Mimpi Kalteng Jadi Penyangga IKN Rawan Tertahan Banjir
Banjir di Kalimantan Tengah mengancam kemampuan produksi pangan dan distribusi komoditas penopang IKN kelak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Hampir setiap tahun rumah, ladang, hingga akses jalan di Kalimantan Tengah dihajar banjir. Tidak hanya mengancam ketersediaan pangan, distribusi beragam komoditas daerah penyangga ke Ibu Kota Nusantara juga rentan terancam.
Tahun ini, Kabupaten Barito Selatan masih susah payah lepas dari banjir. Banjir datang dan pergi sesuka hati. Di Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan, air luapan Sungai Barito setinggi 1,5 meter betah tinggal hingga sebulan lamanya. Akibatnya, aktivitas warga di daerah sejauh 180 kilometer dari Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, itu lumpuh.
Saat Kompas datang pada Januari 2024, banjir membuat kendaraan roda dua diangkut menggunakan gerobak apung yang dibuat warga setempat. Warga menarik bayaran Rp 50.000 per motor. Ada juga warga yang memakai kelotok atau perahu kayu bermesin untuk mengantar warga melintasi banjir. Pada Minggu (17/3/2024), banjir masih belum pergi.
Sepintas, bisa jadi kejadian itu hanya banjir biasa di daerah terpencil. Namun, kenyataannya jauh lebih rumit dari itu.
Ada banyak logistik dan hasil perkebunan, terutama minyak sawit mentah (crude palm oil), tertahan hingga seminggu. Untuk pelaku usaha hingga dunia industri, kondisi itu jelas bukan kabar baik.
Salah satu pengemudi yang tertahan banjir adalah Muhammad Alif (30), warga Barabai, Kalsel. Dia membawa ratusan ton tandan buah sawit.
Tidak berdaya selama lima hari, Alif khawatir sawitnya terlalu sering diguyur hujan. Kondisi itu rentan merusak kualitas sawit.
”Ini sawit milik perusahaan untuk dijual di Kalimantan Selatan. Saya hanya diupah bila mengirimkan sawit yang berkualitas dan bisa dijual. Sebulan dapat Rp 1,5 juta,” kata Alif yang sering kali harus susah payah meyakinkan pimpinannya bahwa banjir merusak rencana perjalanan.
Rudi (45), warga Ketapang, Kalimantan Barat, juga tidak bisa melintas selama dua hari dengan mobil baknya. Ia membawa puluhan ton cempedak.
Setiap saat Rudi harus menutup cempedaknya dari siraman hujan dengan dahan dan daun-daun rindang yang ia ambil dari hutan. Menutup dengan terpal hanya akan membuat cempedak busuk lebih cepat.
Warga setempat juga jengah terus jadi korban banjir. Yurlina (56), warga Desa Kalahien, Kecamatan Dusun Selatan, mengatakan. banjir belum usai hingga pertengahan Maret ini.
”Setelah di Januari, kali ini ladang saya kena banjir lagi. Kami enggak tanam padi lagi. Sekarang berharap bantuan pemerintah saja,” kata Yurlina, Minggu siang.
Akan tetap, tidak hanya warga di pedalaman yang berduka. Kota Palangkaraya, yang dulu hendak dijadikan kota maju di Indonesia oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957, juga merasakan hal serupa.
Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palangkaraya Hendrikus Satria Budi menyebut, 23.310 warga terdampak. Bahkan, empat tewas dan satu orang hilang akibat banjir.
Tidak peduli di pedalaman atau ibu kota provinsi, banjir di Kalteng adalah ironi di balik cita-cita besar menyetarakan pembangunan.
Kemampuan produksi hasil pangan Kalteng, misalnya, terancam. Jangankan menyangga daerah lain seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), untuk kebutuhan sendiri saja bisa jadi tidak cukup.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Kalteng, 54.200 hektar lahan pertanian terdampak banjir. Di sisi lain, program strategis nasional lumbung pangan (food estate) juga tidak berjalan ideal.
Selain produksi, distribusi juga jelas tidak bakal mulus. Kejadian di Kalahien jadi bukti. Banjir di jalur trans-Kalimantan di Kalahien rawan memicu efek domino untuk pelaku usaha atau bahkan ekonomi daerah lainnya. Padahal, jalur itu vital menghubungkan sejumlah wilayah di Kalteng, Kalsel, dan Kalimantan Timur.
Bahkan, jalan itu menjadi salah satu ruas menuju IKN di Penajam Paser Utara. Pasokan beragam komoditas pangan, seperti beras, produk hortikultura, dan ayam potong, ke IKN yang bakal dihuni jutaan orang baru bisa jadi terhambat.
Diperkirakan jika ada 1,5 juta aparatur sipil negara pindah ke IKN, ada 5,58 juta orang yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya (Kompas, 5 April 2021).
Rantai pasoknya harus ’clean and clear’. Lancar. Kalau belum, jangan dulu berpikir jadi penyangga, harus disiapkan matang-matang dulu. Kalteng harus mandiri dulu, harus tahan pangan dulu, dan industrialisasinya disiapkan tanpa melupakan kultur dan lingkungan untuk mendukung IKN kelak. (Fitria Husnatarina)
Pengamat ekonomi dari Universitas Palangkaraya, Fitria Husnatarina, mengatakan, banjir yang terjadi tiap tahun menjadi sangat mengganggu ekonomi karena tidak pernah diantisipasi. Tata ruang untuk daya dukung dan daya tampung sampai saat ini belum benar-benar menjadi perhatian, padahal hal itu sangat memengaruhi banyak hal.
Saat produksi terganggu, lanjut Fitria, ketahanan pangan terganggu, perekonomian rakyat pun demikian. ”Sehingga pola konsumsi juga harus diperhatikan. Pangan berkelanjutan yang berwawasan pada kelestarian lingkungan itu perlu,” katanya.
Pemerintah, lanjut Fitria, harus fokus tidak hanya pada infrastruktur industri pangan sehingga tidak hanya jadi pemasok bahan mentah, tetapi ada keberlanjutan.
”Rantai pasoknya harus clean and clear. Lancar. Kalau belum, jangan dulu berpikir jadi penyangga, harus disiapkan matang-matang dulu. Kalteng harus mandiri dulu, harus tahan pangan dulu, dan industrialisasinya disiapkan tanpa melupakan kultur dan lingkungan untuk mendukung IKN kelak,” ungkapnya.
Sekitar 67 tahun setelah Palangkaraya diinginkan Soekarno menjadi kota besar selain Jakarta, asa kesetaraan dan kemandirian itu belum sepenuhnya hadir di Kalteng. Yang ada, seperti Jakarta, sejumlah daerah di Kalteng masih saja sulit menghindari banjir.