Penolakan Warga Poco Leok dan Target ”Net Zero Emissions”
Penolakan warga Poco Leok perlu disikapi bijaksana. Target ”net zero emissions” jangan sampai mengorbankan rakyat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Perluasan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memasuki wilayah Poco Leok. Upaya pemanfaatan potensi energi baru terbarukan itu kini berhadapan dengan penolakan warga yang khawatir ruang hidup mereka akan rusak.
Masyudi Onggal (30), warga Desa Lungar, lewat sambungan telepon pada Minggu (17/3/2024) lalu, menyampaikan kekhawatirannya akan kehadiran pembangkit baru di daerah mereka. Lungar merupakan satu dari tiga desa yang masuk wilayah Poco Leok. Dua desa lain adalah Mocok dan Golo Muntas. Tiga desa itu memiliki total 14 komunitas adat.
Dalam bahasa lokal, poco berarti ”hutan” atau ”bukit”, sedangkan leok berarti ”mengelilingi”. Secara harafiah, Poco Leok dapat diartikan sebagai ”perkampungan yang dikelilingi oleh wilayah perbukitan yang ditumbuhi hutan lebat”. Topografi perkampungan ini seperti kuali.
Menurut Masyudi, kehadiran geotermal di banyak tempat telah terbukti memberikan dampak ikutan bagi masyarakat. Buangan gas ke alam menyebabkan seng rumah berkarat, tanaman umur panjang gagal panen, krisis air, hingga kesehatan masyarakat, seperti infeksi saluran pernapasan akut.
Tidak jauh-jauh. Ia memberi contoh di Mataloko, Kabupaten Ngada, sekitar 170 kilometer arah timur Poco Leok. Proyek panas bumi di Mataloko gagal dan memberi dampak buruk. Terjadi kebocoran. Luapan lumpur merusak lahan warga. ”Kami tidak mau seperti itu terjadi di tempat kami,” katanya.
Belum lagi topografi Poco Leok yang terjal. Kondisi itu melipatgandakan risiko longsor jika sampai dilakukan pengeboran panas bumi di sana. Belum diketahui dengan pasti lokasi pengeboran. PT Perusahaan Listrik Negara yang akan mengerjakan proyek itu masih melakukan eksplorasi.
Masyudi menuding sosialiasi proyek panas bumi tidak transparan. Lebih dari itu, ada upaya memecah-belah masyarakat. Bahkan, diduga ada intimidasi terhadap kelompok yang menolak proyek panas bumi. ”Sekarang masyarakat terbelah, ada yang pro dan ada yang kontra. Tatanan sosial rusak,” ucapnya.
Di sisi lain, mengutip siaran pers dari laman resmi PLN yang tayang pada 10 Oktober 2023 lalu, disebutkan warga Poco Leok menyambut hangat kehadiran PT PLN (Persero) di rumah adat mereka, Gendang Lale. Kehangatan dalam acara itu sebagai wujud dukungan warga terhadap rencana pengembangan PLTP Ulumbu unit 5-6 di Poco Leok.
General Manager PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara Abdul Nahwan, dalam siaran pers itu, mengatakan, pengembangan PLTP Ulumbu merupakan bagian dari upaya transisi energi yang dilakukan pemerintah melalui penyediaan listrik bersih yang memanfaatkan sumber energi baru terbarukan. Langkah itu sekaligus untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai net zero emissions tahun 2060.
”Langkah perluasan kapasitas PLTP Ulumbu 2x20 MW ini sangat strategis dan penting. Pemanfaatan energi bersih dan murah dari geotermal di Poco Leok dapat mengurangi beban subsidi pemerintah dan listrik bersihnya dapat dinikmati masyarakat setempat,” kata Nahwan.
Manager PLN Unit Pembangkitan Flores Andi Martha Siswayuhdi, yang dihubungi secara terpisah pada Rabu (27/3/2024), mengatakan, proyek PLTP Ulumbu dikerjakan PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara. Pihaknya terlibat memberikan dukungan di lapangan. Saat ini sedang pada tahapan survei titik bor.
Ia mengakui ada sebagian masyarakat menolak. ”Kalaupun ada penolakan dari beberapa warga, itu memang ada, cuma prosesnya sudah panjang untuk rencana menjembataninya banyak yang sudah dilakukan PLN UIP (unit induk pembangunan). Kita di lapangan juga ikut bantu, seperti program TJSL (tanggung jawab sosial dan lingkungan),” kata Andi.
Gres Gracelia, staf divisi advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT, mengatakan, dirinya ikut mendampingi masyarakat Poco Leok yang menolak proyek perluasan PLTPU Ulumbu. Diakuinya, banyak pula warga yang mendukung proyek tersebut. Ia beberapa kali datang ke sana.
Menurut dia, pengembangan energi listrik yang diklaim ramah lingkungan jangan sampai malah merusak lingkungan. ”Geotermal merupakan salah satu proyek ekstraksi yang sangat rakus air sehingga hal ini juga menjadikan wilayah sekitar pembangkit mengalami penurunan debit air,” kata Gres.
Pengembangan energi terbarukan, lanjut Grace, bukan hanya bersumber dari panas bumi semata. Sebagaimana data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTT, banyak potensi tenaga surya, arus laut, dan angin di daerah itu yang merupakan terbaik di Indonesia. Potensi tersebut yang seharusnya didorong.
Pengembangan energi listrik yang diklaim ramah lingkungan jangan sampai malah merusak lingkungan.
Penolakan warga Poco Leok atas rencana pembangunan listrik panas bumi perlu disikapi secara bijaksana dengan memperhatikan prinsip keadilan energi di antaranya perlindungan hak asasi manusia dan keadilan ekologis. Upaya mewujudkan net zero emissions diharapkan tidak berujung pada penderitaan masyarakat.