Dari Nusantara Membumbui Dunia
Strategi membanjiri pasar global dengan bumbu Nusantara diyakini bisa mengakselerasi upaya memperkenalkan kuliner Indonesia di mata dunia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F30%2F1e1fee4b-c2d1-4e34-8ab8-3ca8064f654e_jpg.jpg)
Cosmos Silalahi mengecek bumbu-bumbu yang dijualnya di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Baru sekitar pukul 05.30, Pasar Senen, Jakarta, sudah tampak dinamis. Sejumlah kuli panggul hingga pengemudi sepeda motor silih berganti mengangkut aneka sayur dan buah-buahan. Di lantai dua dan tiga, beberapa pekerja yang berbaring dengan alas kardus mulai terjaga.
Cosmos Silalahi (50) juga sudah membuka toko meski pembelinya belum terlihat. Sepasang karyawan mengemas kecombrang, andaliman, dan asam cikala dengan plastik. Bahan-bahan bumbu segar yang biasa digunakan untuk masakan khas Batak itu sebagian besar dipasarkan ke wilayah Jabodetabek.
”Sekali-sekali ke Yogyakarta, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, malah sampai Papua,” ujar Cosmos saat ditemui, Jumat (29/9/2023). Bumbu masakan Indonesia sudah cukup menyebar hingga pesanan pun datang dari mancanegara dengan jasa titip, dipaketkan, atau sekadar minta dibawakan kerabat.
Cosmos juga memasok bahan-bahan bumbu segar itu ke Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Jerman. Namun permintaan ke luar negeri menurutnya tak menentu.
Baca juga: Kuliner Nusantara Berdialog dengan Zaman
Rata-rata kini dia menjual 2,4 ton kecombrang, hampir 1 ton andaliman, dan sekitar 200 kilogram (kg) asam cikala per bulan ke seluruh pelanggannya. Sebelum pandemi, angka permintaan dan penjualan jauh lebih tinggi. Sampai tiga kali lipat dari sekarang. Pascapandemi orang lebih suka membeli secara daring.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F30%2Fe6c4b6a9-17cc-49bd-a701-db3068a225c6_jpg.jpg)
Cosmos Silalahi mengecek bumbu-bumbu yang dijualnya di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (29/9/2023).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F09%2F4266aa7e-5eb8-43cc-ae0e-bd6d34fe670a_jpg.jpg)
Pedagang menunjukkan andaliman yang dijual di Pasar Medan Metropolitan Trade Center, Sumatera Utara, Senin (9/5/2022). Pamor andaliman yang merupakan bumbu masakan tradisional Batak itu terus meningkat dan semakin diminati di berbagai negara sebagai bumbu makanan premium.
Cosmos sendiri mulai berjualan bumbu-bumbu selepas tamat SMA dan merantau dari Medan, Sumatera Utara, pada tahun 1991. Dua tahun berselang, ia sepenuhnya berjualan sendiri menggantikan ibu dan kakak perempuannya yang balik kampung.
Dia pernah terpikir mencari nilai tambah barang dagangannya dengan terlebih dulu mengolah bahan-bahan bumbu segar tadi menjadi siap masak. Kecombrang, andaliman, dan asam cikala dikirim dari Medan. ”Kendalanya di lahan. Bisa saja bikin di Medan. Tapi nanti susah juga saya kalau harus bolak-balik,” ujarnya.
Bisnis bumbu sangat menjanjikan. Kuliner di Indonesia, selain sangat beragam juga membutuhkan banyak bumbu berbahan rempah-rempah serta aneka herba. Kuliner Batak hanya salah satu dari kuliner tradisional Tanah Air, yang membutuhkan bumbu masak sebagai kunci kelezatan cita rasa dan aroma.
Namun begitu, tak semua orang bisa memasak atau punya cukup waktu meracik sendiri bumbu-bumbu yang tepat. Dalam konteks itu keberadaan berbagai produsen bumbu racik sangat membantu para pencinta kuliner Tanah Air.
Ada beragam pilihan jenis bumbu dan merek terkenal serta legendaris bisa dipilih. Masing-masing produsen punya kekhasan cita rasa serta kelengkapan pilihan bumbu masakannya.
Ada pemain lama, ada juga pemain baru. Semua saling bersaing memperebutkan ceruk pasar yang terbilang besar. Mulai dari konsumen perseorangan, keluarga, restoran dan rumah-rumah makan, hingga bisnis katering atau hotel-hotel berbagai bintang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F29%2Fcd4ee440-0272-442c-99fc-fcc85ff5a042_jpg.jpg)
Bumbu racik dalam kemasan bermerek Munik berjajar di Jakarta, Jumat (29/9/2023). Munik adalah salah satu produsen bumbu racik asal Indonesia yang produknya telah diekspor ke beberapa negara, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Australia.
Salah satu produsen bumbu racik merek Munik termasuk yang pintar memanfaatkan ceruk pasar, terutama di kalangan masyarakat urban dan pekerja kantoran. Anggota tim komunikasi divisi bumbu PT Sarimunik Mandiri, Puput Dwi Waryanti, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (29/9/2023), mengatakan, masyarakat urban dan para pekerja kantoran tetap ingin bisa memasak. Namun, mereka tak punya cukup waktu dan energi. Akibatnya, bumbu kemasan menjadi penyelamat.
Sejak pertama berproduksi, hampir tiga dekade lalu, hingga kini bumbu racik merek Munik telah menghasilan sekitar 40 varian bumbu racik siap masak. Beberapa seperti bumbu ayam woku, laksa, teri kacang, sop buntut, semur, dan pepes ikan. Ada juga bumbu aneka nasi goreng, kuning, dan uduk, dan yang berbasis kacang, seperti pecel, gado-gado, dan ketoprak. Semua bisa dibeli dengan mudah di supermarket atau lokapasar.
Kisah produsen
Selain konsumen loyal masing-masing, setiap produsen bumbu racik juga punya kisah perjalanan dan perjuangannya sendiri. Perjuangan keras yang membuat mereka bisa tetap eksis hingga sekarang bahkan sampai mengantongi status legendaris, seperti produsen bumbu racik kering Tjik Oneh.
Ada beragam pilihan jenis bumbu dan merek terkenal serta legendaris bisa dipilih. Masing-masing produsen punya kekhasan cita rasa serta kelengkapan pilihan bumbu masakannya.
Bumbu satu ini spesialis menu masakan Minang. Keberadaannya terhitung sejak tahun 1960-an ketika sang pendirinya, Tjik Oneh alias Ahmadbi (1891-1991), pertama kali meracik dan mengemas bumbu-bumbu saset untuk dijual. Hingga kini merek bumbu ini terdiri atas empat macam, untuk membuat rendang, gule, opor ayam, dan kue spikuk.
Saat ini perusahaan keluarga yang dikelola generasi ketiganya ini sudah memasarkan produk-produk bumbu kering mereka ke tiga perempat wilayah Indonesia dan beberapa negara, seperti Singapura dan Malaysia. Hal itu disampaikan Komala Dewi (53) saat ditemui di kediaman keluarga sekaligus tempat memproduksi Tjik Oneh.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F28%2F5d060b1b-92bc-4be0-926d-4e2c6f1af5e9_jpg.jpg)
Para peserta wisata sejarah dan kuliner saat berkunjung ke rumah peracik rempah lendaris Tjik Oneh di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (17/09/2023).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F28%2Feb0fe208-61ed-4ff0-81bc-7fe44edb5903_jpg.jpg)
Kemasan racikan rempah khas Minang produksi Tjik Oneh yang masih dipertahankan hingga kini.
Bersama sejumlah peserta ”Bertamu ke Rumah Tjik Oneh”, Minggu (17/9/2023), Kompas datang berkunjung. Acara digagas pegiat kuliner yang juga pakar rendang, Uni Reno alias Reno Andam Suri. Menurut Komala, per bulan mereka bisa memproduksi 200-500 kilogram bumbu racik kering untuk memenuhi permintaan pelanggan.
Mereka meracik dan menjual bumbu keringnya hanya berdasarkan pesanan. Sejumlah waralaba restoran Minang besar menjadi pelanggan loyal merek Tjik Oneh selama ini. Namun demikian, mereka juga menjual bumbu racik dalam kemasan saset kecil seberat 75 gram dan juga satu ons.
Kemasannya pun sederhana berupa kertas coklat yang biasa dipakai bungkus kopi bubuk di masa lalu dengan dua stempel merek Tjik Oneh. Awalnya stempel merek hanya ada satu, tetapi lantaran banyak pemalsuan mereka menambahkan lagi satu stempel merek. Menurut Reno, keluarga Tjik Oneh memang terbilang ”lugu”.
Baca juga: Para penakluk keluak
”Mereka tak pernah memperkarakan secara hukum padahal merek mereka banyak dipalsu dan dijual bahkan di marketplace,” ujar Reno gemas.
Komala mengatakan, pihaknya tak ingin terlalu mempersoalkan dan lebih memilih konsisten menjaga kualitas produk mereka demi para pelanggan setia. Bahkan untuk mengiklankan saja mereka tak mau, walau tetap telah mendaftarkan paten merek mereka.
Semua dilakukan sesuai filosofi yang diajarkan Tjik Oneh dan orangtua Komala. ”Kami diajari jangan mencari untung tapi carilah berkah dari usaha ini,” kata Komala.
Nama Tjik Oneh dan mendiang suaminya, H Ismail, punya jasa besar terhadap negeri ini. Saat mereka masih tinggal di Kota Bukittinggi, keduanya merelakan rumah mereka dijadikan dapur umum bagi Pemerintahan Darurat RI (PDRI) saat ibu kota pindah dari Yogyakarta, 19 Desember 1948, bersamaan Agresi Militer Belanda II.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F17%2F6abc407d-b13c-40ad-9839-42fafec8a58a_jpg.jpg)
Para peserta menikmati sajiann masakan saat bertamu ke rumah peracik rempah legendaris Tjik Oneh di Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (17/09/2023). Pada kesempatan tersebut, tuan rumah menyuguhkan gulai kurma, ayam bakar bumbu rendang, serta sambal lado tanak yang disantap dengan nasi dari bareh Solok. Kegiatan ini untuk memperkenalkan sejarah Tjik Oneh sekaligus menikmati langsung masakan khas Sumatera Barat kepada para pencinta kuliner.
Setelah suaminya wafat, Ahmadbi pindah ke Jakarta dan sering diundang memasak oleh sejumlah tokoh, seperti pengusaha Hasjim Ning dan Moh Hatta saat mereka menggelar hajatan besar, termasuk saat Moh Hatta menikahkan salah seorang putrinya.
Pembawa kenangan
Walau belakangan berkembang menjadi bisnis serius, tak sedikit produsen bumbu pada awalnya memulai usaha secara kebetulan. Namun produk mereka terbukti diterima dan diapresiasi para pembeli. Sebagian bahkan menjadi pelanggan yang sangat loyal. Hubungan yang terjalin pun tak lagi sekadar antar produsen dengan konsumen melainkan jauh lebih personal lagi.
Seperti diceritakan Ruth Wijaya, bersama ibunya, Magdalena Nanik, mereka mendirikan usaha produksi bumbu racik aneka masakan Nusantara bermerek Mbah Djo. Usaha padat karya dan menyerap bahan baku lokal itu dimulai sejak 15 tahun lalu dan berbasis di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Saat ini ada 12 macam pilihan bumbu dan dua macam sambal merek Mbah Djo sudah dipasarkan bahkan sampai ke luar negeri. Per bulan mereka bisa memproduksi hingga 300 kilogram aneka bumbu.
Saya kerap termangu setiap mendengar kisah-kisah itu. Mbah Djo bisa jadi bukan yang terenak tetapi mampu memantik banyak kenangan sehingga konsumen menjadikannya pilihan terbaik. Ada rasa yang tinggal di lidah dan hati.
Ruth bercerita ada banyak kisah dari para pelanggan yang sampai ke telinganya terkait bumbu Mbah Djo. Satu waktu dirinya sempat ingin menghentikan produk bumbu opor ayam namun batal. Gara-garanya seorang pelanggan bercerita bumbu opor ayam Mbah Djo mengingatkannya pada masakan mendiang sang ibu.
Ada juga cerita sama tetapi terkait bumbu rawon. Pelanggan bumbu rawon tersebut bahkan berterima kasih dirinya bisa ”memperkenalkan” mendiang ibunya kepada cucunya lewat masakan rawon tadi.
“Saya kerap termangu setiap mendengar kisah-kisah itu. Mbah Djo bisa jadi bukan yang terenak namun mampu memantik banyak kenangan sehingga konsumen menjadikannya pilihan terbaik. Ada rasa yang tinggal di lidah dan hati,” ujar Ruth.
Strategi kunci
Saat ditemui terpisah di acara acara makan malam Masak Sehat Dengan Glutamat di Jakarta, Jumat (27/9/2023), pakar kuliner Indonesia dan chef senior William Wongso menyebut upaya memperkenalkan kuliner Nusantara ke luar negeri butuh strategi jitu. Salah satu yang bisa menjadi kunci adalah dengan strategi membawa dan memperkenalkan bumbu-bumbu racikan kuliner Indonesia ke pasar dunia.
Strategi seperti itu, menurut William, sudah lama diterapkan sejumlah negara di Asia, seperti Jepang, China, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam. Baik bumbu maupun kecap untuk masakan khas negara-negara tersebut dapat dengan mudah ditemui dan dibeli di luar negara-negara tadi.
Baca juga: Rawon dan kebrutalan yang nikmat
Bumbu racik kuliner khas Indonesia menurutnya juga bisa diperlakukan sama. William bahkan menyebutkan dirinya sudah sejak lama mengusulkan program ”Spice Up The World” dengan bumbu-bumbu kuliner Nusantara, yang banyak diproduksi termasuk oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
William mengingatkan pentingnya pembenahan besar-besaran di dalam negeri terutama terkait sektor perbumbuan. Dia menyarankan agar para produsen bumbu racik yang ada, termasuk skala UMKM, agar berjuang dan saling bersaing terlebih dahulu antarmereka di dalam negeri. Setelah membuktikan diri mampu bertahan, barulah mereka layak maju ke pasar dunia.
Sebagian bahan disumbang oleh intern Kompas, Aghniya Fitri Kamila, Mahasiswi Jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia