Mahasiswa Tuntut Pasukan Nonorganik Ditarik dari Tanah Papua
Buntut penyiksaan yang diduga dilakukan aparat terhadap warga di Papua, belasan mahasiswa Papua di Kalteng unjuk rasa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Belasan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Koordinasi Mahasiswa Papua se-Kalimantan beraksi mengutuk tindakan kekerasan terhadap masyarakat Papua. Mereka menuntut agar pasukan tentara atau aparat yang nonorganik segera ditarik dari wilayah Papua.
Aksi itu berlangsung pada Sabtu (30/3/2024) di Asrama Papua, dalam lingkungan Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selain berorasi mereka juga berdiskusi tentang kekerasan di Papua yang tak kunjung usai.
Ketua Badan Koordinasi Mahasiswa Papua (BKMP) Wilayah Kalimantan Tengah Fernando Mirip (23) menyayangkan penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap Warinus Murib (18), Definus Kogoya (19), dan Alius Murib (19). Ketiganya merupakan pelajar dari Mangume, Distrik Amukia, Kabupaten Puncak Ilaga.
Penyiksaan yang terekam dalam video, lalu tersebar, lanjut Fernando merupakan salah paham. Ketiganya hanya sedang mencari ilalang untuk membuat honai, rumah adat khas Papua.
”Mereka ditangkap dan disiksa tanpa ditanya status dan tanpa bukti. Mereka dituduh simpatisan lalu dilakukan pemukulan, penyiksaan yang sangat brutal dan sangat sadis,” kata Fernando.
Fernando menambahkan, selama bertahun-tahun penangkapan dan penyiksaan, pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, kriminalisasi, hingga mutilasi terjadi di Papua. Hal itu dipicu oleh banyak faktor, tetapi yang utama adalah soal kebebasan berpendapat orang Papua yang direnggut habis-habisan.
”Sejak 1969 ada komunikasi yang tidak berjalan. Intinya sejak kami menilai penggabungan Papua Barat ke Indonesia yang menurut kami cacat hukum internasional dan tidak sah, kasus demi kasus terjadi,” tutur mahasiswa semester akhir Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Palangkaraya tersebut.
Selama bertahun-tahun penangkapan dan penyiksaan, pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, kriminalisasi, hingga mutilasi terjadi di Papua.
Dengan pendekatan militer, lanjut Fernando, aparat kerap melakukan penangkapan tanpa bukti. Pembunuhan yang misterius pun sering ditemukan masyarakat Papua. Pihaknya mencatat pelanggaran HAM itu terjadi sejak 1963 ketika operasi militer dilakukan sampai saat ini, operasi serupa digelar dan menyengsarakan masyarakat Papua. ”Sejak pasukan nonorganik tiba di Papua kerusuhuan makin menjadi-jadi,” ujarnya.
Di satu sisi operasi militer berlangsung, ujar Fernando, di sisi yang lain sumber daya alam Papua dikeruk. Sayangnya, eksploitasi itu dilakukan masif dan tidak berkelanjutan sehingga masyarakat Papua hampir tak mendapatkan manfaatnya.
Koordinator lapangan aksi, Aprianus (21), dalam orasinya menuntut beberapa hal. Pertama, BKMP se-Kalimantan menuntut Presiden RI untuk menarik pasukan TNI dan Polri nonorganik (bukan dari wilayah Papua) dari seluruh wilayah Papua.
Kami juga meminta anggota-anggota yang terlibat dalam penyiksaan itu untuk dipecat dari keanggotaannya.
Kedua, pihaknya meminta Presiden RI untuk segera membuka akses jurnalis internasional dan PBB untuk ke Papua agar mampu memantau situasi pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua.
Tuntutan ketiga, mereka meminta Panglima TNI segera mencopot Pangdam Cenderawasih dari jabatan buntut dari penyiksaan yang dilakukan anggotanya ke masyarakat sipil Papua. Yang terakhir, lanjut Aprianus, ia meminta Panglima TNI untuk membawa pelaku penyiksaan masyarakat sipil Papua tersebut di atas ke meja pengadilan, diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
”Kami juga meminta anggota-anggota yang terlibat dalam penyiksaan itu untuk dipecat dari keanggotaannya,” kata mahasiswa jurusan PGSD semester III di Universitas Palangkaraya tersebut.