Kicak, Legenda Manisnya Ramadhan dari Yogyakarta
Setiap kali Ramadhan datang, sebuah jajanan legendaris dari Kampung Kauman, Yogyakarta, tak pernah absen meramaikan.
Kicak, jajanan khas Ramadhan dari Kampung Kauman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, membawa pesan silaturahmi di balik manis gurih rasanya.
Dewi Halimah (53) sibuk menyendokkan jadah atau ketan dari panci besar ke wadah berupa kertas coklat yang dialasi daun pisang. Setiap kemasan yang telah jadi dia pisahkan di sebuah tampah. ”Ini pesanan dari Solo untuk sore ini,” ujar Dewi saat ditemui di dapurnya, Jumat (15/3/2024) siang.
Dewi adalah generasi kedua penerus pembuat kicak Mbah Wono. Mbah Wono atau bernama asli Wahono adalah orang yang pertama kali menciptakan kuliner ini di Kampung Kauman pada dekade 1950-an.
”Ibu (Mbah Wono) tidak pernah cerita kenapa makanan ini dinamai kicak,” ujar Dewi.
Kicak terbuat dari ketan, kelapa muda, nangka, gula pasir, dan daun pandan. Rasanya pun dominan manis dengan sensasi ramainya kunyahan dari ketan yang lengket dan kelapa yang gurih.
Meski arti namanya masih misteri, tak begitu dengan reputasi makanan ini yang sudah begitu melegenda. Bukan hanya di Yogyakarta dan sekitarnya, Dewi mengatakan, ia kerap menerima pesanan dari Jakarta dan Bandung.
”Ramadhan ini setiap hari bisa habis paling tidak 100 bungkus. Pernah juga sehari sampai 200 bungkus ketika ada pesanan untuk takjil buka puasa bersama di masjid,” kata Dewi.
Setiap bungkus kicak pada Ramadhan ini dijual Rp 6.000. Dewi mengatakan, harga ini naik dari tahun lalu yang hanya Rp 5.000 per bungkus disebabkan kenaikan harga sejumlah bahan baku, seperti gula dan beras ketan.
Baca juga: Menikmati Tradisi Gulai Kambing di Masjid Kauman
Dewi mengatakan, kicak hanya dijual saat Ramadhan sebagai bagian dari tradisi di Kampung Kauman. Meski begitu, dia mengatakan, kicak juga bisa dibuat di bulan lain asalkan ada pesanan.
Selama Ramadhan, kicak Mbah Wono dijajakan bersamaan dengan sejumlah penganan lain di warung yang berada di gang sempit tersebut. Di sepanjang gang itu, puluhan warga lain juga berjualan berbagai macam takjil dalam Pasar Sore Ramadhan Kauman Yogyakarta.
Sigit (58), warga Kauman, mengatakan, pasar tiban atau pasar sementara yang hanya muncul saat Ramadhan itu sudah ada sejak tahun 1970-an. Kicak menjadi salah satu jajanan favorit yang menyedot minat banyak orang, tidak hanya dari wilayah sekitar Kauman, tapi juga seantero Kota Yogyakarta.
”Sampai sekarang kicak di Kauman ini masih disukai orang karena mempertahankan keaslian bahan dan resep seperti dulu,” ujarnya.
Kata ’kinca’ ini banyak ditemukan di prasasti kuno.
Pakar gastronomi dari Universitas Negeri Yogyakarta, Minta Harsana, mengatakan, rasa manis kicak membuatnya cocok sebagai penganan berbuka puasa. Karena itu pula, kicak digemari banyak orang sejak kemunculannya pada tahun 1950-an.
Dari penelusurannya, salah satu arti nama kicak bisa jadi berasal dari karakter manisnya itu. ”Kicak kemungkinan berasal dari kata kinca dalam bahasa jawa kuno, yang artinya gula jawa. Kata kinca ini banyak ditemukan di prasasti kuno,” katanya.
Kicak pun tak hanya berhenti sebatas penganan, tetapi ada nilai luhur di baliknya. Minta menyebut, tekstur ketan yang lengket pada kicak membawa pesan kepada semua orang untuk mempererat silaturahmi di bulan Ramadhan.
”Adapun rasa manisnya menjadi simbol keindahan. Jadi, pesan keseluruhannya, silaturahmi yang erat akan menjadi hal yang indah,” katanya.
Baca juga: Dari Nusantara Membumbui Dunia
Kicak pun dinilainya memiliki potensi untuk bersaing dengan kuliner-kuliner asing, seperti dari Korea dan Jepang, yang saat ini banyak digemari generasi muda. ”Tinggal perlu dikemas secara modern,” ucap Minta.
Dalam aspek lain, kicak juga menambah kekayaan makanan tradisional yang hanya ditemukan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Minta mengatakan, terdapat total 147 makanan tradisional yang tersebar di lima kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Setiap makanan itu pun memiliki cerita dan nilai masing-masing yang mempertebal kenikmatan saat menyantapnya....