Di Tengah Panen Raya ”Food Estate”, Harga Gabah Anjlok Dua Kali
Saat panen raya melimpah di Kalimantan Tengah, harga gabah kering justru anjlok, bahkan sudah dua kali.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Petani di Kalimantan Tengah gigit jari. Saat panen raya, harga gabah kering justru semakin anjlok. Biaya produksi pun tak tertutup.
Harga gabah kering yang anjlok justru terjadi di kawasan program strategis nasional (PSN) lumbung pangan nasional atau yang dikenal dengan sebutan food estate. Ironinya lagi, jatuhnya harga gabah justru terjadi saat harga beras di Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng, dan beberapa ibu kota kabupaten lainnya sedang menanjak naik.
Herianto (48), anggota Kelompok Tani Sido Mekar, salah satu kelompok tani yang ikut dalam program food estate, mengatakan, harga gabah jatuh dua kali. Pada pertengahan Maret, harga gabah kering turun dari Rp 8.500 per kilogram (kg) menjadi Rp 7.200 per kg. Saat ini harganya kembali tersungkur ke harga Rp 5.500 per kg.
Petani transmigran asal Jawa Tengah yang sudah puluhan tahun tinggal di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, itu memiliki lahan sawah seluas lebih kurang dua hektar. Awal April 2024, ia berhasil mendapatkan rata-rata 5 ton gabah kering giling per hektar.
Menurut Herianto, dengan harga gabah yang anjlok itu dirinya merugi. Apalagi selama proses menanam padi, dirinya tidak mendapatkan pupuk bersubsidi. Herianto harus mengeluarkan uang Rp 340.000 per 100 kg pupuk. Adapu untuk satu hektar lahan ia membutuhkan empat sampai enam kali pemupukan dengan total lima sampai enam karung pupuk berukuran 100 kg. Ia menghabiskan Rp 10 juta hanya untuk pupuk, belum termasuk biaya lainnya.
”Tidak hanya pupuk, kami juga harus membeli obat-obatan yang harganya tidak murah. Semua itu kami beli sendiri, kalau harga gabahnya jatuh begini, yang ada rugi,” kata Herianto.
Hal serupa tidak hanya terjadi pada Herianto, tetapi juga seluruh anggota kelompok tani tempatnya bergabung. Menurut dia, program bantuan dari food estate sudah tidak ada lagi. Bantuan pupuk hingga benih hanya diterima di tahun pertama pada 2020. Sejak saat itu, semua petani berupaya sendiri.
Pujiaman (40), petani asal Desa Belanti Siam, merasakan hal yang sama. Ia dan petani lain bahkan harus meminjam uang di bank untuk bisa menanam padi dan menyiapkan lahan, serta membeli pupuk, obat-obatan, dan benih padi yang ia inginkan.
”Harga (gabah kering) itu tengkulak yang tentukan, kalau yang lain (pemerintah) belum ada yang datang menawarkan dengan harga yang lebih baik,” kata Pujiaman.
Pujianto bingung lantaran harga beras di pasar saat ini masih tinggi. Padi yang ia tanam saja jika dijual di pasar harganya Rp 16.000 per liter beras. ”Saya juga bingung kok bisa anjlok harga gabahnya, padahal harga beras naik,” ujarnya.
Lain lagi petani di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, salah satunya Ardianto (46). Ia merupakan salah satu peserta perluasan lahan sawah food estate yang sampai saat ini masih berupaya untuk bisa berhasil panen dari sawah yang baru dicetak pada 2022. Sejak saat itu, ia sudah dua kali gagal panen dan satu kali panen dengan hasil yang menurutnya belum maksimal. ”Jangan dulu bilang untuk jual, untuk kebutuhan rumah saja dulu,” ujar Ardianto.
Sesuai rencana, tahap awal proyek ini akan menggarap lahan 30.160 ha bekas proyek pembukaan lahan gambut (PLG). Rinciannya, 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 ha di Kapuas yang meliputi 13 kecamatan untuk lahan intensifikasi atau program peningkatan produksi di lahan sawah yang sudah ada.
Harga itu tengkulak yang tentukan, kalau yang lain (pemerintah), belum ada yang datang menawarkan dengan harga yang lebih baik
Tak hanya itu, pemerintah juga membuat program ekstensifikasi, yakni mengubah kebun atau hutan menjadi sawah baru. Total luas lahan ekstensifikasi ini pada tahap awal mencapai 16.000 ha merujuk data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Provinsi Kalteng. Ekstensifikasi lahan ini juga dijalankan di Pulang Pisau dan Kapuas.
Kepala Dinas TPHP Provinsi Kalteng Sunarti menjelaskan, harga gabah yang turun memang kerap terjadi saat panen raya. Selama ini, pemerintah melalui Perum Bulog belum bisa membeli gabah petani langsung karena banyak faktor.
”Sekarang masalahnya karena HPP-nya Rp 5.000 per kg, Bulog tidak sanggup serap gabah petani apalagi harga di sana (Belanti Siam) sudah jauh di atas harga yang HPP yang ditetapkan pemerintah,” kata Sunarti.
Inflasi
Ironis lainnya, selain karena harga gabah yang anjlok, meski panen raya beras juga jadi penyumbang inflasi di Kalteng, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah Eko Marsoro mengatakan, daging ayam dan beras memberikan andil cukup besar terhadap inflasi pada tahun 2024.
Eko menambahkan, inflasi di Kalteng meningkat 2,72 persen pada Maret 2024 dibanding periode yang sama tahun lalu. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Kapuas sebesar 3,35 persen.
Kabupaten Kapuas juga merupakan salah satu daerah penghasil padi di Kalteng yang juga bagian dari program food estate. Di daerah ini, pemerintah membuka sawah baru juga mengintensifkan kembali sawah yang sudah ditinggalkan petani. Bahkan, lahan food estate paling luas ada di kabupaten ini dengan total lebih kurang 34.000 hektar (Kompas.id, 3 Oktober 2023).
”Inflasi meningkat pada Maret 2024 dengan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 105,96,” kata Eko.