Masjid Cheng Ho Palembang, Jembatan Keberagaman di ”Bumi Sriwijaya”
Bukan sekadar rumah ibadah, Masjid Cheng Ho Palembang menjadi jembatan yang meruntuhkan jarak antarkomunitas.
Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho yang didirikan oleh komunitas China Muslim di Palembang, Sumatera Selatan, tak hanya menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Islam. Selama 16 tahun berdiri, masjid itu berkembang menjadi jembatan informasi yang berperan mempererat hubungan antar suku, etnis, dan agama di ”Bumi Sriwijaya”.
Air wudu masih membasahi wajah dan rambut Syamsuri (60) serta anaknya, Muhammad Hafiz (22). Mereka baru saja menjalani shalat Dzuhur berjemaah di Masjid Cheng Ho Palembang yang berada di tengah kompleks perumahan di kawasan Jakabaring yang berjarak sekitar 5,5 kilometer ke arah tenggara dari pusat kota Palembang.
Baca juga: Masjid Cheng Ho Palembang, Simbol Harmoni Islam dan Tionghoa di ”Bumi Sriwijaya”
Syamsuri dan Hafiz baru saja tiba dari Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumsel, untuk mengantarkan adik Hafiz berkuliah di Palembang. Setelah itu, mereka menyempatkan shalat di Masjid Cheng Ho. Ini bukan kali pertama mereka shalat di masjid tersebut.
Syamsuri pertama kali shalat di sana pada 2020. Awalnya, dia tidak sengaja melewati masjid tersebut. Karena bentuk dan namanya yang unik, Syamsuri penasaran untuk singgah. Ternyata, masjid itu mempraktikkan ajaran Islam tak ubahnya masjid lain dan punya fasilitas relatif membuat nyaman.
”Sejak itu, setiap kali ke Palembang, saya menyempatkan shalat di sini,” ujarnya saat ditemui, Senin (18/3/2024).
Selain arsitektur yang mengesankan, nama Cheng Ho cukup membuat terngiang kepala Syamsuri. Syamsuri pun mencari tahu siapa gerangan sosok tersebut. Dari informasi yang berseliweran di internet, dia mengetahui bahwa Cheng Ho adalah laksamana Kerajaan China di abad ke-15 yang melakukan pelayaran hampir ke seluruh dunia dan banyak meninggalkan jejak budaya, termasuk di Palembang. Cheng Ho diduga pemeluk Islam.
Bagi Syamsuri, Masjid Cheng Ho menambah khazanah ragam bentuk masjid di Palembang. Masjid itu membuktikan realita masyarakat yang beragam di ”Bumi Sriwijaya”. Masjid itu bisa menjadi wadah untuk lebih mempererat hubungan antarsuku dan ras di Palembang.
Sejatinya, Islam tidak pernah memandang perbedaan warna kulit ataupun dari mana orang-orang berasal, kecuali keimanannya.
Saya punya banyak teman dari beragama suku, ras, dan agama, termasuk yang keturunan China. Selama ini, hubungan kami baik-baik saja karena bisa saling menghormati.
Ajaran luhur itu sepatutnya dipraktikkan dalam hubungan bermasyarakat yang multikultural.
”Saya punya banyak teman dari beragama suku, ras, dan agama, termasuk yang keturunan China. Selama ini, hubungan kami baik-baik saja karena bisa saling menghormati. Intinya, yang paling penting dalam bermasyarakat adalah saling menghargai,” ucap Syamsuri.
Kental unsur China
Sebagaimana kesan yang didapat Syamsuri, Masjid Cheng Ho memang mengusung unsur China yang kental. Warna merah dan kuning emas yang identik dengan budaya Tionghoa mendominasi masjid berukuran 25 × 25 meter di lahan seluas 4.990 meter persegi tersebut.
Tanduk lancip ke atas di setiap sisi atap yang ada di bangunan tradisional Tionghoa diaplikasikan di masjid tersebut. Dua menara masjid itu pun berbentuk mirip pagoda.
Meski demikian, Masjid Cheng Ho turut menonjolkan unsur budaya lain. Unsur Timur Tengah terlihat dari penambahan cat hijau di beberapa bagian masjid dan atap utama yang berbentuk kubah. Unsur Nusantara ataupun Melayu hadir dalam beberapa detail bangunan, termasuk adanya beduk. Sejumlah plang dan kaligrafi mengombinasikan huruf kanji China, Arab, dan Latin.
Sekretaris Kepengurusan Masjid Cheng Ho Palembang Merry Effendi (57) mengatakan, Masjid Cheng Ho dibangun dari dana yang dikumpulkan oleh komunitas China Muslim di Palembang yang tergabung dalam organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumsel, serta ada sumbangan dari sejumlah donatur. Total biayanya kurang lebih mencapai Rp 3 miliar.
Baca juga: Cap Go Meh Jadi Saksi Harmoni Keberagaman di Tepian Musi
Pembangunan dimulai pada 2005 yang bertepatan dengan peringatan 600 tahun pelayaran Cheng Ho dan rampung tiga tahun kemudian, tepatnya pada Jumat (22/8/2008). Proses pembangunan banyak tersita oleh penimbunan lahan karena berada di kawasan rawa. Penimbunan dilakukan berulang kali hingga tanahnya betul-betul padat.
Masjid Cheng Ho di Palembang menjadi Masjid Cheng Ho tertua kedua setelah di Surabaya, Jawa Timur. Nama Cheng Ho dipilih karena menjadi panutan masyarakat China Muslim di Indonesia, terutama di Palembang.
Berdasarkan buku Cheng Ho: Diplomasi Kebudayaan di Palembang yang disunting Bambang Budi Utomo pada 2008, Cheng Ho melakukan tujuh kali ekspedisi pelayaran selama 1405-1433, antara lain, empat kali ke Palembang.
Di samping menumpas rombongan perompak asal Guangzhou yang dipimpin Ch’en Zuyi yang menduduki Palembang sejak 1370-an, salah satu misi Cheng Ho adalah melakukan diplomasi budaya. Armadanya dipercaya turut menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di Palembang. ”Cheng Ho punya sejarah penting dalam penyebaran Islam di Indonesia sehingga namanya diabadikan sebagai nama masjid yang didirikan oleh komunitas China Muslim,” kata Merry.
Jembatan informasi
Selain menjadi tempat ibadah secara umum, lanjut Merry, Masjid Cheng Ho menjadi jembatan informasi antara Islam dan warga etnis China yang belum Muslim, serta antara warga etnis China dan non-China. Tak dimungkiri, sering kali ada gap informasi di antara komunitas-komunitas itu yang bisa menimbulkan kesalahpahaman dan kecurigaan walau belum pernah menyebabkan gesekan luar biasa di Palembang.
Baca juga: Berpuasa di China, Shalat Tarawihnya hingga Larut Malam
Sebagai contoh, Merry adalah warga keturunan China di Palembang yang menjadi mualaf pada 1985. Sebelum menjadi Muslimah, Merry pernah mendengar peringatan dari sejumlah orangtua di keluarganya yang menyatakan boleh berpindah agama kecuali Islam. Itu karena banyak stigma terhadap Islam.
Namun, setelah keluarganya diberi pemahaman, langkah Merry menjadi mualaf tidak dipertentangkan. Belakangan, ada tiga saudara kandung Merry dari total 11 saudaranya yang mengikuti langkah Merry memeluk Islam. Terakhir, ada keponakannya yang tergolong generasi milenial yang turut mengikuti langkah tersebut.
Hal itu tidak lepas oleh faktor semakin mudahnya mengakses informasi mengenai Islam, baik dari penyelusuran internet maupun bertanya langsung ke sejumlah lembaga, seperti kepada pengurus Masjid Cheng Ho. Kini, orang-orang keturunan China mulai bisa membedakan antara ajaran Islam dan pemeluk Islam. Ajaran Islam berisi kebaikan, sebaliknya pemeluk Islam tidak semuanya baik.
”Berkat itu, jumlah warga keturunan China yang menjadi mualaf semakin bertambah dari tahun ke tahun, terlebih dalam tiga-empat tahun terakhir. Setiap bulan, rata-rata ada empat orang menjadi mualaf di masjid ini yang sebagai besar warga keturunan China,” tutur Merry yang memiliki nama China, Huang Fung Hua.
Baca juga: Pergulatan Santri Indonesia di China
Di sisi lain, Masjid Cheng Ho sangat membantu mengenalkan budaya China kepada masyarakat umum. Di atas permukaan, interaksi antara masyarakat etnis China dan non China di Palembang baik-baik saja. Akan tetapi, di akar rumput, sering kali timbul stereotipe satu sama lain di antara dua komunitas tersebut.
Dengan adanya Masjid Cheng Ho, perlahan timbul interaksi lebih dekat di antara dua komunitas. Interaksi itu terjadi secara alamiah saat semuanya membaur sebagai jemaah shalat dan oleh kegiatan tertentu, seperti kunjungan wisatawan, baik secara individu maupun kelompok.
”Bentuk Masjid Cheng Ho yang unik membuat orang-orang non-China penasaran, berkunjung, dan coba mengenal budaya China, terutama China Muslim di sini,” kata Merry.
Secara keseluruhan, ada tiga tipologi batu nisan di Palembang, yakni dari etnis Jawa ataupun masyarakat lokal, China, dan Arab.
Komunitas China
Arkeolog dari Pusat Riset Arkeologi Sejarah dan Pra Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yogyakarta yang pernah bertugas di Sumsel selama 1994-2022, Retno Purwanti, mengatakan, saat kunjungan terakhir ke Palembang pada ekspedisi pelayaran ketujuh (1430-1433), armada Cheng Ho meninggalkan beberapa jung alias kapal layar kuno. Semua awak kapal itu adalah pemeluk Islam.
Di era itu, jumlah warga China Muslim di Palembang terbesar kedua di Nusantara setelah Singkawang yang kini berada di Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, ada sejumlah tokoh China Muslim yang cukup berpengaruh. Salah satunya Tan Pualang Chiang Ching yang menjadi guru spiritual penguasa Kerajaan Palembang (1547-1659), Ki Gede Ing Suro Mudo (berkuasa 1572-1589).
Baca juga: Ketika Wapres Amin Menafsir Miniatur Rumah Ibadah di Jamuan Makan di China
Dari cerita tutur, Tan Pualang Chiang Ching diangkat anak oleh Ki Gede Ing Suro Mudo dan diberi pendidikan Islam. Setelah pemahaman agamanya mumpuni, Tan Pualang Chiang Ching diangkat menjadi imam ataupun ulama Kerajaan Palembang, kerajaan bercorak Islam sebelum berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823).
Kini, makam Tan Pualang Chiang Ching berada di samping makam Ki Gede Ing Suro Mudo di Situs Makam Gede Ing Suro di Ilir Timur II, Palembang.
”Kebanyakan masyarakat menganggap orang-orang China bukan Muslim. Padahal, China justru menerima Islam lebih dahulu daripada wilayah Nusantara. Hal itu terbukti dari temuan-temuan arkeologis yang jelas. Bahkan, sampai sekarang, masih ada tiga provinsi di China yang penduduknya mayoritas Muslim,” ujar Retno.
Retno pernah melakukan penelitian mengenai ”Jejak Multikulturalisme pada Makam Islam di Palembang”.
Hasilnya, ditemukan sejumlah makam tokoh Islam di era Kesultanan Palembang Darussalam yang dipengaruhi oleh pola dekorasi China, antara lain, di makam Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757) dan di Kompleks Pemakaman Pangeran Syarif Ali bin Syeikh Abubakar (masa hidup 1795-1877).
”Secara keseluruhan, ada tiga tipologi batu nisan di Palembang, yakni dari etnis Jawa ataupun masyarakat lokal, China, dan Arab. Itu menunjukkan ada keberagaman suku, bangsa, dan budaya di Palembang sejak lampau,” kata Retno dalam tulisannya.
Baca juga: China dan Angan Perdamaian di Palestina
Sejak masa lampau, keberagaman menjadi hakikat hidup di Palembang. Dari akar multikultural itu, Masjid Cheng Ho lahir. Bukan sekadar rumah ibadah, Masjid Cheng Ho menjelma sebagai jembatan yang meruntuhkan jarak antarkomunitas di ”Bumi Sriwijaya”.