Viral 15 Ton Salak Dibuang ke Sungai, Saatnya Mengolah Buah agar Naik Kelas
Viral salak busuk dibuang di sungai di Banjarnegara. Ini jadi momen berinovasi atasi berlimpahnya panen raya.
Belasan keranjang plastik berisi salak busuk dibuang sejumlah pemuda ke sungai dari tepian Jembatan Sendang Kamulyan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (28/3/2024). Video dengan narasi salak tidak ada harganya itu viral.
Salak itu dibuang di Desa Talunamba, Kecamatan Madukara, Banjarnegara. Menurut Pardi, distributor yang membuang salak, buah itu sudah terlalu lama di gudang dan membusuk. ”Sudah empat hari di gudang, semua itu sudah busuk. Semuanya ada 15 ton salak dibuang,” kata Pardi saat ditemui di Madukara, Banjarnegara, Rabu (3/4/2024).
Rabu itu tampak 24 tenaga kerja sibuk memilah, menimbang, dan memuat salak-salak di gudangnya.
Baca juga: Setelah 13 Kali Pergelaran Dieng Culture Festival
Pardi mengatakan, salak terlalu lama di gudang karena sepi permintaan atau pembeli. Biasanya per hari dirinya bisa menerima 10-15 ton salak dari sekitar 50 petani di Desa Talunamba. Salak itu langsung dikirim ke pasar-pasar di Bandung dan Karawang (Jawa Barat) serta Lamongan (Jawa Timur). Pardi menampung salak.
Namun, pekan itu, salak di pasar tersebut masih banyak sehingga pedagang di sana belum bersedia menerima pasokan baru. ”Salak tidak laku. Permintaan pasar sedikit. Di gudang banyak banget. Ini faktor terlalu banyak buah, ada duku, manggis, dan rambutan,” tuturnya.
Ia mengatakan, harga salak saat normal Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram untuk kualitas bagus atau besar. Namun, saat ini harganya hanya Rp 2.000 per kilogram. Saat normal, salak ukuran kecil harganya berkisar Rp 1.500 per kilogram, tetapi kini hanya Rp 500 per kilogram.
Kendati telah membuang 15 ton salak, Pardi masih tetap menerima dan menjual salak meski permintaan dan harganya rendah. Jika biasanya bisa dapat permintaan sampai 20 ton, kini permintaan hanya sekitar 5 ton per hari.
Baca juga: Anton Supriyono, Penebar Virus Pertanian Modern dari Banyumas
Di sudut-sudut Desa Talunamba, ribuan rumpun tanaman salak pondoh masih tegak berdiri. Rumpun tanaman itu terawat dan berbuah kecil-kecil. Tangkai-tangkai tanamannya yang sudah tua tampak dipangkas. Namun, ada pula tanaman yang sudah berbuah besar, tapi rontok di sekeliling rumpun dan dibiarkan membusuk.
”Ini memang sengaja tidak dipanen karena harganya sangat murah, sekarang Rp 1.000 per kilogram. Padahal, biasanya Rp 3.000 lebih per kilogram,” kata Sugianto (54), salah satu petani salak.
Sugianto dan keluarganya memiliki sekitar 200 rumpun tanaman salak. Namun, sekitar dua pekan terakhir, mereka tidak memanennya. Dari 200 rumpun tanaman salak, sebenarnya Sugianto bisa memanen sekitar 2 kuintal atau 200 kilogram salak. Namun, jika harga jualnya hanya Rp 1.000 per kilogram, pemasukannya hanya Rp 200.000. Adapun biaya untuk tenaga kerja berkisar Rp 80.000-Rp 100.000 per orang.
“Mungkin nanti setelah Lebaran harganya bisa naik. Kalau (harga) sudah naik, baru dipanen,” katanya.
Menurut Sugianto, idealnya harga salak per kilogram di atas Rp 4.500 karena itu baru sebanding dengan biaya produksi meliputi tenaga kerja, pemupukan, dan perawatan. Karena tidak bisa mengandalkan pemasukan sepenuhnya dari penjualan salak, Sugianto juga membuka warung untuk berjualan barang kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan hariannya.
Salak bagi masyarakat cenderung sebagai pilihan yang ke sekian atau malah yang terakhir
Ditanya terkait upaya pengolahan pascapanen, baik Sugianto maupun Pardi menyebutkan beberapa orang sudah pernah mengolahnya menjadi keripik salak dan manisan, tetapi dibutuhkan biaya produksi yang tinggi sekaligus proses yang lama. ”Untuk keripik salak, salak segar itu bisa susut lebih dari 50 persen, peminatnya juga kurang,” tutur Sugianto.
Saat Kompas menengok jembatan tempat Pardi membuang 15 ton salak busuk, timbunan salak itu masih ada di dasar sungai kecil itu. Beberapa buah salak yang membusuk juga tampak berceceran di sekitar jembatan.
Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara Firman menyampaikan, saat ini buah-buah lokal sedang berlimpah termasuk salak. Salak memiliki kelebihan, yaitu bisa dipanen sepanjang tahun atau tidak mengenal musim. Namun, sayangnya, lanjut Firman, ada satu kelemahan salak, yaitu bukan termasuk buah meja.
”Salak bagi masyarakat cenderung sebagai pilihan yang ke sekian atau malah yang terakhir. Kalau ada buah lain yang sedang musim, seperti duku, durian, manggis, lalu salak menjadi pilihan terakhir karena dia bukan buah meja,” papar Firman.
Di samping itu, saat ini sedang bulan puasa atau Ramadhan sehingga orang-orang akan cenderung lebih memilih buah yang lebih manis dan segar daripada salak. ”Harga salak di bulan-bulan ini memang anjlok atau turun,” ujarnya.
Menurut Firman, usia tanaman salak di wilayah Banjarnegara sisi selatan seperti Madukara juga sudah tua atau lebih dari 20 tahun sehingga perlu diremajakan untuk mendapatkan hasil buah yang unggul.
Selain itu, diperlukan pula upaya diversifikasi tanaman, seperti alpukat dan durian, yang lebih bernilai ekonomis. Namun, para petani cenderung lebih suka menanam salak karena perawatan yang mudah dan bisa dipanen sepanjang tahun.
Untuk olahan salak pascapanen, lanjut Firman, beberapa produk kuliner sudah dihasilkan seperti jenang atau dodol salak, sirup salak, dan keripik salak. Meski demikian, serapan pasarnya juga tidak optimal.
Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perikanan, Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara, produktivitas dan jumlah tanaman salak fluktuatif sejak 2017-2023. Pada 2017, tercatat ada 17.093.160 rumpun salak dengan produksi 4.480.802 kuintal.
Pada 2018 dan 2019, angka itu merosot. Pada 2018, tercatat ada 12.762.494 rumpun salak dengan produksi hanya 2.909.805 kuintal. Pada 2019 tercatat ada 17.719.544 rumpun salak dengan produksi 942.269 kuintal.
Selanjutnya, pada 2020, tercatat ada 17.505.848 rumpun salak dengan produksi 3.774.542 kuintal. Pada 2021, ada 14.378.296 rumpun dengan produksi 3.602.126 kuintal. Pada 2022, ada 12.575.608 rumpun dengan produksi 2.303.346 kuintal, dan pada 2023 ada 15.339.158 rumpun salak dengan produksi 3.002.148 kuintal.
Di Banjarnegara, tercatat ada 8.916 petani salak dengan jumlah kelompok tani sebanyak 446 kelompok. Rata-rata per hektar lahan bisa ditanami salak 2.000 rumpun.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Sakhidin menyayangkan langkah pembuangan salak busuk itu ke sungai karena berpotensi mencemari lingkungan. Salak busuk itu seyogianya bisa dijadikan pupuk organik ataupun kompos yang bermanfaat bagi lingkungan. Adapun untuk pengolahan pascapanen, diperlukan inovasi yang menarik dan disukai pasar. ”Perlu terus ditingkatkan variasi produk-produk olahan salak yang inovatif dan prospektif juga menarik bagi konsumen,” paparnya.
Jika belajar dari Desa Wisata Sibetan di Bali, sebagaimana dilaporkan dalam penelitian berjudul ”Inovasi Pengolahan Buah Salak sebagai Produk Kuliner dan Oleh-oleh Khas di Desa Wisata Sibetan” pada Jurnal Gastronomi Indonesia (Vol 9, No 2, Desember 2021) karya Herdina dan kawan-kawan, salak bisa diolah menjadi kurma salak, kopi salak, teh salak, cuka salak, wine salak, arak salak, dan pia salak. Selain itu, kebun-kebun salak pun bisa menjadi pusat pembelajaran atau agrowisata bagi generasi muda dan anak-anak.
Untuk mengatasi kendala anjloknya harga salak di musim panen raya buah-buahan, dibutuhkan kolaborasi banyak pihak, seperti petani, pemerintah, akademisi, dan pihak swasta. Riset, produksi, inovasi, dan promosi juga perlu digiatkan bersama untuk mengangkat potensi buah-buahan lokal supaya kian berkelas. Kiranya esok salak yang viral tidak lagi salak yang busuk dibuang ke sungai, tetapi menjadi olahan kuliner salak Banjarnegara yang bisa mendunia.