DBD di Papua Melonjak Lagi, Kasus Kematian Kembali Dilaporkan
Sejak Januari-Maret 2024, sebanyak 125 kasus DBD dilaporkan terjadi di Papua. Dua orang dilaporkan meninggal.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Angka kasus demam berdarah dengue di Papua pada awal tahun 2024 kembali melonjak, dengan dua kasus kematian. Masyarakat kembali diminta peka pada gejala awalnya serta sigap melakukan pemeriksaan awal.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Papua Arinius Weya mengatakan, hingga akhir Maret 2024, ada laporan 125 kasus demam berdarah dengue (DBD). Angka ini mendekati jumlah kasus selama tahun 2023, yakni 140 kejadian.
”Angka (kasus) kembali meningkat tahun ini. Kasus tertinggi di Kota Jayapura dengan 85 kasus. Bahkan, ada dua meninggal. Padahal, sejak 2022-2023 tidak ada laporan meninggal. Ini perlu jadi kewaspadaan bersama,” ujar Arinius di Jayapura, Selasa (2/4/2024). Kasus DBD juga ditemukan di Biak (36) dan Keerom (4).
Kepala Dinkes Kota Jayapura Ni Nyoman Sri Antari mengungkapkan, dua korban meninggal adalah perempuan berusia empat tahun dan perempuan berusia 19 tahun. Dari investigasi, mereka meninggal karena keterlambatan pemeriksaan. Mereka baru datang ke fasilitas kesehatan setelah gejala sudah semakin berat.
”Dalam beberapa tahun terakhir di Kota Jayapura, ini menjadi kasus pertama ada pasien yang meninggal. Masyarakat harus kembali didorong segera melakukan pemeriksaan ketika ada gejala,” ujarnya.
Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes Papua Purnomo Sidhi menyampaikan, masyarakat juga bisa turut mengenali gejala awal DBD. Gejala paling khas dari gigitan nyamuk Aedes aegypti adalah demam tinggi dalam beberapa hari. Selain itu, gejala DBD juga biasanya akan diikuti kemunculan bintik merah pada kulit serta kepala terasa pusing.
Purnomo mengingatkan, ketika gejala demam tinggi berlangsung dalam 2-3 hari, perlu segera dilakukan pemeriksaan. ”Masyarakat biasanya baru waspada pada demam itu setelah seminggu. Ini yang dikhawatirkan ketika terjadi keterlambatan penanganan,” tuturnya.
Ke depan, Arinus mengungkapkan, pihaknya akan kembali menggencarkan sosialiasi penanganan dan pengendalian kasus DBD. Masyarakat diharapkan juga kembali menjaga kebersihan ingkungan untuk mencegah perkembangbiakan jentik nyamuk.
”Ini perlu menjadi perhatian masyarakat. Makanya, kami mewajibkan satu keluarga ada juru pemantau jentik untuk edukasi. Itu sekaligus mencegah perkembangbiakan jentik nyamuk di tandon air atau pot bunga yang mengandung genangan air,” ucapnya.
Suhu yang panas membuat nyamuk Aedes aegypti 2,5 kali lebih ganas.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga minggu ke-11 tahun 2024, total kasus DBD secara nasional mencapai 35.556 kasus dengan 290 kematian. Jumlah itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2023 pada periode yang sama, yakni 15.886 kasus dengan 118 kematian.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, dampak perubahan iklim telah membuat siklus hujan berubah. Jika biasanya siklus dengue mengikuti siklus musim hujan lima tahunan, saat ini tidak lagi. Sebab, hujan bisa terjadi sepanjang tahun.
”Apalagi, sekarang ini hujan yang terjadi juga tidak bisa ditebak. Pada satu hari bisa muncul hujan deras, 3-4 hari kemudian (cuacanya) panas. Ini yang justru menyebabkan terjadi genangan yang bisa menjadi sarang nyamuk. Itu akan membuat semakin banyak nyamuk yang berkembang biak,” tuturnya.
Imran mengatakan, tahun 2024 ini diperkirakan risiko penularan demam berdarah dengue akan semakin meningkat. Suhu global diperkirakan lebih panas dengan frekuensi hujan yang cenderung lebih sering.
Kondisi ini memunculkan banyak sarang nyamuk dari genangan air. Suhu yang panas juga membuat nyamuk Aedes aegypti 2,5 kali lebih ganas (Kompas.id, 21/3/2024).