Ribuan Kilometer dari Rumah, Menikmati Berkah Idul Fitri
Bagi sebagian orang yang tidak mudik saat Lebaran, selalu ada cara untuk merasakan keberkahan hari raya di perantauan.
Sejak Rabu (10/4/2024) subuh, lantunan takbir ”Allahu akbar Allahu akbar, Laa ilaha illallah wallaahu akbar, Allaahu akbar walillahil hamd” telah berkumandang di hampir seluruh penjuru Kota Jayapura, Papua. Di saat itu pula, umat Islam di ibu kota Papua ini berbondong-bondong menuju masjid dan tanah lapang untuk shalat Idul Fitri.
Tak ketinggalan para perantau Muslim dari berbagai daerah di Nusantara ikut larut dalam perayaan hari Idul Fitri 1445 Hijriah ini. Sebagian dari mereka berdamai merayakan Lebaran walaupun harus jauh dari rumah di kampung halaman.
Ahmad Toha (57) bersama anak dan istrinya larut dalam kekhusyukan shalat Id bersama ratusan jemaah lainnya di halaman kantor Gubernur Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, Toha memang tidak lagi rutin pulang ke kampung halamannya di Cilacap, Jawa Tengah, untuk berlebaran.
Baca juga: Kisah Pejuang Mudik Berlayar Ribuan Kilometer demi Bertemu Keluarga
”Tahun lalu sudah balik, mungkin tahun depan lagi baru balik lagi. Tidak apa-apa Lebaran di Jayapura tahun ini. Toh, keluarga juga ada yang di sini,” ujar Toha yang telah menetap sejak 2004 di Papua.
Bagi Toha, nuansa dan keberkahan hari raya masih bisa tetap terasa di Jayapura. Kehangatan silaturahmi dengan sejumlah kerabat dan tetangga tetap sebanding dengan momen Lebaran di kampung halaman.
”Kado mewah”
Sementara itu, untuk sebagian orang, pulang saat hari raya berarti ”kado mewah” bagi orang rumah. Kehangatan menyapa langsung orangtua sekaligus bisa menjadi pengganti energi yang lelah di perantauan.
Namun, terkadang kewajiban dan tuntutan pekerjaan membuat mereka tidak bisa memaksakan keadaan. Seperti yang tengah dialami Padli (27), perantau asal Tangerang, Banten, yang kini memasuki tahun kedua bekerja di Jayapura.
Baca juga: Lebaran Menyala dengan Busana ”Shimmer”
Padli baru akan menjadwalkan kembali ke kampung sepekan setelah Lebaran. ”Sekarang ini, bagi saya esensi mudik dan bertemu keluarga itu, bukan saja saat hari raya. Namun, yang terpenting kapan pun itu ketika ada kesempatan, maka perlu untuk pulang dan bertemu orang rumah,” ujarnya.
Memutuskan merantau ke Papua, kata Padli, berarti bersiap dengan berbagai risiko kerumitan jika hendak pulang ke kampung halaman. Kondisi jarak, waktu, serta biaya perjalanan tentu menjadi pertimbangan yang harus dihitung secara matang.
Lihat saja, jarak dari Jayapura menuju Jakarta yang jika ditarik garis lurus lebih dari 3.700 kilometer. Jarak itu setara dengan 5 kali bolak balik Jakarta-Surabaya. Bahkan, itu juga setara dengan melintasi London, Inggris, melewati negara-negara Eropa hingga sampai ke kawasan Asia Barat.
Baca juga: Bandara Sentani Jayapura Diprediksi Layani Lebih dari 72.000 Penumpang Lebaran
Bagi Umayyah (42) sulit untuk rutin mudik ke kampung di Subang, Jawa Barat. Sebut saja biaya tiket transportasi udara yang mencapai angka Rp 5 juta untuk sekali perjalanan. Di sisi lain, pertimbangan durasi panjang waktu perjalanan sehingga ia enggan menggunakan transportasi laut.
Untuk mencapai Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, kapal Pelni biasanya berlayar hingga 10 hari dari Pelabuhan Jayapura. Kendati dengan biaya tiket yang jauh lebih murah berkisar Rp 1,2 juta, pilihan tersebut tidak ideal bagi sebagian kalangan.
”Harga tiket (pesawat) mahal. Kalau mudik pasti harus bareng (keluarga yang lain). Uangnya sepertinya bagus ditabung saja dulu,” katanya.
Kedamaian bagi semua
Sementara itu, berdamai dengan merayakan Lebaran di tanah rantau telah menjadi rutinitas bagi sebagian orang, khususnya bagi mereka yang memilih berkeluarga dengan penduduk setempat. Restu (45), misalnya, ia bahkan kesulitan mengingat kapan terakhir kali pulang ke kampung halamannya di Buton, Sulawesi Tenggara.
Sejak 2007, Restu menikah dengan perempuan asal Sentani, Kabupaten Jayapura. Dengan begitu, ia merasa tidak perlu ke mana-mana lagi, Jayapura sudah menjadi tempat pulang bersama istri dan anak-anaknya.
”Keluarga dari Buton ada beberapa yang di sini. Sejak kecil terbiasa hidup di peratauan,” katanya seusai melaksanakan shalat Id dan berlanjut menemani tiga anaknya berenang di pantai depan halaman kantor Gubernur Papua.
Di sisi lain, Restu berharap, Jayapura tetap menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang, khususnya ketika momen perayaan hari raya. Sejatinya ia mengaku resah, dalam beberapa tahun terakhir, nuansa Lebaran di Jayapura tidak seperti dulu.
Baca juga: Memaknai Arti Saling Memaafkan pada Hari Lebaran
Berbagai konflik kemanusiaan di Papua, menurut Restu, membuat orang menjadi tidak nyaman lagi. ”Tadi kalau dilihat yang shalat, suasananya tidak meriah dan ramai seperti dulu. Mungkin juga orang-orang mulai tidak nyaman,” tuturnya.
Keresahan seperti yang dialami Restu tentu tidak lepas dari konflik di Papua yang tidak kunjung usai. Hal ini pun yang menjadi seruan dan ajakan hidup damai Guru Besar Institut Agama Islam Negeri Fattahul Muluk Papua, Idrus Alhamid, yang menjadi khatib dalam pelaksanaan shalat Id di halaman kantor Gubernur Papua.
Sekarang ini, bagi saya esensi mudik dan bertemu keluarga itu, bukan saja saat hari raya.
Dalam khotbahnya, Idrus menyerukan, momen Ramadhan dan Idul Fitri menjadi refleksi bagi umat dalam menunjukkan kecintaan Tanah Air, yang menjadi ajaran Rasulullah seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Cinta Tanah Air bisa diwujudkan dengan saling menjaga kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Sebelas bulan ke depan kita akan memulai kegiatan rutinitas sebagaimana biasanya. Nilai-nilai yang kita peroleh pada bulan Ramadhan perlu kita implementasi dalam kehidupan kita sehari-hari,” tutur Idrus dalam khotbahnya.