Laris Manis Mete Sultra, Primadona Penganan Lebaran
Jelang Lebaran, pesanan mete di Kendari melonjak. Mete di wilayah ini menjadi primadona penganan dan untuk dibawa mudik.
Gurih jambu mete di Sulawesi Tenggara atau Sultra selalu menjadi buruan masyarakat saat masa Lebaran tiba. Warga berburu mete ataupun olahannya untuk penganan. Tidak hanya sebagai oleh-oleh, tetapi juga untuk cemilan di hari raya.
Anjas (50) berkeliling membawa dua bungkusan mete di tangannya. Di meja kasir telah ada empat bungkusan lainnya. Ada yang telah diolah dan ada yang mentah. Semuanya dikumpulkan di meja sebelum dikepak.
Pegawai salah satu instansi ini melanjutkan perburuan. Beberapa bungkus kue kering hingga abon ikan juga dibawa. Semuanya dikemas menjadi satu boks sedang. Pegawai toko oleh-oleh Athifah menyiapkan bungkusan.
”Ini bukan untuk saya, tetapi untuk teman saya orang Palembang yang mau mudik. Semacam tradisi bagi kami untuk bertukar oleh-oleh,” tuturnya, Kamis (4/4/2024), di Kendari, Sultra.
Setiap Lebaran tiba, ia selalu menyiapkan waktu untuk mencari oleh-oleh. Beberapa penganan menjadi incaran. Namun, mete adalah menu utama yang tidak boleh dilewatkan. Semacam hal wajib saat menyiapkan oleh-oleh.
Sebab, Anjas mengatakan, mete menjadi identitas di Kendari. Setiap orang yang datang selalu mencari jambu mete. Rasanya yang gurih, manis, dan renyah menjadi ciri khas yang diburu banyak orang.
”Teman juga selalu cari. Apalagi, misalnya, kalau mereka pulang kampung juga bawakan oleh-oleh khas daerahnya. Kita di sini juga tidak boleh kalah dong,” kelakarnya.
Icha (30), karyawan toko, mengatakan, jambu mete memang naik pamor saat masa Ramadhan dan jelang Lebaran. Pengunjung yang datang rerata mencari mete baik untuk dibawa sendiri maupun untuk dikirimkan.
Meski tidak memiliki angka pasti, ia melihat peningkatan penjualan mete sangat signifikan. Setelahnya baru kue kering dari sagu dan beragam olahan lainnya.
Baca juga: Gurih Mete Sultra yang Melintasi Benua
”Makanya, sebelum Ramadhan kita sudah stok mete lebih banyak dari biasanya karena pasti permintaan tinggi,” tuturnya.
Di pinggiran Kota Kendari, hampir sebulan terakhir Hajar (50) sibuk mengurus pesanan. Paket biskuit, brownies mete, cokelat mete, dan produk Sagumi lainnya dikemas dan dikirimkan. Sagumi adalah jenama dengan produk kue kering berbahan dasar sagu, cokelat, dan mete miliknya.
Pesanan tidak hanya datang dari Kendari, tetapi juga wilayah lainnya di Sultra. Tahun ini ia banyak melayani pembeli dari Makassar, Surabaya, Palangkaraya, dan beberapa daerah lain. Penjualan meningkat signifikan.
”Alhamdulillah kalau bulan biasanya menjual 2.000 pieces, sekarang bisa di atas 3.000. Kenaikannya lebih dari 50 persen,” tuturnya, Jumat (5/4/2024).
Pesanan terbanyak jatuh pada brownies mete. Olahan ini mendominasi hingga 70 persen. Rasanya yang gurih dan ditaburi mete menjadi primadona pelanggannya. Beberapa bahkan membeli paket kiloan.
Menurut Hajar, olahan dengan campuran mete selalu menjadi incaran. Hal itu karena rasa mete yang sudah dikenal, terlebih dari wilayah Kendari. Produk kue yang dibuatnya menjadikan rasa mete bercampur dengan sagu dan cokelat.
Alhamdulillah kalau bulan biasanya menjual di 2.000 pieces, sekarang bisa di atas 3.000. Kenaikannya lebih dari 50 persen.
Leena (67), ibu rumah tangga di Kendari, punya kebiasaan yang tidak jauh beda dengan warga lainnya. Ia telah menyiapkan berbagai kue kering untuk menyambut Lebaran. Sanak keluarganya akan datang bertandang.
Seperti halnya warga lainnya di Kendari, ia juga menyiapkan kue berbahan mete. Kue cokelat diberi pemanis jambu mete. Kue kering lainnya juga diberi tambahan mete. Tak lupa tentunya mete yang telah diolah dan digoreng disimpan di toples khusus.
Menurut nenek tiga cucu ini, dibandingkan berbagai kue lainnya, kacang mete selalu ludes dalam sekejap. Ia terbiasa menyiapkan beberapa toples menyambut Lebaran tiba. Ia telah membeli 5 kilogram mete.
”Cucu semua suka. Kalau mereka kumpul, pasti yang dicari itu mete,” katanya. Ia melanjutkan, ”kalau Lebaran tidak ada mete, itu pasti terasa ada yang kurang. Kita ngobrol sambil mengunyah mete.”
Baca juga: Mete Sultra, Berjaya Lalu Terancam Merana
Tanaman jambu mete merupakan tanaman yang berasal dari Brasil. Sekitar 400 tahun lalu, tanaman ini melintasi banyak wilayah dan benua hingga tiba di Indonesia. Tanaman ini cocok tumbuh di wilayah tropis dengan ketinggian 1-1.200 meter di atas permukaan laut.
Pemerintah daerah di Sultra mulai menggalakkan tanaman ini pada medio 1980-an. Awalnya direncanakan untuk tanaman penghijau di wilayah yang tandus dan kering, seperti di daratan Muna dan Buton. Tanaman ini banyak ditanam di pekarangan rumah dan kebun.
Sejak saat itu, jambu mete semakin dekat dengan masyarakat. Kejayaan mete bertambah kokoh ketika harga tanaman ini melejit pada akhir 1990-an. Resesi moneter membuat harga melambung, termasuk tanaman ini, yang semakin banyak diminati di banyak negara.
Hingga akhirnya Sultra merupakan sentra penghasil jambu mete kedua terbesar di Indonesia. Produksi jambu mete di provinsi ini dengan kontribusi di atas 10 persen berasal dari empat kabupaten, yaitu Muna (26,59 persen), Bombana (14,71 persen), Muna Barat (13,91 persen), dan Konawe Selatan (11,54 persen). Sisanya, kabupaten lain termasuk minim dengan angka yang bervariasi (Outlook Jambu Mete Kementan 2022).
Akan tetapi, jumlah produksi tahunan terus turun. Data menunjukkan, produksi mete turun dari 51.700 ton pada 2021 menjadi 36.285 ton pada 2022. Kurangnya pasokan membuat beberapa pengolah mete mendatangkan dari luar daerah, utamanya Maluku. Berbagai hal ditengarai menjadi penyebab, mulai dari teknologi pertanian warga hingga pengaruh cuaca.
Mariadi, pensiunan pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo yang banyak meneliti terkait mete, menuturkan, dari tahun ke tahun tanaman mete terpinggirkan dan tidak dikelola dengan baik. Padahal, dengan potensi lahan dan kultur masyarakat, tanaman ini memiliki potensi yang tinggi dan bisa berdampak besar baik bagi daerah dan khususnya untuk masyarakat.
”Memang banyak masalah, belum lagi dengan cuaca yang tidak menentu. Tapi, tanaman ini harus dijaga karena telah menjadi ciri khas daerah dan manfaat yang tinggi. Buah, biji, dan kulitnya bisa diolah. Tapi, sekarang kami khawatir melihat kondisi tanaman ini. Semoga pemerintah mengambil langkah pengembangan,” ucapnya.