Konservasi Mangrove di Aceh Manfaatkan Kemajuan Teknologi Digital
Tsunami 2004 membuat sebagian besar hutan mangrove di Aceh rusak. Upaya pemulihan mulai dilakukan berbasis teknologi.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Konservasi mangrove di Aceh mulai dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Melalui teknologi digital, pengawasan dan pencatatan kondisi mangrove dan habitatnya bisa dipantau lebih terukur secara berkala.
Metode ini diluncurkan Indosat Ooredoo Hutchison bekerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh serta Universitas Syiah Kuala pada Senin (22/4/2024) di Aceh. Sebelumnya, para pihak menanam mangrove di pesisir Banda Aceh. Indosat menyumbang 15.000 bibit tanaman dan alat sensor pemantauan pertumbuhan mangrove.
Director and Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Muhammad Danny Buldansyah mengatakan, isu perubahan iklim menjadi perhatian global. Dampaknya berpotensi signifikan terjadi di seluruh dunia.
Oleh sebab itu, perlu ada upaya nyata menyelamatkan alam. Salah satunya dengan pelestarian mangrove.
Untuk mendukung keinginan itu, Indosat menghibahkan alat sensor berbasis internet of things (IoT) kepada peneliti dari Universitas Syiah Kuala. Alat itu akan digunakan di lokasi penanaman mangrove di Lampulo serta lokasi tambak di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.
”Program digitalisasi konservasi mangrove bentuk tanggung jawab sosial Indosat di bawah pilar lingkungan. Ini wujud dukungan terhadap konservasi mangrove di pesisir Aceh,” kata Buldansyah.
Alat sensor IoT dipasangi di lokasi lahan mangrove. Alat tersebut dihubungkan ke perangkat gawai atau komputer. Sejumlah informasi seperti kualitas, debit, dan PH air.
Buldansyah menambahkan, Aceh menjadi lokasi program karena banyak lahan mangrove rusak akibat tsunami 2004. Berdasarkan dokumen informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup daerah Aceh, luas tutupan hutan mangrove di Aceh tahun 2021 yaitu 21.476 hektar.
Beberapa kabupaten yang berada di pesisir mengalami penyusutan mangrove signifikan. Aceh Jaya, misalnya, memiliki 5.159 hektar hutan mangrove sebelum tsunami. Kini luasnya tinggal 1.159 hektar. Di Kota Banda Aceh, penyusutan lahan mangrove terjadi karena alih fungsi permukiman.
Padahal, hutan mangrove berperan penting dalam beragam hal, seperti menyerap polutan, mencegah intrusi air laut, serta penelitian dan pendidikan. Keberadaannya juga menjadi penyimpan karbon yang tinggi, pengembangan wisata alam, dan tempat berkembang aneka biota laut.
Oleh karena itu, Buldansyah mengatakan, harus ada upaya bersama untuk menahan penyusutan hutan mangrove dan melakukan perluasan. Penggunaan teknologi digital dinilai dapat membantu upaya pemulihan lahan mangrove.
Wakil Dekan Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala Agussabti menuturkan, IoT berfungsi memonitoring kualitas air dan persebaran mangrove secara berkala. Agus menambahkan bahwa melalui teknologi sensor, data kualitas air, dan pertumbuhan mangrove dapat dipantau secara berkala.
Data tersebut menjadi landasan bagi para pihak untuk mengambil langkah-langkah yang tepat menjaga kelestarian hutan mangrove.
Selain berfokus pada pelestarian mangrove, program ini juga melibatkan masyarakat yang disebut silvofishery. Silvofishery merupakan pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan minahutan yang menggabungkan budidaya ikan dengan konservasi hutan mangrove.
Kepala Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Dinas Kelautan Perikanan Aceh Oni Kandi mengatakan pendekatan melalui konsep silvofishery berpotensi memulihkan hutan mangrove. Konsep itu juga mendorong keberlanjutan ekonomi warga.