Pencemaran Karimunjawa dan Pro-Kontra atas Vonis Hakim terhadap Daniel
Sejumlah pihak mengecam keputusan hakim atas kasus Daniel Tangkilisan. Sebagian berharap kasus hal itu jadi pelajaran.
Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah, yang menyatakan Daniel Frits Maurits Tangkilisan (50) bersalah dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menuai reaksi beragam dari publik. Sejumlah pihak mengaku kecewa atas vonis tersebut dan mendesak agar Daniel dibebaskan.
”Terdakwa (Daniel) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara hukum tindak pidana tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian untuk kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA,” kata Hakim Ketua Parlin Mangantas Bona Tua dalam sidang vonis di Pengadilan Negeri Jepara, Kamis (4/4/2024) siang.
Mendengar kalimat tersebut, puluhan orang yang menyaksikan sidang termenung. Sebagian menundukkan kepala sambil mengusap air mata yang membasahi wajah mereka.
Baca juga: Daniel Tangkilisan Divonis 7 Bulan Penjara, Warga Karimunjawa Kecewa
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 bulan dan denda Rp 5 juta, dengan ketentuan jika denda itu tidak dibayar digantikan kurungan penjara selama 1 bulan,” lanjut Parlin.
Ucapan Parlin tersebut lantas disusul isakan orang-orang yang duduk di belakang Daniel. Mereka patah hati. Harapan yang terus dipupuk sejak sidang pertama pada 1 Februari 2024 agar Daniel dibebaskan dari segala tuntutan pun pupus.
”Putusan ini jelas tidak adil. Selanjutnya, kami harus bagaimana lagi untuk menjaga lingkungan ini?” kata Ketua Lingkar Juang Karimunjawa Bambang Zakariya sambil berlinang air mata.
Zakariya resah. Sebab, ada tiga warga lain dari Karimunjawa yang juga terjerat kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sama dengan Daniel, ketiga orang itu juga dianggap melakukan ujaran kebencian dalam upaya memprotes pencemaran limbah tambak udang di Karimunjawa.
”Mau ada berapa Daniel lagi? Kami ini cuma mau menjaga lingkungan, bukan mau melawan siapa-siapa,” imbuhnya.
Kendati putus asa dengan vonis hakim, Zakariya menyebut, pihaknya bertekad untuk tidak berhenti berjuang. Perjuangan itu bakal terus dilakukan sampai pencemaran limbah di wilayahnya berhenti dan kondisi Karimunjawa dipulihkan.
Kekecewaan juga diungkapkan Saroni (47), warga Karimunjawa. Menurut Saroni, mayoritas warga Karimunjawa tidak tersinggung atau benci dengan pernyataan Daniel di media sosial terkait ”masyarakat otak udang”. Apalagi, dalam komentar itu, Daniel tidak secara spesifik menyebut masyarakat Karimunjawa.
”Hari ini, di Karimunjawa sedang ramai. Warga tidak bisa terima dengan dengan vonis hakim di Jepara yang memutuskan bahwa Daniel bersalah. Kami meminta Daniel harus dibebaskan karena kami sangat membutuhkan Daniel di Karimunjawa,” ucap Saroni, Kamis.
Muhnur Satyahaprabu, salah satu penasihat hukum Daniel, mengatakan, pihaknya bakal melakukan banding atas putusan hakim tersebut. Hal itu dilakukan bukan hanya demi membebaskan Daniel, melainkan juga menyelamatkan semua pejuang lingkungan di Indonesia.
Dalam hal-hal yang meringankan vonis, hakim menyebut bahwa Daniel adalah aktivis lingkungan. Pengakuan itu dinilai Muhnur positif. Namun, ia amat menyayangkan, hal itu hanya digunakan sebagai salah satu dasar meringankan hukuman.
”Buat apa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan Pedoman Kejaksaan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dibuat kalau hanya untuk meringankan? Aturan itu seharusnya dibuat untuk membebaskan pejuang lingkungan,” kata Muhnur.
Harusnya majelis mempertimbangkan itu sebagai bagian perlindungan hukum lingkungan.
Sebelumnya, Rapin Mudiardjo, yang juga merupakan penasihat hukum Daniel, mengaku kecewa lantaran hakim tidak mempertimbangkan kasus yang menimpa Daniel sebagai bentuk Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP) atau kriminalisasi untuk membungkam gerakan prolingkungan hidup. Menurut Rapin, konsep anti-SLLAP yang merupakan aturan internasional telah diratifikasi dan diadopsi menjadi bagian dari hukum Indonesia.
”Harusnya majelis mempertimbangkan itu sebagai bagian perlindungan hukum lingkungan,” katanya.
Bukti nyata
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat turut menyoroti vonis yang dijatuhkan hakim. Amnesty International Indonesia, misalnya, menyebut hukuman yang diberikan untuk Daniel merupakan bukti nyata kriminalisasi pembela lingkungan yang memperjuangkan kepentingan publik masih terus terjadi. Hukuman itu juga sebagai tanda bahwa perlindungan bagi pejuang lingkungan masih sangat minim.
”Berbagai peraturan di Indonesia, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan panduan bagi sistem peradilan untuk tidak mengkriminalisasi pejuang lingkungan. Namun, Daniel tetap dikriminalisasi dengan UU ITE,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Ini menunjukkan bahwa UU ITE, walau sudah dua kali direvisi, tidak hanya mengancam kebebasan berekspresi, tetapi juga digunakan untuk membungkam pembela hak asasi manusia, termasuk aktivis lingkungan yang berupaya mencegah kerusakan ekologis.
Amnesty International Indonesia mendesak agar Daniel dibebaskan segera dan tanpa syarat. Menurut Usman, tidak sepantasnya Daniel dikriminalisasi, apalagi sampai dipidana. Negara, dinilai Usman, harus menunjukkan keberpihakannya pada hak asasi manusia dan kepentingan pelestarian lingkungan.
Kasus yang menyeret Daniel hingga duduk di kursi pesakitan bermula dari sebuah komentar yang dia lontarkan pada unggahannya terkait pencemaran limbah tambak udang di Pantai Cemara, Karimunjawa. Dalam komentarnya itu, Daniel menulis, ”Masyarakat otak udang menikmati makan gratis sambil dimakan petambak. Intine, sih, masyarakat otak udang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak, dan teratur untuk dipangan.”
Dalam eksepsinya, Daniel sudah menjelaskan bahwa masyarakat yang dimaksud pada komentarnya itu merupakan masyarakat secara umum. Menurut pemahaman Daniel, otak udang berarti bebal dan tidak mau belajar.
”Saya tahu masyarakat Karimunjawa bukan otak udang karena sudah sadar dan mau belajar akan pentingnya alam lestari. Jelas terbukti dari meningkatnya kesadaran untuk tidak buang sampah sembarangan, penginapan mengelola sampahnya, tur laut memakai tumbler dan air minum galon, berkali-kali aksi bersih pantai dan pelabuhan dilakukan dan semakin diminati tur darat, budaya, dan sejarah Kemujan yang Bapak Bambang Zakariya dan saya prakarsai,” tutur salah satu penasihat Daniel, mengutip pernyataan Daniel dalam eksepsinya.
Dalam putusannya, hakim menyebut bahwa unsur menimbulkan kebencian atau permusuhan dalam kasus Daniel telah terpenuhi. Hakim menilai bahwa konstruksi pasal ujaran kebencian tidaklah harus sampai menimbulkan kerusuhan dan kekerasan terhadap golongan tertentu.
Menurut majelis, Pasal 45A Ayat (2) tentang UU ITE dan UU Nomor 8 Tahun 2018 tentang Hukum Acara Pidana dapat diterapkan pada Daniel karena komentar yang ditulisnya itu telah menimbulkan rasa kebencian dan ketersinggungan bagi sekelompok orang. Unsur kebencian menurut hakim telah terbukti karena komentar Daniel dianggap mengakibatkan kebencian lantaran terdapat sebagian kelompok masyarakat Desa Kemujan dan Desa Karimunjawa yang pro dan kontra terhadap tambak.
”Padahal, pro dan kontra terhadap tambak udang merupakan akibat langsung dari pencemaran yang dilakukan oleh industri ini, bukan akibat dari komentar Daniel,” ucap Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar.
Wahyudi menuturkan, dalam penelitian yang dilakukan Elsam di Karimunjawa, konflik terjadi antara masyarakat pekerja tambak dan yang menggantungkan mata pencariannya pada sektor pariwisata. Sebanyak 75 warga yang disebut majelis hakim keberatan dengan komentar Daniel, dalam penelusuran Elsam, merupakan masyarakat yang terafiliasi pada industri tambak udang.
”Oleh karena itu, adalah keliru jika hakim melihat ujaran masyarakat otak udang itu menyinggung masyarakat Karimunjawa secara keseluruhan. Sebab, yang tersinggung hanyalah pelaku industri tambak udang saja,” kata Wahyudi.
Selain keliru dalam penafsiran, Elsam juga menyebut hakim melakukan simplifikasi bahwa masyarakat yang dimaksud Daniel adalah masyarakat Karimunjawa. Menurut hakim, jika Daniel tidak bermaksud demikian, seharusnya ia langsung menyebut masyarakat yang dimaksud adalah oknum-oknum pelaku industri tambak udang. Karena itu, hakim menganggap pernyataan tersebut telah memenuhi unsur antargolongan.
Menurut Wahyu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 menyatakan istilah antargolongan adalah semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras. Keluasan tafsir itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh hakim untuk mengategorikan ujaran Daniel telah memenuhi unsur ujaran kebencian yang ditujukan pada antargolongan penduduk tertentu.
Elsam mendorong Komisi Yudisial memeriksa tiga hakim yang mengadili perkara Daniel karena adanya kejanggalan sejak awal dalam memaksakan penggunaan pasal yang rumusannya sudah diubah, kekeliruan dalam penafsiran pasal ujaran kebencian, serta dugaan keterkaitan putusan ini dengan industri tambak udang yang mencemari lingkungan Karimunjawa.
Elsam menilai, Pengadilan Tinggi Semarang harus mempertimbangkan kembali perubahan terhadap pasal-pasal yang didakwakan terhadap Daniel dan dengan saksama memeriksa ulang fakta-fakta persidangan dalam kasus tersebut.
Mahkamah Agung juga perlu memberi atensi serius pada penanganan perkara berdimensi teknologi informasi dan komunikasi untuk memastikan kesesuaian penerapan hukum dalam setiap perkara yang ditangani. Dengan demikian, pengadilan tidak menjadi pintu gerbang bagi penghukuman terhadap kebebasan berekspresi.
”Penyediaan panduan penanganan perkara berdimensi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menyediakan bimbingan teknis bagi para hakim di semua tingkatan peradilan, khususnya dalam mengadili kasus-kasus yang berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat, baik yang melalui medium daring maupun luring, juga perlu dilakukan,” imbuh Wahyudi.
Keliru
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga menyayangkan pertimbangan majelis hakim dalam kasus Daniel. Menurut ICJR, hakim keliru dalam menerapkan pidana dasar Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan konsep ujaran kebencian. Kekeliruan dalam mempertimbangkan hal-hal mendasar tersebut dinilai berdampak buruk pada pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
Direktur Eksekutif Erasmus Abraham Todo Napitupulu mengatakan, putusan dengan penafsiran demikian telah memperpanjang daftar kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengemukakan pendapatnya terkait masalah sosial yang terjadi. Kekeliruan tersebut membuat seorang pembela lingkungan hidup yang aktif harus berakhir di dalam penjara selama 7 bulan dan membayar denda Rp 5 juta.
Baca juga: Daniel Tangkilisan, Aktivis Karimunjawa yang Dikriminalisasi
”Kami sangat mempertanyakan mengapa kesalahan mempertimbangkan materi pidana dapat terjadi dalam kasus ini. Kami mengkhawatirkan, hal ini karena adanya tekanan publik untuk memidana Daniel yang menyebabkan pengadilan berjalan atas desakan tersebut atau trial by mob karena terlalu menyedihkan melihat pertimbangan yang mereduksi asas paling dasar, yaitu asas legalitas hukum pidana,” ujar Erasmus.
Di balik kecaman dan kritik terhadap putusan hakim, sejumlah pihak mengaku lega dan bersyukur atas putusan hakim. R, warga Karimunjawa yang melaporkan Daniel, menyebut, hukuman yang dijatuhkan hakim diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi Daniel untuk lebih berhati-hati ke depan.
”Mudah-mudahan, ke depan tidak ada lagi kejadian seperti ini. Karena permasalahan ini, saya jadi dikucilkan. Istilahnya, sesama teman jadi ada gesekan. Sama teman sendiri (saya merasa) jadi tidak nyaman,” ucap R saat dihubungi Kompas, Kamis malam.