Sukacita Run The Ground Surabaya Menuju Run The City dan LPS Monas Half Marathon
Lari jadi ajang menjalin keakraban, meluapkan sukacita, menjaga kesehatan, dan momen ”ngabuburit” bersama di Surabaya.
Ajang lari Run The Ground memasuki kota terakhir, Surabaya, Sabtu (30/3/2024). Pergelaran lari ini tak sekadar berolahraga, tetapi juga ajang menjalin keakraban, meluapkan sukacita, juga sebagai momen ngabuburit dan malam minggu bersama komunitas pelari Kota Pahlawan.
Ratusan pelari antusias memacu larinya sesaat setelah Run The Ground dimulai. Ajang lari yang diwarnai dengan beragam permainan seru ini merupakan salah satu rangkaian menuju LPS Monas Half Marathon, kerja sama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan harian Kompas.
”Surabaya menjadi kota keempat atau kota terakhir di ajang Run The Ground. Sebelumnya, ajang lari ini berhasil digelar di Jakarta, Medan, dan Makassar,” ujar Novi Rianto dari tim even harian Kompas.
Novi mengatakan, Run The Ground Surabaya diikuti sekitar 100 peserta dari 10 komunitas lari. Mereka antara lain berasal dari Indorunners Surabaya, Isomlayu, Hoka Run Club, dan Suwer (Surabaya West Runners). Setiap komunitas rata-rata mengirimkan lebih dari satu tim dan setiap tim beranggotakan hingga lima pelari.
Baca juga: Run The Ground Meluas Semangat Reconnect For Change
Menurut Novi, Run The Ground merupakan ajang silaturahmi bagi para pelari. Mereka bisa berolahraga sambil menggelar permainan yang seru, sekaligus mengenal lebih jauh tentang Run The City di Surabaya, ajang lari yang akan digelar pada Juni 2024 sebelum berpuncak di LPS Half Marathon.
Mengambil titik awal di halaman Carrot Coffe, para pelari Run The Ground diajak berlari keliling pusat kota Surabaya. Panitia menyediakan titik pemberhentian atau check point, yakni Hotel Majapahit, Taman Prestasi, Taman Surya atau Balai Kota, dan Monumen Kapal Selam (Monkasel).
”Pelari wajib berhenti pada setiap titik. Namun, mereka bebas memilih rute yang ingin dilalui untuk menuju titik pemberhentian. Termasuk memilih melewati jalan raya, jalan permukiman, gang, atau bahkan jalan tikus,” kata Novi.
Dengan diberikannya kebebasan untuk memilih rute lari, jarak tempuh setiap tim menjadi tidak sama. Ada yang lebih pendek jaraknya atau bahkan lebih panjang, tergantung rute yang mereka pilih. Hal itu menjadi salah satu daya tarik bagi pelari karena mereka bisa merancang rute sendiri.
Ipung Pratama dari Indorunners Surabaya mengaku memilih rute Monkasel, Balai Kota, Hotel Majapahit, Taman Prestasi. Tim yang berhasil mencapai finis pertama ini menempuh jarak 4,69 kilometer dalam waktu 36 menit.
Baca juga: LPS Monas Half Marathon 2024 Jadi Momentum Pembuktian Jakarta
”Ini ajang untuk mengisi waktu ngabuburit. Selain itu, ada fasilitas games yang buat kita bisa seru-seruan bareng sehingga, meskipun puasa, tetap bisa kompak dan berkompetisi bersama,” ucap Ipung.
Dia berharap tahun depan ajang lari Run The Ground kembali digelar dengan jumlah peserta yang lebih besar agar lebih seru. Ipung yang mengaku telah memegang tiket LPS Monas Half Marathon ini berencana mengajak teman-teman sesama, pelari terutama bagi pemula, untuk mengikuti Run The City karena menurut dia bakal menarik.
Keseruan berlari di ajang Run The Ground di Surabaya juga dirasakan oleh tim Hoka Run Club yang berhasil finis di urutan kedua dengan jarak tempuh 4,9 km dalam waktu 40 menit. Tim ini memilih jalan kecil, bukan jalan raya.
Rafa dari tim Hoka Run Club mengatakan, selama berlari pihaknya selalu menjaga kekompakan, bahkan rela menunggu saat ada anggota tim yang ketinggalan. Dia juga mengaku bisa menikmati sejarah Surabaya sambil berlari karena suasananya lebih santai dan rute yang dilalui dipenuhi dengan beragam bangunan bersejarah.
Saat berhenti di Hotel Majapahit, misalnya, timnya tidak hanya mengambil jeda untuk istirahat tetapi juga berkesempatan belajar sejarah tentang Hotel Majapahit. Hotel legendaris tersebut merupakan bangunan kuno yang dulu bernama Hotel Yamato.
Hotel ini dikenal dengan peristiwa perobekan kain biru pada bendera Belanda yang terjadi pada 19 September 1945. Peristiwa itu didahului gagalnya perundingan antara Soedirman, Residen Surabaya, dengan Victor Willem Charles Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.
Yang menarik, ajang Run The Ground di Surabaya tidak hanya diikuti pelari muda. Ada juga pelari berusia lanjut yang tampak antusias, salah satunya Mariadi (64) dari komunitas Isomlayu Surabaya. Mantan pemain sepak bola tahun 1970-an ini mengaku berhijrah menjadi pelari mulai tahun 1980-an.
”Sebagai senior, saya tetap bersemangat untuk memberi contoh kepada pelari yang lebih muda agar mereka lebih bersemangat lagi dalam berolahraga, terutama lari. Selain untuk kesehatan, lari juga ajang mengukir prestasi jika benar-benar ditekuni,” ucap Mariadi.
Adapun di ajang Run The Ground ini, Mariadi memilih berlari untuk menjaga semangat guyub rukun. Selain itu, dia mendapat banyak teman dan menjadikannya keluarga baru yang memiliki tujuan bersama, yakni menjaga kesehatan dan kebugaran lewat berlari.