Robohnya Hunian Kami di Pulau Bawean
Warga Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, butuh mitigasi untuk mengantisipasi gempa.
Musadat (71) jongkok dengan tatapan kosong menghadap anak dan menantu yang sedang merobohkan dan membereskan plafon teras rumah di Dusun Suwari Timur, Desa Suwari, Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu (24/3/2024). Hampir separuh rumahnya roboh akibat rentetan gempa tektonik di Laut Jawa pada Jumat lalu.
Bagian dalam hunian itu juga porak-poranda. Musadat sementara mengungsi ke rumah anak-anaknya yang rusak ringan. ”Seumur hidup saya dan cerita dari leluhur, baru ini ada gempa yang sampai membuat rumah roboh,” kata Musadat.
Senada diutarakan oleh Mat Tosen (71), warga Desa Kota Kusuma, Sangkapura, yang mengungsi ke tenda di lapangan antara perkuburan di seberang Kepolisian Sektor Sangkapura. Saat gempa terjadi yang merobohkan kediaman, Mat Tosen kebetulan sedang berada di luar rumah bersama istri, Zaenab (61).
”Sebelum gempa ketiga, sudah ada dan terasa dua gempa besar. Saya belum berani masuk rumah, eh datang gempa besar ketiga yang membuat rumah roboh,” ujar Mat Tosen.
Baca juga: Korban Gempa Bawean Bertahan di Pengungsian
Dari data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jumat, ada tiga guncangan besar atau dengan kekuatan melebihi magnitudo 5. Ketiga guncangan bersumber dari kedalaman 10-12 kilometer Laut Jawa, antara 30 dan 40 kilometer di barat Pulau Bawean.
Guncangan besar pertama pukul 11.22 dengan magnitudo 5,9. Setelah itu ada lima gempa susulan dengan kekuatan magnitudo di bawah 5. Gempa besar berikutnya pukul 12.31 dengan magnitudo 5,3. Selanjutnya, ada 13 guncangan susulan. Nah, gempa besar ketiga yang berdaya rusak tinggi datang pukul 15.52 dengan magnitudo 6,5.
Sampai dengan Minggu malam, BMKG mencatat sudah terjadi lebih dari 290 kali gempa susulan sejak Jumat siang. Namun, sejak gempa besar ketiga, Jumat petang, magnitudo guncangan menurun meski kalangan warga Pulau Bawean yang berpopulasi 105.000 jiwa tetap merasakannya dan menjadi trauma.
Nurlena (45), warga Desa Telukjatidawang, Kecamatan Tambak, mengatakan, saat gempa besar ketiga, dirinya sedang menggoreng lauk di dapur. Guncangan besar membuat dirinya hampir jatuh, tetapi tertahan dinding. Wajan berisi minyak panas dan lauk yang belum matang terguling dan tumpah. Nurlena segera berlari ke luar rumah. ”Ada keponakan di dalam kamar langsung saya sambar dan bawa lari ke luar,” ujar Nurlena.
Sebagian rumah terutama bagian dapur ambruk. Nurlena mengungsi ke lapangan dekat rumah bersama keluarga. Sesekali ia kembali ke hunian untuk membersihkan dan merapikan material dan mengambil kelengkapan keluarga.
Gempa berpusat di zona sesar tua pola Meratus yang menandakan jalur sesar Laut Jawa ternyata masih aktif.
Zainal Arifin (45), warga Desa Kelompanggubuk, Tambak, juga terpaksa mengungsi karena rumah ambruk. Ia masih shock karena rumah jerih payah merantau roboh tak tahan serangan bertubi gempa dari kedalaman Laut Jawa.
”Saya tidak punya pengalaman menghadapi gempa dan membangun rumah yang tahan gempa di masa depan,” kata Arifin.
Ia berharap pendampingan dari aparatur kepada warga agar dalam masa rehabilitasi dapat membangun hunian kembali yang menjamin keamanan dan keselamatan warga meski ada gempa lagi.
Baca juga: Gempa Tektonik Bikin Warga Pulau Bawean Trauma
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, gempa di Laut Jawa itu dangkal dipicu sesar aktif kembali dengan mekanisme geser. Gempa merusak dengan spektrum meluas sehingga dirasakan sampai pesisir barat Pulau Jawa dan pesisir selatan Pulau Kalimantan. Guncangan berpusat di zona aktivitas kegempaan rendah sehingga gempa tektonik dangkal di Laut Jawa itu tak lazim.
”Gempa berpusat di zona sesar tua pola Meratus yang menandakan jalur sesar Laut Jawa ternyata masih aktif,” kata Daryono.
Hal ini perlu menjadi peringatan bagi warga Pulau Bawean terhadap sesar aktif yang dekat. Kehidupan warga akan diwarnai guncangan dengan magnitudo yang masih mustahil diprediksi secara akurat.
Darurat
Berdasarkan pendataan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gresik, rentetan gempa memaksa 33.745 jiwa warga Tambak dan Sangkapura mengungsi. Mereka terdiri dari 4.975 jiwa lanjut usia, 9.539 jiwa anak, dan 19.231 jiwa dewasa. Jumlah pengungsi mencakup 32,1 persen dari populasi Pulau Bawean.
Pengungsi yang kehilangan rumah akibat kerusakan berat memerlukan bantuan bahan pangan, makanan minuman siap konsumsi, obat-obatan, selimut, pakaian, tenda, dan atau tempat tidur lipat.
Gempa melukai tujuh orang. Mereka luka ringan. Korban luka ada 3 jiwa dari Sangkapura dan 4 jiwa dari Tambak. Yang disyukuri, gempa tak sampai meminta korban jiwa meninggal. Korban luka sempat ditangani di RSUD Umar Mas'ud dan sebagian dirujuk ke Gresik di Pulau Jawa.
Gempa mengakibatkan kerusakan 5.333 bangunan yang 5.078 bangunan di antaranya ialah rumah warga di nusa seluas 197 kilometer persegi itu. Sebanyak 820 rumah rusak berat, 1.286 rumah rusak sedang, dan 2.972 rumah rusak ringan. Gempa juga merusak 164 masjid dan mushala, 76 sekolah dan pondok pesantren, dan 17 kantor, pasar, dan RSUD.
Menurut Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani, masa tanggap darurat bencana gempa di Pulau Bawean berlaku seminggu sejak Jumat. Dalam masa tanggap darurat, warga yang harus hidup di pengungsian akan mendapat paket bantuan dan dijaga kesehatannya.
”Kami menyiapkan tim psikologi untuk membantu pemulihan trauma bagi masyarakat,” kata Fandi.
Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mengirim atau mendatangkan bantuan untuk warga terdampak gempa di Pulau Bawean. Bantuan masih diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup warga dengan baik.
Dalam kunjungan ke Pulau Bawean, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Suharyanto mengatakan, pemerintah membantu pendanaan renovasi rumah. Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, pendanaan rumah rusak berat Rp 60 juta, rusak sedang Rp 30 juta, dan rusak ringan Rp 15 juta, yang akan diberikan setelah masa tanggap darurat.
Secara terpisah, Amien Widodo, peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), mengingatkan, amat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mitigasi bencana, termasuk gempa. Di Pulau Bawean, pengalaman dan narasi tutur tentang gempa lemah sehingga keselamatan masyarakat lebih disebabkan nasib baik atau keberuntungan.
”Bagaimana ke depan menjadikan masyarakat sadar dan tangguh bencana sehingga terjamin keselamatan dan keamanan hidupnya meski berdampingan dengan ancaman bencana,” kata Amien.
Rentetan gempa dan aktifnya sesar dekat Pulau Bawean harus menjadi peringatan dan pelajaran agar masyarakat waspada dan sadar untuk mempelajari dan memahami mitigasi.
Baca juga: Sesar Belum Terpetakan, BMKG Sebut Gempa Bawean Kejadian Luar Biasa