Gurih Mete Sultra yang Melintasi Benua
Olahan mete asal ”Bumi Anoa” semakin bervariasi dengan rasa yang memanjakan lidah. Diolah oleh masyarakat, mete semakin dikenal hingga ke mancanegara.
Berjaya sejak puluhan tahun lalu, jambu mete asal Sulawesi Tenggara kini dikomodifikasi dalam beragam bentuk olahan. Keripik, cokelat, hingga brownies yang diolah dengan mete adalah beberapa di antaranya. Penganan ini pun berlayar dari Teluk Kendari, mengarungi Selat Makassar, melintasi samudra, hingga mendarat di beberapa benua.
Suatu waktu di 2019, La Ato (25), yang saat itu masih duduk di bangku kuliah, menerima pesan di telepon pintarnya. Seorang yang tidak dikenalnya mengirimkan foto. Itu adalah cokelat mete buatannya yang berlatar belakang sebuah kota di Amerika Serikat.
”Ada yang kirimkan, saya tidak tahu juga siapa. Pas dapat foto itu perasaan sudah tidak tahu lagi. Hasil karya saya bisa sampai di luar negeri dan dikenal orang. Saya saja belum pernah keluar dari Sultra,” tutur Ato semringah, akhir Juli lalu.
Di sebuah kamar kos-kosan berukuran 3 meter x 6 meter di Kendari, Sulawesi Tenggara, Ato mengolah mete dan cokelat menjadi penganan khas ”Bumi Anoa”, sebutan untuk Sultra. Kamar itu adalah tempat produksi cokelat mete buatannya sejak 2017.
Jumat (28/7/2023), ia mengecek stok dan bahan yang tersedia. Mete yang telah diolah ditaruh di wadah plastik besar. Berkardus-kardus cokelat mentah menumpuk di dekat pintu masuk. Kemasan dan aluminium foil berada di kardus lain.
Ato membuat olahan mete setelah melihat potensi yang ada. Mete adalah ciri khas daerahnya. Sejak kecil ia akrab dengan mete. Orangtuanya juga memiliki sepetak kebun mete, seperti warga lainnya di Pulau Muna, Buton, dan beberapa daerah lain di daratan Sultra.
Saat kuliah, ia menyambi menjadi penjaga toko oleh-oleh Mubaraq, salah satu pusat penjualan mete tertua dan terbesar di Kendari. Di situ, ia mulai berpikir untuk mengolah mete menjadi bentuk lain, utamanya dengan cokelat.
”Belajar otodidak, akhirnya dapat komposisinya. Saya lalu berani buat dan kemas sendiri. Ternyata disukai pembeli. Akhirnya serius urus izin dan bikin produk sendiri,” katanya.
Baca juga: Dilema Ekonomi ”Surga Nikel” Sultra
Sejak saat itu, produksinya bertambah. Dari hanya 1 kilogram mete sebulan bisa mencapai 10 kg. Penjualannya turut meningkat dengan omzet rerata Rp 50 juta dalam sebulan. Meski pandemi Covid-19 membuatnya jungkir balik, ia kini mulai bisa bernapas lega. Pesanan dalam dan luar negeri semakin meningkat.
”Terakhir ada pesanan untuk dikirim ke Madagaskar. Tapi karena izin dan rumah produksi belum lengkap, belum bisa. Saya upayakan bisa selesai tahun ini,” kata Ato.
Di pinggiran Kendari, sebuah rumah produksi oleh-oleh juga terus mengolah mete. Sembilan oven menyala serempak di rumah produksi dengan merek Sagumi. Enam perempuan bekerja bergantian di dapur dengan lantai kayu yang berdecit saat dijejak.
Muhriah (41), salah seorang pekerja, mengemas brownies mete ke dalam kemasan. Penganan yang telah dibuat sehari sebelumnya itu dimasukkan dalam plastik kemasan, ditimbang, lalu dirapikan dengan mesin pres.
Brownies mete itu dibuat dengan bahan dasar sagu yang ditaburi mete. Tidak ketinggalan cokelat biji yang diolah sendiri, lalu dicampur bersama. Rasanya manis, gurih, dengan aroma cokelat yang lekat. Potongan mete menambah rasa gurih di lidah.
”Hari ini bikin biskuit sagu. Terus yang sudah jadi sejak kemarin itu brownies mete, makanya sekarang dikemas,” kata Muhriah. Ia bekerja mengolah adonan, memanggang, dan mengemas penganan sejak pukul 08.00 Wita.
Baca juga: Ekspor Hasil Pertanian Sultra Terpuruk di Tengah Dominannya Ekspor Besi dan Baja
Hajar (49), pendiri Sagumi, mengungkapkan, ia mengolah penganan berbahan dasar sagu, di antaranya biskuit sagu, keripik, cokelat mete, dan brownies mete. Dari keempat produk tersebut, brownies mete adalah olahan yang paling digemari.
Dalam sebulan, brownies mete mendominasi penjualan di atas 50 persen. Selain rasanya yang renyah, manis, dan gurih, produk ini juga bebas gluten. Tidak hanya itu, khusus biskuit dan chip juga termasuk vegan karena tidak mengandung protein hewani.
”Produk kami itu bebas pengawet dan bebas gluten. Tidak hanya itu, bahan dasar utamanya juga merupakan khas dari sini, baik sagu, mete, maupun cokelat. Sagu kami ambil dari Konawe, mete dari Muna, dan cokelat dari Kolaka. Lengkap sudah wilayah Sultra,” katanya.
Bahan baku utama
Hajar membutuhkan mete sekitar 50 kilogram, sagu 100 kilogram, dan cokelat 20 kilogram dalam satu bulan. Bahan ini dipakai untuk berbagai produk olahan yang ia produksi. Kebutuhan akan bahan baku terus meningkat, utamanya mete yang memiliki peminat tinggi.
Dari berbagai bahan utama ini, ia sangat memilah untuk bahan jambu mete. Sebab, kualitas jambu mete menentukan rasa produk olahannya. Terlebih lagi, produk dengan tambahan mete merupakan produk yang paling digemari pelanggan.
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan sentra penghasil jambu mete kedua terbesar di Indonesia. Produksi rata-rata tahunan mete di wilayah ini mencapai 37.590 ton.
Khusus untuk jambu mete, ia memilih jambu yang telah diolah sebelumnya. Meski tidak membutuhkan jambu utuh, ia tetap memilih yang terbaik. ”Biar jambu mete pecah, tetapi tidak boleh rusak, ada bintik kuning atau hitam. Karena pasti rasanya beda,” tambahnya.
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan sentra penghasil jambu mete kedua terbesar di Indonesia. Produksi jambu mete di Provinsi Sultra dengan kontribusi di atas 10 persen berasal dari empat kabupaten, yaitu Muna (26,59 persen), Bombana (14,71 persen), Muna Barat (13,91 persen), dan Konawe Selatan (11,54 persen). Sisanya, kabupaten lain termasuk minim dengan angka yang bervariasi (Outlook Jambu Mete Kementan 2022).
Produksi rata-rata tahunan mete di wilayah ini mencapai 37.590 ton. Meski begitu, produksi tahunan terus turun. Tidak hanya itu, jumlah mete yang diekspor juga hanya sebagian kecil dari ekspor Sultra.
Pada 2022, ekspor mete Sultra hanya 18 ton atau senilai 22.000 dollar AS. Total ekspor wilayah ini mencapai 2,5 juta ton yang 99 persennya dikuasai oleh hasil pengolahan nikel.
Koordinator Program dan Evaluasi Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Sulawesi Tenggara Assayuthi Ma’suf mengungkapkan, produk jambu mete di wilayah ini memang diprioritaskan menjadi andalan. Serupa dalam bertahun-tahun sebelumnya, ekspor jambu mete juga terus dilakukan.
”Tapi dua tahun terakhir ekspornya turun. Tahun lalu itu 18 ton dan tahun sebelumnya 48 ton. Tahun ini kami belum dapat informasi lagi,” katanya.
Jambu mete di wilayah ini, kata Assayuthi, memiliki sejumlah kendala, mulai dari tanaman yang berusia tua, teknologi dan intervensi pertanian yang lemah, hingga pengaruh cuaca. Hal ini berakibat juga pada turunnya produksi selama beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Lukisan Warna Bumi Anoa
Seperti tanaman cokelat, jambu mete juga seharusnya menjadi andalan di wilayah ini. ”Malah yang kami lihat meningkat itu kelapa sawit. Seharusnya mete dan cokelat menjadi andalan,” tuturnya.
La Ato juga memiliki kekhawatiran yang tinggi akan produksi jambu mete di tanah kelahirannya. Sebab, ia tahu bahan baku jambu mete banyak yang didatangkan dari luar lalu diolah di wilayah ini.
”Sebagai pelaku usaha tentu saya khawatir. Jangan sampai kita bilang Sultra penghasil mete, tetapi ternyata dari luar semua?” keluh ayah satu anak ini.