengan perahu karet. Hal itu untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu bencana meluas.
”Kami berharap juga agar hujan tidak semakin bertambah. Wilayah ini pernah dilanda banjir besar pada 2019 lalu,” katanya.
Banjir bandang pernah merendam wilayah Konawe Utara pada pertengahan 2019. Saat itu, sejumlah kecamatan di wilayah ini diterjang banjir bercampur lumpur. Wilayah Langgikima adalah wilayah yang pertama kali terdampak. Sebab, wilayah ini memiliki daerah cekung dengan sejumlah sungai yang mengalir di sekitarnya.
Bukit-bukit sekitar daerah ini juga merupakan salah satu sentra pertambangan nikel. Wilayah Konawe Utara memang daerah kaya nikel dengan jumlah izin pertambangan nikel terbanyak di Sultra.
Banjir bandang saat itu juga menyapu Desa Tapuwatu dan menghilangkan ratusan rumah warga. Desa ini adalah satu dari 50 desa/kelurahan yang terdampak banjir pada 2019 lalu.
Penelusuran Kompas di wilayah Konawe Utara, dari hulu sejumlah sungai di Langgikima hingga muara Sungai Lasolo di Molawe, awal Agustus lalu, menemukan masifnya pembukaan kawasan hutan. Pertambangan terus mengupas bukit curam, perkebunan sawit luas di bukit dan sempadan sungai, juga terus ada pembalakan hutan.
Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, pada ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut, lubang penggalian raksasa terlihat di lokasi penambangan nikel. Lubang ini berdiameter sekitar 100 meter dengan kedalaman lebih dari 30 meter. Di salah satu sudut terdapat saluran air buatan dengan aliran langsung menuju Sungai Laundolia di bawahnya.
La Ode Restele, akademisi Universitas Halu Oleo, mengatakan, banyak faktor membuat banjir kian parah. ”Banjir bandang ini akumulasi kerusakan lingkungan. Belum lagi sebagian wilayah Konut memang termasuk daerah risiko banjir tinggi,” kata peneliti risiko banjir di Konut pada 2016 ini (Kompas, 26/8/2019).