Beda Nasib Bekas Perwira Polisi yang Terjerat Kasus Narkoba
Bagaimana nasib bekas perwira polisi yang terlibat dalam peredaran narkoba?
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Pemerintah Indonesia menabuh genderang perang melawan narkoba. Namun, sejumlah perwira polisi justru terlibat dalam peredaran narkoba. Ada yang dihukum mati, tapi ada pula yang lolos.
Salah satu yang divonis mati adalah bekas Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Andri Gustami. Vonis mati terhadap Andri dibacakan dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada Kamis (29/2/2024). Andri terbukti melanggar Pasal 114 Ayat (2) juncto Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Andri diganjar hukuman mati karena terbukti terlibat dalam jaringan internasional Fredy Pratama. Ia menjadi suruhan Fredy dan membantu meloloskan ratusan kilogram sabu dari Sumatera ke Jawa. Dalam kurun waktu 1,5 bulan saja, jumlah sabu yang diloloskan mencapai 150 kilogram.
Pengiriman tersebut dilakukan selama kurun waktu Mei-Juni 2023. Selama Mei, ada enam kali pengiriman sabu melalui Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, yang diloloskan Andri.
Pengiriman dilakukan pada 4 Mei 2023 sebanyak 12 kg sabu, 8 Mei 2023 (20 kg sabu), 11 Mei 2023 (16 kg sabu), 18 Mei 2023 (20 kg sabu), 20 Mei 2023 (20 kg sabu), dan 25 Mei 2023 (25 kg sabu dan 2.000 butir pil ekstasi). Sementara pada Juni 2023 ada dua kali pengiriman narkoba, yakni pada 19 Juni 2023 sebanyak 19 kg sabu dan 20 Juni 2023 sebanyak 18 kg sabu.
Dalam sindikat itu, Andri menjadi ”kurir istimewa” dan mendapat imbalan Rp 1,2 miliar. Uang dari bisnis narkoba dipakai, antara lain, untuk membeli kendaraan, tabungan di rekening pribadi, hingga untuk memenuhi biaya operasional selama ia menjabat sebagai Kasat Narkoba Polres Lampung Selatan.
Hakim menyebut, tidak ada hal yang dapat meringankan Andri. Adapun hal-hal yang memberatkan, Andri dianggap mengkhianati institusi Polri dan memberikan kerugian, terutama pada generasi muda. Tindakan itu sangat bertentangan dengan semangat pemerintah dalam pemberantasan narkoba.
Nota pembelaan
Andri Gustami lulus dari Akademi Kepolisian tahun 2012. Sebelum divonis mati, karier pria berusia berusia 35 tahun terbilang mulus. Andri pernah menjabat sebagai kepala unit di Direktorat Reserse Kriminal Umum. Terakhir, ia menjabat sebagai Kasat Narkoba Polres Lampung Selatan.
Ia beberapa kali menggagalkan peredaran narkoba di Lampung Selatan. Kasus narkoba yang diungkap, antara lain, peredaran 18 kg sabu pada Maret 2023 dan peredaran 30 kilogram sabu pada April 2023.
Akan tetapi, nota pembelaan yang dibacakan Andri dua pekan sebelum ia divonis mati tidak mampu mengubah putusan majelis hakim. Di persidangan, Andri berdalih menjalin komunikasi dengan kaki tangan Fredy Pratama untuk mengungkap otak pelaku sindikat narkoba itu. Ia berkilah masuk dalam sindikat demi mengambil kepercayaan Fredy Pratama, bos narkoba yang hingga saat ini masih buron.
Andri mengakui kesalahan dengan menerima uang dan pemufakatan untuk meloloskan pengiriman sabu. Namun, ia menyebut, uang hasil narkoba itu digunakan pula untuk kebutuhan tim, misalnya untuk memperbaiki mobil anggota yang rusak saat melakukan penangkapan kasus narkoba.
Baca juga: Satu Per Satu, Jaringan Fredy Pratama di Lampung Divonis Mati
Beda nasib
Berbeda dengan Andri, bekas Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa lolos dari hukuman mati. Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup pada Teddy dalam kasus peredaran 5 kilogram sabu. Vonis itu lebih ringan dibandingkan tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa.
Dalam kasus itu, Teddy terlibat bersama dengan terdakwa bekas Kepala Biro Logistik Polda Sumatera Barat dan Kepala Polres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara dan terdakwa Linda Pujiastuti dalam penjualan barang bukti narkotika seberat 5 kilogram untuk mendapatkan uang.
Teddy bekerja sama dengan Dody menukar barang bukti sabu dengan tawas, kemudian disimpan untuk selanjutnya dijual ke Linda di Jakarta. Dody menyerahkan uang hasil penjualan narkoba ke Teddy.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut terdapat tujuh hal yang memberatkan hukumannya, yakni Teddy tidak mengakui perbuatannya, menyangkal dengan cara memberikan keterangan berbelit-belit, dan telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan narkotika jenis sabu.
Selain itu, status Teddy sebagai anggota kepolisian, salah satu penegak hukum yang menjadi garda terdepan pemberantasan peredaran gelap narkotika, juga tidak membuatnya menghindarkan diri dan anak buahnya dari peredaran gelap narkotika. Perbuatan terdakwa telah merusak nama baik institusi kepolisian.
Dalam kasus yang sama, Dody pun mendapat vonis lebih ringan. Dia dijatuhi hukuman 17 tahun penjara dan denda sebesar Rp 2 miliar subsider 6 bulan kurungan dalam kasus peredaran narkoba bersama Teddy. Sementara jaksa menuntut agar Dody mendapat hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
Kasus narkoba yang menjerat Teddy dan Dody juga mengungkap peran Ajun Inspektur Satu Janto sebagai kurir pengedar sabu di Kampung Muara Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di persidangan, Janto juga mengungkap keterlibatan anggota kepolisian lainnya dalam rantai peredaran narkoba.
Puncak gunung es
Keterlibatan kalangan penegak hukum dalam kasus narkoba ibarat puncak gunung es. Dalam catatan Kompas, selama 2019-2022, cukup banyak kalangan petinggi institusi penegak hukum yang terlibat kasus narkoba.
Sebelumnya, ada bekas Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kalianda Muchlis Adjie, bekas Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Kalimantan Barat Ajun Komisaris Besar Hartono, dan bekas hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung Yudi Rozadinata yang terlibat peredaran ataupun memiliki narkoba. Selain itu, ada pula tiga anggota TNI yang ditangkap karena terlibat peredaran ganja.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, total nilai perputaran uang terkait transaksi narkotika di Indonesia sepanjang 2016-2021 bisa mencapai Rp 400 triliun. Selama 2021, contohnya, Badan Narkotika Nasional mengungkap sejumlah kasus pencucian uang dari bisnis narkoba dengan total nilai mencapai Rp 108,9 miliar. Pada 2021 PPATK juga melaporkan bahwa tindak pidana pencucian uang dari tiga jaringan narkoba internasional saja mencapai Rp 214,4 triliun.
Terkait hal itu, dosen Pengajar Hukum dan Kriminologi dari Universitas Lampung mengatakan, penyalahgunaan narkoba termasuk dalam kejahatan luar biasa. Karena itu, para pelaku peredaran narkoba sudah semestinya diganjar hukuman seberat-beratnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, total nilai perputaran uang terkait transaksi narkotika di Indonesia sepanjang 2016-2021 bisa mencapai Rp 400 triliun.
Heni mendukung hukuman mati untuk para pengedar narkoba. Hukuman itu diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku. Apalagi, pelakunya adalah aparat penegak hukum yang semestinya menangkap pengedar narkoba.
Menurut dia, ada beberapa penyebab yang membuat aparat penegak hukum kerap jatuh di kasus narkoba. Salah satunya, lemahnya pengawasan internal yang dilakukan oleh pengawas internal kepolisian, yaitu dari Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan Inspektur Pengawas Umum Polri. Untuk itu, pemilihan jabatan di dua posisi ini harus dilakukan dengan cermat dan meminimalkan politik personal dalam pengisiannya.
Selain itu, upaya menghentikan peredaran narkoba juga harus melibatkan sejumlah pihak, tidak hanya aparat kepolisian. Saat ini, hampir semua narkoba jenis sabu yang menyusup ke Lampung dalam jumlah besar berasal dari luar negeri. Narkoba itu dibawa melalui jalan lintas atau jalan tol di Sumatera. Pemerintah harus lebih masif memanfaatkan teknologi untuk bisa mengendus jaringan pengedar narkoba.
Baca juga: Menguak Sindikat Fredy Pratama di Lampung