Tuntutan tersebut disampaikan dalam aksi unjuk rasa bertajuk ”Aksi Ibu Pertiwi Memanggil: Sumbar Melawan, Tegakkan Keadaban Bernegara, Selamatkan Demokrasi”, Rabu (20/3/2024) sore. Aksi yang diikuti sekitar 200 orang dari unsur dosen, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil ini digelar di depan Kantor Gubernur Sumbar, Kota Padang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Ada delapan tuntutan kami, terutama tentu, DPR segera melakukan hak angket. Ini sebagai bukti para elite politik itu serius menanggapi. Kalau tidak, kami akan terus menggalang kekuatan berbagai komponen anak bangsa ini,” kata Hary Effendi Iskandar, koordinator aksi yang juga dosen sejarah Universitas Andalas ini.
Hary menambahkan, muara dari aksi ini adalah meminta berbagai praktik kecurangan dan penyimpangan bernegara itu diusut tuntas, termasuk yang berkaitan dengan pemilu. Walakin, esensi dari semua aksi ini keinginan agar para pejabat negeri ini betul-betul mengedepankan nilai, moral, dan etik dalam mengelola negara.
Dalam aksi tersebut, para peserta secara bergantian berorasi. Mereka menyampaikan keprihatinan atas kemunduran demokrasi Indonesia, antara lain indikasi kecurangan pemilu, praktik politik dinasti, upaya memereteli konstitusi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis menyatakan, kondisi saat ini kembali masa Orde Baru. Perjuangan para aktivis pada 1998 dalam menumbangkan Orde Baru dibajak dan dikhianati oleh para pejabat yang berkuasa saat ini.
”Tidak ada pilihan lain, kita harus kembali turun ke jalan, merebut kembali apa yang pernah kita perjuangkan, merampas kembali apa yang dirampas dari kita,” kata Rifai, dalam orasinya.
Dosen ilmu politik Universitas Muhammadiyah Sumbar, Didi Rahmadi, menuntut pemerintahan kembali kepada demokrasi yang murni. Ia mengajak masyarakat sipil tampil solid. Jangan biarkan para penguasa dengan mudahnya mengobrak-abrik konstitusi demi kepentingan kelompok dan menginjak-injak hak-hak politik warga.
”Oleh karena itu, salah satu tuntutan utama kita, cabut mandat kelompok-kelompok yang berkuasa. Cabut mandat politisi yang menyimpang terhadap demokrasi Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura dalam orasinya mengatakan, Presiden Joko Widodo telah mengkhianati amanat reformasi. Pengkhianatan teranyar adalah terkait upaya penuntasan pelanggaran HAM dan penghapusan dwifungsi ABRI.
”Pertama, penuntasan pelanggaran HAM. Kita berjuang terhadap para korban pelanggaran HAM. Jokowi merehabilitasi pelaku pelanggaran HAM, memberikan bintang kehormatan kepada Prabowo Subianto,” kata Charles.
Selanjutnya, kata Charles, Presiden Jokowi juga tengah menyiapkan peraturan agar TNI-Polri bisa menjadi pejabat di jajaran sipil negara.
”Soeharto dulu kita tolak karena politik dinasti. Sekarang, kurang dinasti apa Jokowi? Belum dilantik presiden dan wakil presiden, menantunya sudah mau didorong menjadi gubernur. Apakah ini yang dimaksud progenerasi muda? Promilenial?” ujarnya.
Charles pun mengajak semua pihak, terutama generasi muda, terus bersuara dan melawan. ”Rapatkan barisan, aksi-aksi seperti ini harus kita lanjutkan,” katanya.
Aksi yang selesai menjelang waktu berbuka puasa itu ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap oleh dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Profesor Rudi Febriamansyah. Ada delapan poin tuntutan yang disampaikan, yaitu pertama, mendesak DPR untuk segera melakukan hak angket guna mengusut tuntas dugaan kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2024.
Rapatkan barisan, aksi-aksi seperti ini harus kita lanjutkan.
Kedua, mendesak perlunya perubahan atau penyempurnaan dan pembentukan Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan Presiden, Lembaga Kepresidenan, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya guna mencegah konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), serta praktik-praktik negara yang tidak lagi menghormati nilai-nilai etika, moral, dan keadaban.
Ketiga, menegaskan perlunya penyelidikan yang adil terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran dalam proses pemilu. Keempat, mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang memanfaatkan situasi bergejolaknya harga kebutuhan pokok masyarakat untuk keuntungan pribadi.
Kelima, menghentikan praktik politik transaksional yang justru merusak sistem checks and balances yang makin memperkuat oligarki dan penghisapan terhadap kekayaan sumber daya alam.
Keenam, mengingatkan kita semua, rakyat Indonesia, untuk tetap menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara guna memastikan agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan bernegara.
Ketujuh, menolak segala upaya untuk menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, dan kami mendesak larangan bagi anggota polisi dan TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Kedelapan, mengingatkan agar semua aparatur penyelenggara negara wajib taat dan patuh pada konstitusi dan etika bernegara, termasuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
”Kami sebagai bagian dari masyarakat akademik dan aktivis masyarakat sipil bersumpah untuk terus berjuang demi terwujudnya negara yang berlandaskan keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.