Penanganan Terlambat, 12 Pasien DBD di Klaten Meninggal
Sebanyak 12 pasien DBD meninggal di Klaten, Jateng, sejak Januari. Keterlambatan penanganan menjadi pemicu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
KLATEN, KOMPAS — Sejak Januari 2024 sampai Maret ini, sebanyak 12 pasien demam berdarah dengue di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, meninggal. Tingginya angka kematian itu disebabkan keterlambatan membawa pasien ke rumah sakit. Upaya pencegahan mesti diintensifkan demi mengurangi risiko fatal dari paparan penyakit tersebut.
”Sampai minggu ke-12 atau Maret ini, sudah ada 166 kasus (demam berdarah dengue/DBD). Dari jumlah itu, ada 12 kasus kematian akibat penyakit itu,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten Anggit Budiarto saat dihubungi, Rabu (27/3/2024).
Menurut Anggit, angka kematian pasien akibat DBD itu tergolong tinggi. Apalagi, kematian itu terjadi hanya dalam kurun waktu 12 pekan. Dia menyebut, keterlambatan pasien untuk dibawa ke rumah sakit menjadi pemicu keparahan paparan penyakit DBD
Oleh karena itu, Anggit terus mengingatkan kepada segenap warga terkait pentingnya mengamati siklus demam dari seorang pasien DBD. Sebaiknya pasien dibawa ke rumah sakit sedini mungkin jika mengalami gejala-gejala terkait penyakit tersebut. Jangan sampai ada lagi keterlambatan penanganan gegara keluarga menunda pemeriksaan.
”Kami mengimbau agar pasien jika panas (demam) pada hari ketiga sebaiknya segera dibawa ke layanan kesehatan,” ujar Anggit.
Kematian kasus DBD yang disebabkan oleh keterlambatan penanganan juga ditemukan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Total jumlah kasus yang meninggal akibat penyakit itu mencapai enam kasus dari total 233 kasus yang tercatat hingga pekan ketiga Maret ini.
Dari enam pasien yang meninggal, lima orang di antaranya anak-anak dengan rentang umur enam tahun sampai 14 tahun. Hanya satu pasien meninggal yang digolongkan sebagai pasien dewasa, yakni berumur 68 tahun.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali Puji Astuti mengungkapkan, terdapat kebiasaan dari keluarga pasien untuk ”belanja dokter”. Istilah itu merujuk pada sikap keluarga pasien yang mendatangi lebih dari satu dokter untuk penyakit yang diderita si pasien.
”Misalnya, pasien datang ke dua dokter. Pada keduanya, pasien bilang baru panas hari pertama. Padahal, bisa saja itu sudah panas hari ketiga atau kelima yang memasuki masa kritis. Seharusnya dicek laboratorium, karena dokternya mungkin masih menunggu, jadi pasien tidak terselamatkan,” kata Puji.
Kami mengimbau agar pasien jika panas (demam) pada hari ketiga sebaiknya segera dibawa ke layanan kesehatan.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, menyebut, tren kenaikan kasus DBD terjadi secara global. Ia menyebut, kondisi itu dipengaruhi musim kemarau panjang akibat El Nino beberapa waktu lalu.
Meski sekarang sudah memasuki musim hujan, adanya fenomena alam itu menimbulkan suhu hangat yang mendukung pengembangbiakan nyamuk demam berdarah.
”Dalam suhu hangat, telur nyamuk akan lebih cepat menetas. Nyamuk juga lebih cepat berkembang biak. Karena butuh lebih banyak protein, perilaku menggigitnya juga akan lebih tinggi,” kata Riris.
Dengan kondisi tersebut, Riris mengatakan, salah satu strategi yang bisa dilakukan ialah menggencarkan pemberantasan sarang nyamuk. Upaya itu seharusnya juga tidak dilakukan oleh satu atau dua keluarga saja dalam satu lingkungan, tetapi dilakukan secara serempak.
Riris menambahkan, tren peningkatan kasus DBD juga harus diimbangi dengan kesiapan layanan kesehatan. Hal itu untuk memastikan agar semua pasien dengan gejala DBD bisa ditangani sebaik-baiknya.