Buka dan Sahur Serba Mi Instan Korban Banjir di Lumbung Pangan Karawang
Banjir di Karawang merendam rumah warga dan lahan pertanian. Mereka menjalani puasa dengan keterbatasan.
Air keruh Sungai Cibeet, Cidowolong, dan Kedungurang lagi-lagi meluap serta merendam Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang. Selain membuat petani rugi puluhan juta akibat lahan pertanian yang terendam, warga setempat dipaksa menjalani puasa di bulan Ramadhan penuh keprihatinan.
Di sana, serba mi instan, mulai dari buka hingga sahur puasa.
Sejak tahun 2024, banjir kerap datang dan pergi di Kampung Kampek, Desa Karangligar. Hingga Selasa (19/3/2024), genangannya masih mengganggu aktivitas warga. Sejauh ini, banjir sejak Kamis (14/3/2024) menjadi yang paling besar. Air setinggi 1,8 meter merendam 23 rumah.
Akibatnya, puluhan warga yang tinggal berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota kabupaten ini memilih mengungsi. Sebagian tinggal di mushala yang ada di tengah kampung. Tempat itu menjadi pusat segala aktivitas, mulai dari bermalam hingga sahur dan buka puasa.
Baca juga: Selamat Datang di Kampung Banjir Karangligar
Ning (60), warga Kampek, misalnya, terpaksa menanak nasi di sebelah batu nisan di sekitar mushala. Bersamanya, beberapa ibu meracik bumbu sayuran dan ikan asin. Semua akan disantap dengan mi instan yang diambil dari bantuan di kantor desa.
”Ikan asin hasil tangkapan bapak-bapak di genangan banjir. Nanti kalau berasnya habis, kami minta ke kantor desa. Kalau tidak ada, kami akan iuran untuk beli sendiri,” ujar Ning.
Ning dan warga lain hanya bisa pasrah. Mereka tidak tahu sampai kapan akan terus begitu. Hujan yang masih kerap turun membuat dia dan warga lain takut kembali ke rumah. Luapan air bisa semakin tinggi dan mengepung rumah mereka.
Tidak asal bicara, raut takut itu tergambar di pengungsian, Senin (18/3/2024) sore. Hujan tiba-tiba turun deras. Sontak, ibu-ibu panik mencari anak-anaknya yang sejak siang bermain di sekitar pengungsian. ”Sekarang hujan sebentar bisa buat air naik lagi,” kata Ning.
Bulan puasa
Hendi (41), koordinator pengungsi, mengatakan, ada 84 warga Kampek yang terpaksa meninggalkan rumah. Sebanyak 36 warga menempati mushala sebagai tempat bernaung sementara, sementara 48 warga lainnya mengungsi ke rumah kerabat.
Hendi berharap uluran tangan dari semua pihak, baik untuk bantuan makanan maupun upaya untuk mengeringkan air yang masih menggenang. Apalagi, tinggal di pengungsian membuat warga menjalani ibadah puasa tahun ini dengan segala keterbatasan.
”Sahur dan berbuka di pengungsian serba mi instan. Lauknya ikan asin,” ujarnya.
Kejadian ini bukan yang pertama kali dirasakan warga. Untuk kesekian kalinya, Karangligar kembali dihajar banjir. Beragam julukan, mulai dari kampung banjir hingga kampung gumbal-gambol atau lebih kurang diartikan menjadi aktivitas pengungsian, hadir di sana. Tahun ini, seperti sebelumnya, luapan Sungai Cibeet, Cidowolong, dan Kedunghurang, yang semuanya mengalir ke Sungai Citarum, menggila.
Sekarang bingung mau tanam padi pakai perhitungan apa lagi. Saya tunggu saja sampai pertengahan tahun ini.
Dampaknya, tidak hanya di Karangligar. Pranata Humas Ahli Muda Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar, Hadi Rahmat, memaparkan, 1.075 warga terdampak di Kecamatan Telukjambe Barat dan Kecamatan Tirtajaya.
Meskipun tidak ada korban jiwa, 120 orang terpaksa mengungsi karena rumahnya belum bisa ditempati. Total rumah yang terendam dalam banjir kali ini mencapai 269 unit.
Sawah terendam
Selain merendam permukiman warga, banjir juga menggenangi 90,65 hektar sawah. Salah satunya milik Ato (62), warga Kampung Kampek, yang belum ditanam sejak awal tahun. Selain lahan terendam banjir, dia enggan merugi lebih besar karena gagal panen.
Ato mengatakan, akibat banjir sejak awal tahun 2024, sawah seluas 1,2 hektar miliknya gagal panen. Kedatangan air setinggi 1 meter membuatnya kehilangan Rp 40 juta.
Padahal, Ato sengaja menanam lahannya pada November 2023 dengan harapan bisa panen di Maret 2024. Namun, banjir datang lebih cepat dan merusak semuanya. Menurut Ato, baru kali ini perhitungannya meleset. Alam, katanya, sudah semakin sulit ditebak.
Banjir ini juga mengurangi produktivitas lahan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia hanya bisa panen dua kali dalam setahun. Sekitar 30 tahun lalu, ia pernah bisa panen hingga tiga kali per setahun.
”Sekarang bingung mau tanam pakai perhitungan apa lagi. Saya tunggu saja sampai pertengahan tahun ini,” kata Ato.
Ny Acem (55), petani di Desa Sukamakmur, Kecamatan Telukjambe Barat, juga enggan menanam padi sebelum kemarau datang. Dia tidak ingin merugi seperti kawan-kawannya yang sawahnya dihajar banjir.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia memilih menjaring ikan-ikan kecil di lahan pertanian yang tergenang. Dalam sehari, dia mendapat Rp 10.000 hingga Rp 30.000.
”Lumayan bisa membantu suami untuk menghidupi delapan orang di rumah. Dia sekarang menjadi buruh tani di lahan orang sampai lahan kami bisa ditanam kembali,” ujarnya.
Baca juga: Banjir Merendam Ratusan Rumah di Pusat Kota Bandung
Produktivitas menurun
Kepala Bidang Perkebunan dan Perlindungan Tanaman di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Karawang Dadan Danny mengatakan, 90,65 hektar sawah yang terdampak banjir tersebar di enam kecamatan.
Kecamatan yang terdampak antara lain Jatisari, Telukjambe Barat, Tirtajaya, Pakisjaya, Tempuran, dan Kutawaluya. Kondisi ini mengakibatkan petani gagal tanam di Karawang, salah satu lumbung beras nasional, pada Maret ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi padi di Kabupaten Karawang mencapai 1.096.657 ton gabah kering giling pada akhir tahun 2023. Angka ini menurun dibandingkan produksi padi tahun 2022 yang mencapai 1.226.880 ton gabah kering giling. Bisa jadi masalah banjir yang tidak kunjung usai ikut memengaruhinya.
”Banjir mengakibatkan para petani mengalami gagal tanam. Hingga saat ini, air masih merendam sawah di sejumlah lokasi yang terdampak banjir,” kata Dadan.
Menurut Dadan, banjir di enam kecamatan sangat merugikan. Dia memperkirakan kerugian petani mencapai Rp 1 miliar.
”Jumlah kerugian petani akibat banjir sejak Kamis pekan lalu sekitar Rp 12 juta per hektar. Kerugian itu meliputi biaya operasional, pembibitan, hingga proses tanam,” kata Dadan.
Lihat juga: Banjir Rendam Dua Desa di Karawang
Dadan menambahkan, kerugian berpotensi lebih besar. Masih ada beberapa komponen biaya pertanian yang tengah dihitung. Periode Februari-Maret 2023, kerugian akibat banjir di Karawang mencapai Rp 2,4 miliar.
Banjir di Karawang tidak hanya merugikan warga setempat. Kerentanan lahan pertanian di sana berpotensi melumpuhkan ketahanan pangan di tengah melonjaknya harga berbagai komoditas utama, termasuk beras.