Sidang Kasus Polisi Penembak Warga Bangkal Dinilai Janggal
Sidang kasus polisi penembak warga Desa Bangkal, Kalteng, dimulai. Warga dan keluarga korban datang mengawal sidang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sidang perdana kasus polisi penembak Gijik (35), warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, dimulai dengan agenda sidang pembacaan dakwaan. Banyak pihak menilai kejanggalan dalam sidang tersebut.
Pada Selasa (26/3/2024) pagi puluhan orang yang tergabung dalam gerakan Solidaritas untuk Bangkal dan keluarga korban penembakan di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, berkumpul di depan Pengadilan Negeri Palangkaraya. Mereka mengawasi jalannya sidang perdana polisi penembak Gijik dan Taufiknurahman, warga Desa Bangkal yang terkena peluru tajam.
Gijik yang merupakan warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, tewas ditembak saat aksi menuntut kebun plasma salah satu perusahaan perkebunan sawit di desanya. Aksi yang diikutinya selama 23 hari berturut-turut itu berujung bentrok dengan aparat yang berjaga di gerbang wilayah perusahaan.
Peluru tajam menembus dada hingga Gijik tewas. Peluru juga sempat menembus pinggang Taufiknurahman (21), rekannya. Pria itu sampai mengalami cacat seumur hidup.
Sidang perdana itu dipimpin Hakim Ketua Muhammad Affan dan dua anggota hakim, yakni Yudi Eka Putra dan Sri Hasnawati. Dalam sidang, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Inspektur Satu Anang Tri Wahyu Widodo dengan dakwaan primer Pasal 351 Ayat 2 KUHP subsider 359 dan 360 KUHP tentang penganiayaan dan kelalaian yang menyebabkan orang meninggal.
Dengan penerapan pasal itu, JPU membacakan ancaman hukuman paling lama lima tahun penjara. Hal itu kemudian ditanggapi oleh keluarga korban yang kecewa pada pasal yang diterapkan.
Ini bukan kelalaian, ini jelas terencana.
Sandi Jaya Prima, kuasa hukum keluarga korban yang ikut dalam aksi, menjelaskan, banyak kejanggalan yang terjadi dalam persidangan. Penerapan pasal penganiayaan dan kelalaian itu dianggap keluar dari tuntutan dan desakan masyarakat juga keluarga korban.
Sebelumnya, keluarga dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas untuk Bangkal itu mendesak kejaksaan menggunakan Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto 338 KUHP terkait menghilangkan nyawa orang lain dengan pembunuhan. Ancamannya maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
”Penerapan pasal ini sangat mengecewakan. Kejaksaan tidak mengindahkan tuntutan, padahal jelas ini merupakan kejadian yang direncanakan. Dalam video yang beredar dan menjadi fakta lapangan bahwa ada instruksi ’bidik kepalanya’ yang diserukan aparat saat kejadian. Ini tandanya bukan sekadar lalai,” kata Sandi.
Sandi menambahkan, perintah ”bidik kepalanya” yang mencuat dalam video kerusuhan sebelum Gijik tewas tertembak peluru tajam merupakan tanda bahwa penembakan merupakan sesuatu yang direncanakan. Menurut Sandi, penembakan Gijik hingga tewas itu merupakan perintah atasan dari bawahan.
”Ini bukan kelalaian, ini jelas terencana. Penerapan pasal ini tidak lagi adil khususnya bagi keluarga korban,” kata Sandi.
Kejanggalan lainnya, tambah Sandi, masyarakat dan tim yang menonton di dalam dan di luar sidang dilarang untuk siaran langsung di media sosial. Padahal, sebelumnya pihak kejaksaan menyatakan sidang dibuka untuk umum.
Sebelumnya, Koordinator Bidang Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalteng Harwanto mengatakan, pihaknya menerima masukan dari peserta aksi. Menurut dia, pasal yang disangkakan kepada tersangka adalah Pasal 351 Ayat 3, yakni penganiayaan hingga menyebabkan kematian dengan tuntutan minimal 7 tahun penjara.
Lalu, Pasal 359 tentang kelalaian hingga menyebabkan kematian dengan tuntutan penjara lima tahun, lalu Pasal 360 tentang kesalahan sehingga menyebabkan penyakit ataupun luka-luka.
”Kalau dibilang tidak ada unsur sengaja, tidak juga. Dalam pasal penganiayaan hingga sebabkan kematian, ada unsur sengajanya,” kata Harwanto.