Nestapa dari Tepi Sungai Wulan
Dalam waktu 1,5 bulan, warga tepi Sungai Wulan terkena banjir bandang dua kali. Hanya nestapa dan pasrah yang tersisa.
Nestapa dirasakan warga yang tinggal di tepi Sungai Wulan, di perbatasan antara Kabupaten Demak dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Hanya berjarak 1,5 bulan, tanggul yang membendung sungai itu jebol dua kali sehingga dua kali pula tempat tinggal mereka diterjang banjir bandang. Batin hanya bisa pasrah sembari mengharap tak lagi dihantui ancaman banjir.
Maskun (54), warga Desa Karanganyar, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, mengendarai sepeda motornya memasuki area Gedung Jam’iyyatul Hujjaj Kudus (JHK) di Kabupaten Kudus, Selasa (19/3/2024). Pelan-pelan saja ia melaju. Sambil tangan kanan memutar gas, tangan kirinya menahan sejumlah pakaian basah yang ditumpuk pada jok belakang.
Segera ia mendekati keran untuk menyirami baju basah yang sebagian sudah terkena lumpur. Maklum, baju-baju itu diambilnya dari halaman rumahnya yang masih digenangi air. Ia mengambilnya dengan mengendarai perahu yang terbuat dari ban bekas. Hingga Selasa itu, katanya, banjir setinggi 2 meter masih merendam rumahnya.
Baca juga: Tanggul Sungai Dikuatkan agar Banjir Demak Tak Berulang
”Waktu mengungsi tidak sempat bawa baju. Ini ambil seadanya yang bisa diambil. Baju saya tinggal yang melekat di badan,” kata Maskun, yang kini tengah mengungsi di Gedung JHK.
Awal Februari lalu, kampung tempat tinggal Maskun tersebut juga baru saja diterjang banjir. Pemicu masalahnya sama, jebolnya tanggul Sungai Wulan. Sejumlah perabot rumah tangga hingga pakaian miliknya terbawa arus. Alat-alat elektronik dan sepeda motornya pun rusak terendam air.
Bahkan, sepeda motor Maskun yang rusak itu belum ia ambil dari bengkel. Uangnya tak cukup untuk membayar servis. Wajar saja, pria beruban itu baru bekerja beberapa hari saja setelah mengungsi selama dua pekan akibat banjir bandang Februari lalu.
”Nanti kalau sudah selesai semuanya baru saya ambil motor. Tidak punya pilihan dalam kondisi seperti ini,” ujar Maskun.
Banjir bandang pertama itu membuat Maskun cukup resah. Sebab, katanya, desa tempatnya tinggal jarang kebanjiran sebesar itu. Apabila hujan deras pun yang timbul hanya genangan setinggi lutut. Lantas, hari-harinya pulang dari pengungsian malah ia habiskan dengan begadang memantau aliran sungai dari dekat jembatan ketimbang lelap tidur di rumah.
Keresahan Maskun terbukti dengan terjadinya banjir bandang kedua. Sejak Sabtu (16/3/2024) malam, ia bersama warga lain melihat-lihat kondisi sungai sampai larut malam. Baru pada Minggu dini hari, sekitar pukul 01.00, ia pulang ke rumah. Celakanya, sekitar satu jam kemudian ia mendapat kabar tanggul Sungai Wulan kembali jebol.
”Sekarang agak waswas kalau ada hujan deras lagi,” kata Maskun.
Perasaan serupa dirasakan Yuni Kurniawati (42), warga Dusun Norowito, Desa Ketanjung, Kecamatan Karanganyar. Desanya berada persis di samping tanggul yang jebol.
Ia betul-betul terkejut tanggul bisa jebol dua kali, padahal baru saja diperbaiki. Ia masih tak menyangka harus kembali tinggal di pengungsian setelah tinggal di rumahnya kurang dari sepekan.
”Mestine ngenes (pastinya berpedih hati). Lukanya belum sembuh sudah harus dapat luka baru lagi. Apalagi ini terjadi sewaktu Ramadhan,” ujar Yuni, yang mengungsi di Pasar Saerah, Kabupaten Kudus.
Yuni tak tahu harus tinggal berapa lama lagi di pengungsian. Februari lalu, ia mengungsi sekitar tiga minggu. Ia juga bertanya-tanya apakah nanti harus berlebaran di pengungsian pula. Akhirnya, berserah diri menjadi pilihannya.
”Yang merasakan orang banyak. Yang susah semuanya. Semoga bencananya segera berakhir,” ucap Yuni lirih.
Kepasrahan yang sama dirasakan warga Dusun Norowito lainnya, Rustam (26). Ia seakan masih tidak percaya tertimpa bencana besar dalam rentang waktu yang begitu dekat.
Terlebih lagi, Rustam belum sepenuhnya rampung membersihkan rumahnya. Ia ingat betul sebelum meninggalkan rumah, kasurnya belum kering dijemur. Lumpur pekat yang menempel pada dinding rumahnya pun belum sempat ia bersihkan. Kini, rumahnya harus terendam banjir lagi. Tinggal kelihatan atapnya saja.
”Mudahnya, kami ini baru bisa bernapas lagi. Eh, sudah didatangi air lagi. Kami harus lari-lari lagi (mengungsi),” kata Rustam.
Meski demikian, Rustam enggan terus larut dalam kesedihan. Ia ingin menerima bencana itu sebagai sebuah ujian dari Tuhan. Pihaknya hanya bisa berdoa agar penanganan banjir bisa berlangsung cepat sehingga warga bisa segera kembali beraktivitas seperti sediakala.
Rustam juga tak ingin banjir semacam itu terjadi kembali. Oleh karena itu, ia berharap perbaikan tanggul dilakukan secara optimal. Jangan sampai tanggul rusak dalam waktu berdekatan. Pasalnya, desa tempat tinggalnya diapit oleh tanggul dari dua sungai, yakni Sungai Wulan dan Sungai Jeratun.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Suharyanto menyoroti persoalan jebolnya tanggul dalam waktu berdekatan tersebut. Ia sudah berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, agar tanggul tidak sekadar diperbaiki. Namun, tanggul itu juga mesti diperkuat agar tidak rusak dalam waktu dekat (Kompas, 18/3/2024).
Sejauh ini, BBWS Pemali Juana juga terus berupaya menutup tanggul-tanggul jebol yang menjadi penyebab banjir di sejumlah wilayah Jawa Tengah. Sedikitnya ada enam tanggul sungai di Grobogan dan Demak yang jebol. Perbaikannya ditargetkan rampung dalam dua hari ke depan.
Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menjadikan peristiwa banjir yang dipicu oleh jebolnya tanggul sebagai perhatiannya. Menurut dia, ada faktor kegagalan teknologi dalam kejadian tersebut. Ia meminta agar evaluasi dilakukan terhadap tanggul-tanggul di wilayah Jawa Tengah.
Sedikitnya ada enam tanggul sungai di Grobogan dan Demak yang jebol. Perbaikannya ditargetkan rampung dalam dua hari ke depan.
Karena itu, kata Abdul, soal umur bangunan tanggul itu perlu dilihat kembali. Dari informasi yang diperolehnya, beberapa segmen tanggul dibangun sejak zaman kolonial Belanda.
Diduga pembangunan infrastruktur ketika itu belum memikirkan tekanan populasi dan sosial yang terjadi saat ini. Adapun kondisi pendangkalan sungai juga mesti ditengok lagi selaku faktor lain pemicu banjir.
”Urgen kita melakukan audit infrastruktur keairan dengan potensi cuaca ekstrem yang mungkin lebih sering karena faktor perubahan iklim. Tentu saja kita harus mengevaluasi kapasitas dan infrastruktur keairan,” kata Abdul dalam konferensi pers daring, Selasa kemarin,
Baca juga: Perbaikan Tanggul Jebol di Demak dan Grobogan Ditargetkan Rampung dalam Dua Hari
Upaya semacam itu, kata Abdul, seharusnya tidak dilakukan di wilayah Demak dan Kudus. Kota besar lain, seperti Jakarta dan Bandung, juga semestinya memikirkan permasalahan tersebut. Sebab, banjir juga bisa berdampak signifikan pada keadaan ekonomi.
Dari banjir di Demak dan Kudus, lanjutnya, jalur pantai utara (pantura) terputus. Kendaraan pengangkut barang akhirnya harus mengalami perjalanan yang tersendat dalam mendistribusikan mereka. Sawah-sawah di wilayah itu yang juga terendam menjadi masalah lain yang patut dipikirkan.
Hanya, semestinya ujung tombak penanganan bencana adalah pemerintah daerah. Oleh karena itu, aspek mitigasi harus dikedepankan. Penanganan semacam itu juga diyakini lebih efektif mengingat sisi pencegahan menjadi poin utamanya.
”Jadi, pemerintah daerah wajib tahu potensi bencana di daerah masing-masing sehingga aspek politis anggaran diupayakan oleh pemda. Tidak terjadi dulu bencananya, lalu menyatakan status darurat dan ditanggulangi pemerintah pusat,” kata Abdul.