Buku ini berkontribusi besar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Islam di China yang selama ini muncul dan diharapkan dapat lebih mempererat hubungan kerja sama antara Indonesia dan China.
Oleh
MOH SHOFAN
·5 menit baca
Tahun ini, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama atau PCINU Tiongkok meluncurkan sebuah buku bertajuk Santri Indonesia di Tiongkok. Penerbitan buku ini sekaligus menandai peringatan satu abad Nahdlatul Ulama. Buku ini—sebagaimana dikatakan Djauhari Oratmangun (Duta Besar RI untuk China Merangkap Mongolia)—berkontribusi besar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Islam di China yang selama ini muncul dan diharapkan dapat lebih mempererat hubungan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok.
Secara historis, relasi masyarakat Indonesia dan China dapat dilacak hingga zaman kejayaan Nusantara. Dalam beberapa catatan sejarah, kaum pedagang Muslim China jauh lebih dulu hadir sebelum masyarakat lokal memeluk agama Islam, yaitu sekitar abad ke-14 atau sekitar abad ke-15. Hal tersebut disimpulkan berdasarkan catatan-catatan atau berita dari bangsa Portugis, ditambah dengan catatan tentang Laksamana Cheng Ho sewaktu melakukan perjalanan ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa.
Awal mula peran orang-orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara adalah ketika ekspedisi Cheng Ho, terutama di Jawa dan Sumatera. Cheng Ho yang merupakan duta resmi Dinasti Ming ini disebut memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam ketika itu. Ia melakukan ekspedisi ke sejumlah daerah di Asia dan Afrika, antara lain Vietnam, Taiwan, Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sri Lanka, India, Persia, Teluk Persia, Arab, Laut Merah ke utara hingga Mesir, Afrika Selatan, hingga Selat Mozambik.
Selama misi penyebaran Islam, Cheng Ho bertemu dengan orang-orang yang telah memeluk agama Islam. Dia dapat bertemu dengan Raja Majapahit sebagai duta kerajaan China. Pertemuan dengan Raja Majapahit sangat menyenangkan. Islam sangat cepat menyebar di Indonesia karena mendapatkan izin dari Raja Majapahit. Pertemuan dengan Raja Majapahit membawa dampak besar dalam penyebaran Islam (hlm 174-175).
Awal mula peran orang-orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara adalah ketika ekspedisi Cheng Ho, terutama di Jawa dan Sumatera.
Sumanto al-Qurtuby menunjukkan bahwa peran etnis Tionghoa selama menyebarkan Islam di Indonesia adalah mencampurkan Islam dengan budaya lokal yang sudah ada di Indonesia. Demikian juga Cheng Ho membawa nila-nilai Buddha dan Tao di dalam metode penyebaran Islam (hlm 177).
Jejak-jejak relasi masyarakat Indonesia dan China di wilayah Nusantara cukup banyak bertebaran di Indonesia. Mulai dari bahasa, arsitektur, konsepsi spiritual dan keduniaan, aneka aksesori pakaian, hingga nama makanan. Relasi masyarakat kedua negara berlanjut hingga saat ini di berbagai sektor, utamanya sektor pendidikan, budaya, dan pariwisata.
Dalam kunjungan kenegaraan ke China tahun 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mengunjungi Masjid Niujie di Beijing dan bertemu dengan Presiden Asosiasi Muslim RRT Yang Faming. Kunjungan ke masjid yang sama juga dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999. Presiden Jokowi menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah China yang telah mendukung dan memberikan kebebasan ruang ibadah bagi 23 juta warga Muslim China. Menurut dia, relasi budaya Muslim Indonesia dan China yang sudah berlangsung sejak abad ke-15 harus terus dipelihara.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Agama Islam di China bermula dari kota Guangzhou, ibu kota Provinsi Guangdong. Masjid Huaisheng di Distrik Guang Xiao Si menjadi saksinya. Di zaman Dinasti Tang (618-907) dibangun sebuah masjid yang disebut Masjid Huaisheng. Masjid yang menempati tanah seluas 2.966 meter persegi itu dibangun pada tahun 627. Beginilah aktivitas warga di hari Jumat (15/5/2009).
Dari beragamnya catatan sejarah, proses islamisasi dan perkembangan yang terjadi di Indonesia dan China adalah catatan sejarah yang harus dipelajari dan didalami maknanya. Sebagian besar elite Muslim Indonesia mengakui adanya proses islamisasi di kedua negara. Teori mengenai bagaimana asal mula persebaran agama Islam ke Nusantara tersebut banyak ditemui dalam buku sejarah di Indonesia dan menjadi diskursus utama, terutama pada rezim Orde Baru.
Namun, setelah Orde Baru tumbang dan tidak ada lagi pelarangan semua hal yang berbau Tionghoa, ramai diperbincangkan teori persebaran misi Islam di Nusantara yang diyakini berasal dari China. Teori China sebenarnya pernah dikemukakan Slamet Muljana dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara yang kemudian dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam ”murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang.
Titik temu persamaan antara kedua masyarakat Muslim di kedua negara mendapatkan afirmasi dalam buku ini. Juga, bagaimana proses akulturasi tradisi budaya dengan nilai-nilai Islam di beberapa provinsi China direkam dalam buku ini, termasuk di dalamnya tentang pengalaman keagamaan, keislaman, pendidikan, sosial budaya, politik, ekonomi, dan perkembangan teknologi.
Meski demikian, tak sedikit yang masih menyangsikan hubungan kedua negara itu saling memengaruhi. Sebagian elite Muslim Indonesia mempertanyakan kebenaran sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa dari China. Artinya, teori tentang persebaran Islam dari China ini masih menjadi bahan perdebatan di kalangan tertentu. Namun, berbagai bukti otentik tentang adanya kontak masyarakat Muslim China, semisal ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara, tidak dapat dielakkan dari rekaman sejarah dunia.
Pemerintah Tiongkok mendukung jalannya ibadah umat Muslim dengan terus membangun masjid, serta tidak melarang agama selama itu tidak bertentangan dengan kebijakan negara.
Dalam konteks hari ini, sinoisasi atau akulturasi agama di China ditunjukkan oleh Pemerintah China dengan memfasilitasi pembangunan masjid. Pemerintah China mendukung jalannya ibadah umat Muslim dengan terus membangun masjid, serta tidak melarang agama selama itu tidak bertentangan dengan kebijakan negara. Sejumlah elite Muslim Indonesia juga menilai bahwa ada benang merah antara dinamika perkembangan Islam di kedua negara. Dalam hal tantangan radikalisme agama dan isu separatisme, misalnya, kedua negara memiliki problematika yang sama.
Pandangan santri terkait isu kemanusiaan di Xinjiang dan apakah Islam di China tertindas dijawab dengan lugas di buku ini. Selain itu, buku ini juga menarasikan aturan beragama di China serta bentuk akulturasi tradisi budaya dan agama di beberapa kawasan ”Negeri Tirai Bambu” tersebut.
Buku Santri Indonesia di Tiongkok ini berisi kumpulan tulisan dari para santri yang sedang menempuh pendidikan tingkat sarjana hingga doktoral dengan berbagai macam latar belakang disiplin ilmu. Mereka menuliskan dan mengulas fenomena keislaman hari ini, kesejarahan, serta akulturasi Islam dan China berdasarkan pengalaman dan latar belakang studi mereka yang beragam.
Buku ini menjadi sangat strategis sebagai jembatan kesepahaman hubungan antara Indonesia dan China, sekaligus membuka mata kita akan praktik faktual Islam dan menjadi jembatan untuk memperkuat gagasan Islam Nusantara. Tidak tertutup kemungkinan, ke depan sangat terbuka bagi santri di China memproduksi ide gagasan melalui konten-konten digital, misalnya terkait pengaruh budaya China di Indonesia di sektor makanan, pakaian, arsitektur dalam peningkatan hubungan antarwarga. Juga, memproduksi konten-konten yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan lintas disiplin ilmu.