Shalat Idul Fitri hingga ”Begibung”, Hangatnya Kebersamaan Idul Fitri di Lombok
Kebersamaan warga terasa di Lombok dari shalat Idul Fitri hingga "begibung" atau makan bersama.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Shalat Idul Fitri di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (10/4/2024) pagi, berjalan lancar dan khidmat. Berlanjut dengan suasana hangatnya kebersamaan antarwarga, mulai dari shalat Ied hingga begibung atau makan bersama. Hal itu sejalan dengan khotbah Idul Fitri, yang mengajak jemaah menjauhi permusuhan dan kebencian.
Shalat Idul Fitri di Lombok salah satunya berlangsung di Masjid Nurul Iman, Kuang Jukut, Desa Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah. Masjid ini berada sekitar 18 kilometer tenggara Mataram, ibu kota NTB.
Pantauan Kompas, sejak pukul 06.30 Wita, satu per satu warga sudah berdatangan. Ada yang berjalan kaki, ada juga yang naik sepeda motor. Beberapa langsung masuk dan ikut membaca takbir. Tetapi ada juga yang menunggu di area luar masjid sembari bercengkerama dengan warga lainnya.
Tidak hanya perlengkapan shalat, warga perempuan juga terlihat datang membawa dulang berisi hidangan Lebaran. Di dalamnya ada nasi dan beraneka lauk pauk. Hidangan itu akan disantap bersama-sama oleh warga seusai shalat.
Di dekat pintu gerbang masjid, petugas pengumpul amal terlihat sibuk. Mereka mencatat nama penyumbang dan tujuannya. Bisa keluarga yang sudah meninggal atau masih hidup. Tak lama, dari pengeras suara terdengar petugas lain mengumumkan nama semua penyumbang dan tujuan amal itu, lalu menutupnya dengan ajakan untuk berdoa bersama.
Sekitar pukul 08.00 Wita, shalat Idul Fitri di masjid itu dimulai. Ustaz Jalaluddin, salah satu pemuka agama di kampung tersebut, menjelaskan tata cara shalat Idul Fitri. ”Mungkin ada yang lupa. Jadi, saya ingatkan kembali,” kata Jalaluddin.
Setelah shalat Idul Fitri dan zikir, Jalaluddin naik ke mimbar dan memberi khotbah sekitar 20 menit. Menurut dia, Idul Fitri merupakan hari kemenangan bagi umat Islam. Terutama setelah sebulan menjalankan puasa Ramadhan.
Idul Fitri, kata Jalaluddin, dimaknai sebagai kembalinya manusia pada kesucian diri yang sesungguhnya setelah dibersihkan dengan puasa dan amalan ibadah lainnya. Idul Fitri adalah kemenangan melawan hawa nafsu yang kerap mendorong manusia berbuat keji dan kemungkaran.
Menurut Jalaluddin, ibadah puasa pada dasarnya merupakan proses menempa kepribadian menuju kehidupan yang lebih baik. Baik perbuatan, tingkah laku, dan akhlak kepada Allah SWT.
”Kebaikan yang kita peroleh dan perjuangkan selama puasa, mari kita pertahankan dan tingkatkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Jalaluddin.
Momentum Idul Fitri harus benar-benar dimanfaatkan. Termasuk untuk saling meminta dan memberi maaf atas semua kesalahan antarsesama manusia.
”Sebagai makhluk sosial, kita tidak lepas berinteraksi dengan sesama sehingga sadar atau tidak, sengaja atau tidak, kita melakukan kesalahan. Oleh karena itu, buanglah dendam, kebencian, dan rasa permusuhan yang terpendam. Tebarkan senyum tulus dan indah,” kata Jalaluddin.
Seusai khotbah, warga serentak berdiri. Lalu lantunan shalawat terdengar dari pengeras suara diikuti suara beduk ditabuh. Lebih dahulu, di dalam masjid, warga laki-laki saling bersalaman. Sementara perempuan bersalaman di area beranda masjid. Baru jemaah perempuan masuk dan bergabung dengan barisan jamaah laki-laki di dalam masjid.
Tidak hanya berjabat tangan, ada yang saling berpelukan. Anak mencium tangan orang tua, begitu juga istri mencium tangan suami. Beberapa warga terlihat menangis sambil membaca shalawat.
Oleh karena itu, buanglah dendam, kebencian dan rasa permusuhan yang terpendam. Tebarkan senyum tulus dan indah.
Jinadi (63), salah satu warga, berharap, momen Idul Fitri bisa memperkuat hubungan antarwarga. ”Seperti khotbah tadi, semoga sesama warga kita bisa saling memperkuat silaturahmi, ukhuwah islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam,” kata Jinadi.
Seusai bersalaman di dalam masjid, warga menuju beranda. Lalu duduk santai di sana. Tak lama berselang, anak-anak muda membawa dulang yang sejak pagi sudah dibawa warga perempuan ke masjid.
Dulang-dulang itu diletakkan di hadapan warga di beranda. Mereka lantas duduk menghadap dulang. Ada dua hingga empat orang untuk satu dulang.
Tidak ada zikir atau doa lagi sebelum menyantap hidangan itu. Hanya, kiai atau tokoh agama di kampung harus lebih dahulu membuka penutup dulang. Baru warga lain mengikuti dan mulai makan.
Saat dibuka, isi dulang berbeda satu sama lain. Tetapi pada umumnya berupa nasi dengan lauk pauk seperti opor ayam, opor daging, opor telur, juga sate. Tidak sedikit juga dulang dilengkapi buah-buahan.
Tradisi ini disebut begibung yang dalam bahasa Sasak (bahasa asli Lombok), berarti makan bersama. Tradisi ini selalu dilaksanakan selesai shalat Idul Fitri setiap tahun. Istilah begibung juga kerap digunakan untuk makan bersama warga Sasak dalam kegiatan lain.
Kiai atau tokoh agama di kampung harus lebih dahulu membuka penutup dulang. Baru warga lain mengikuti dan mulai makan.
Bedanya, ini momen yang spesial karena sebagai bentuk syukur setelah sebulan berpuasa. ”Tidak hanya melestarikan tradisi nenek moyang, tetapi kearifan lokal ini adalah cara untuk saling memperkuat kebersamaan antarwarga. Apalagi, tidak selalu bisa bertemu,” kata Jinadi yang juga salah satu tokoh masyarakat di Kuang Jukut.
Menurut Jinadi, begibung menghilangkan sekat sosial. Tidak ada kaya dan miskin. ”Mereka bisa sama-sama duduk menghadap dan menyantap isi dulang yang sama,” kata Jinadi.
Oleh karena itu, begibung selalu dirindukan warga. Terutama saat Idul Fitri. ”Sejak kecil, saya sudah ketemu tradisi ini. Setiap tahun, rasanya tidak ingin melewatkannya,” kata Amaq Rena (56), salah satu warga.