Di Banggai, Warga Berdaya lewat ”Maggot” hingga Kacang Disko
Lewat kelompok, sejumlah warga mengolah dan mengembangkan potensi yang ada, dari ”maggot” hingga kacang disko.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Sejumlah kelompok masyarakat di Banggai berdaya lewat usaha bersama. Mereka memanfaatkan potensi lokal, menjaga lingkungan dan berusaha untuk mengatasi masalah bersama. Lewat pendampingan yang tepat, kelompok ini bisa melenting dan bermanfaat lebih jauh di masa nanti.
Membawa senampan maggot, Syamsul Hidayat (50) berjalan cepat menuju kandang ayam miliknya di Desa Sentral Timur, Toili, Banggai, Sulawesi Tengah. Larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF) itu dituang di tanah. Puluhan ayam menyambut riuh di sore yang tenang, Minggu (31/3/2024).
Dalam sehari, tutur Syamsul, ia membutuhkan 4 kilogram maggot, masing-masing 2 kilogram di pagi dan sore. Maggot itu diambil dari ”kandang” milik kelompok yang berada di pekarangannya.
”Yang jelas pengeluaran untuk pakan ternak sangat jauh berkurang. Dedak berapa, jagung harga berapa, sekarang diganti maggot yang kami tidak perlu beli,” tutur Syamsul.
Rekannya, Yantri Suryadi (34), menuturkan hal serupa. Ternak lele di kediamannya membutuhkan pakan. Adanya maggot membuatnya terbantu. Pengeluaran pakan jauh berkurang, dan hasil kolam menggembirakan
Sejak 2021 lalu, Syamsul dan Yantri terhimpun dalam kelompok BSF GenToili. Kelompok ini adalah wadah bagi warga untuk mengembangkan maggot. Mereka bersama-sama untuk mencari solusi permasalahan pakan ternak hingga persoalan lingkungan.
Mereka memang memanfaatkan sampah rumah tangga untuk pengembangan maggot. Sampah dari rumah, warung, pesantren, dikumpulkan dan diolah sendiri. Sampah itu menjadi tempat untuk maggot berkembang biak.
”Dulu sampah di lingkungan juga banyak. Orang buang sampah di kali, di pinggir jalan. Sekarang kami yang ambil,” kata Yantri.
Kelompok BSF GenToili diinisiasi oleh Agung Dwi Pratama (29). Tujuannya, agar budidaya maggot semakin berkembang dan menjadi penghasilan bersama. Kelompok saat ini berisi 13 anggota.
Menurut Agung, maggot dipilih karena ia dan anggota lainnya sama-sama beternak, baik ayam maupun lele. Ternak tersebut membutuhkan pakan yang tidak sedikit. Budidaya maggot bisa menjadi solusi mereka.
Berbekal ilmu seadanya, mereka memulai untuk budidaya maggot. Rumah produksi sederhana juga disiapkan. Mereka berkeliling ke rumah warga untuk memberi tahu akan mengambil sampah rumah tangga.
Sampah makanan yang dikumpulkan tersebut menjadi ”wadah” berkembang maggot. Produksi mampu menghasilkan hingga 20 kilogram maggot per minggu. Sebagian hasil tersebut dijual dan sebagian lainnya dibagi bersama anggota kelompok.
”Dalam perjalanannya lalu didampingi oleh Pertamina melalui Donggi Matindok Field, dapat bantuan kolam lele, rumah produksi, hingga mesin cacah. Ini membantu dalam produksi maggot,” kata Agung.
Tidak hanya maggot hidup, mereka lalu berinovasi membuat maggot dalam kemasan. Maggot disangrai dan dikemas dengan wadah yang menarik, dan diberi nama Maggo Booster. Produk ini mulai diminati masyarakat dengan ternak, baik burung hias, ikan koi, maupun lainnya.
Mereka berharap produksi bisa terus berkembang ke depannya. ”Karena dengan maggot, kami bisa mengolah sampah rumah tangga yang tentunya membersihkan lingkungan, dan memberikan manfaat untuk kami, dan masyarakat secara luas,” tutur Agung.
Jadinya kami kayak berdisko karena memegang mesin yang berputar ini.
Di Desa Nonong, Kecamatan Batui, sejumlah ibu-ibu juga berupaya berdaya. Mereka mendirikan Barokah Food, yang fokus memproduksi olahan kacang, yang tenar disebut kacang disko.
Sabtu (30/3/2024) siang, Andi Ernawati memasukkan kacang mentah ke adonan putih telur, tepung, gula, dan bahan lainnya. Seusai diaduk merata, kacang lalu digoreng di minyak panas. Tidak menunggu lama, kacang ditiriskan, lalu dimasukkan ke mesin pengering.
”Jadinya, kami kayak berdisko karena memegang mesin yang berputar ini,” kata ibu satu anak ini berkelakar.
Bersama ibu-ibu anggota kelompok lainnya, Ernawati bergabung dalam kelompok sejak 2021 lalu. Didampingi pihak Pertamina EP Donggi Matindok Field, mereka memutuskan membuat olahan kacang karena bahan baku yang tersedia, dan proses membuat yang telah lama dikenal.
Ketua kelompok Barokah Food, Andi Emma, menuturkan, dalam setiap bulan mereka mampu memproduksi hingga 30 kilogram kacang disko. Olahan kacang itu lalu dikemas menjadi 200 paket dengan berat 90 gram.
Hasil produksi ini lalu dijual ke tempat oleh-oleh di Banggai hingga di kawasan bandara. Pihak Pertamina juga rutin membeli hasil produksi mereka.
”Hasilnya kami bagi bersama sesuai pekerjaan. Setelah dikumpul dalam tiga bulan, kami bagi ke anggota. Lumayan ada pendapatan dibandingkan kami biasanya hanya di rumah saja,” tutur Emma.
Setelah pendampingan lebih dari setahun, ia melanjutkan, kelompok mulai bisa mandiri. Kemasan kini dibeli sendiri memakai hasil penjualan. Ke depannya, mereka akan membuat pengembangan keripik lainnya.
Field Manager Pertamina EP Donggi Matindok Field Ridwan Kiay Demak menuturkan, selain produksi gas, salah satu visi yang ingin dicapai adalah perhatian pada lingkungan dan sosial. Beberapa program dikembangkan, termasuk pendampingan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian pada hutan, lingkungan, dan kesejahteraan bersama.
”Ada tujuh kelompok yang didampingi sama teman-teman. Mulai dari madu hutan, maggot, dan berbagai UMKM,” ujarnya.
Ke depannya, Ridwan bilang, mereka juga sedang mengembangkan pupuk dari sisa pengolahan hidrogen sulfur (H2S) dalam proses pemurnian gas. Saat ini, sisa sulfur berkisar 1 ton hingga 4 ton dalam sehari. Pengolahannya dikirim ke pihak ketiga.
Saat semua selesai nantinya, sisa sulfur tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat untuk bertani dan berkebun.
”Ini yang sedang kami susun dan kembangkan. Semoga bisa tuntas baik untuk uji laboratorium, dan skema pengembangan bersama stake holder terkait,” ucapnya.