Adaptasi Rencana Tata Ruang Tekan Risiko Bencana yang Berulang
Mitigasi dan adaptasi perencanaan tata ruang adalah solusi guna menekan jatuhnya korban jiwa.
Fenomena geologi dan hidrometeorologi memicu bencana yang terjadi secara berulang. Mitigasi dan adaptasi perencanaan tata ruang adalah solusi guna menekan jatuhnya korban jiwa.
Indeks Risiko Bencana Dunia (The World Risk Index) menempatkan Indonesia pada peringkat kedua di tahun 2023 dengan skor 43,50. Peringkat pertama ditempati oleh Filipina dengan skor 46,86, sedangkan peringkat ketiga ditempati oleh India dengan skor 41,52.
Tingginya kerentanan terhadap bencana di Indonesia tak lepas dari potensi bencana yang sangat beragam dan jumlah penduduk yang besar sehingga berisiko tinggi terhadap jatuhnya korban jiwa. Selain faktor alam, kerentanan juga dipengaruhi oleh kesiapan sumber daya manusia dalam menghadapi ancaman bencana.
Sepanjang tahun 2023, sampai dengan 31 Desember, misalnya, jumlah total bencana yang melanda Tanah Air tercatat 5.400 kejadian. Dari jumlah tersebut, bencana kebakaran hutan dan lahan mendominasi dengan 2.051 kejadian.
Baca juga: Akibat Banjir Semarang, 630 Orang Mengungsi
Berikutnya, bencana yang dipicu oleh cuaca ekstrem 1.261 kejadian, banjir 1.255 kejadian, tanah longsor 591 kejadian, kekeringan 174 kejadian, serta gelombang pasang dan abrasi 38 kejadian. Selain itu, gempa bumi 31 kejadian dan erupsi gunung api 4 kejadian.
Bencana tersebut mengakibatkan 275 orang meninggal, 33 orang hilang, dan 5.795 orang menderita luka-luka. Selain itu, 8.491.288 jiwa mengungsi dan menderita. Bencana juga menyebabkan 47.214 rumah dan 1.291 fasilitas rusak.
Jumlah bencana yang terjadi sepanjang 2023 lebih banyak dibandingkan tahun 2022 sebanyak 3.544 kejadian. Namun, dampak bencana yang terjadi tahun 2022 jauh lebih tinggi karena menyebabkan 858 orang meninggal, 37 hilang, 8.733 luka-luka, serta 6.144.534 jiwa mengungsi dan menderita. Selain itu, 95.413 rumah dan 1.83 fasilitas rusak.
Pakar geologi independen Awang Harun Satyana mengatakan, turunnya jumlah korban jiwa di tengah meningkatnya bencana selama tahun 2023 mengindikasikan ada upaya mitigasi untuk menekan risiko bencana di Indonesia. Upaya mitigasi ini tentu sejalan dengan tingkat kesadaran dan pendidikan penduduk, termasuk para pemangku kebijakan.
”Peristiwa geologi yang memicu bencana di Indonesia antara lain gempa, tsunami, gerakan tanah, dan erupsi gunung api. Adapun peristiwa hidrometeorologi yang memicu bencana antara lain longsor, banjir, dan angin kencang,” ujar Awang pada kuliah tamu ”Potensi Bencana Geologi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sabtu (16/3/2024).
Baca juga: Gempa yang Terus Berulang
Awang mengatakan, hasil pemantauan gempa bumi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) selama 2023 di wilayah Indonesia menunjukkan aktivitas kegempaan sebanyak 10.789 kali dalam berbagai magnitudo dan kedalaman. Jumlah aktivitas gempa itu di atas rata-rata tahunan sekitar 7.000 kali.
Sepanjang tahun 2023, gempa yang dirasakan guncangannya sebanyak 861 kali, sedangkan gempa merusak terjadi 24 kali. Adapun gempa berpotensi tsunami terjadi dua kali di Saumlaki, Maluku, pada 10 Januari 2023, dan gempa Mentawai-Siberut, Sumatera Barat, pada 25 April 2023.
Peristiwa geologi lain adalah erupsi gunung api. Indonesia memiliki 127 gunung api aktif. Lebih dari 60 persen bahaya erupsi gunung api di Indonesia yang paling sering menyebabkan korban jiwa adalah lahar dan awan panas. Selain itu, 10 persen disebabkan lontaran batu, 8 persen abu vulkanik, 6 persen tsunami, dan 4 persen longsoran.
Sementara itu, terkait dengan bencana hidrometeorologi, sejumlah daerah di Indonesia pada awal 2024 ini banyak dilanda banjir parah, seperti Semarang, Pekalongan, dan Demak.
Selain curah hujan tinggi, banjir dipicu adanya land subsidence atau penurunan tanah secara terus-menerus di wilayah pesisir utara Jawa Tengah.
Saat bersamaan, banjir juga terjadi di Sumatera Barat pada 7-8 Maret 2024. Selain curah hujan, bencana ini dipicu deforestasi hutan yang mengakibatkan daya dukung lingkungan menurun.
”Hujan dengan intensitas tinggi yang seharusnya ditangkap oleh lahan hutan sekarang tidak bisa lagi karena adanya perubahan peruntukan lahan,” kata Awang.
Menghadapi tingginya potensi bencana geologi dan hidrometeorologi, lanjutnya, diperlukan upaya mitigasi yang tepat. Salah satunya, melalui perencanaan tata ruang untuk menekan risiko bencana dan mengurangi jatuhnya korban jiwa.
Contohnya, menyiapkan ketahanan bentang alam untuk menghadapi curah hujan tinggi agar tidak terjadi banjir bandang dan longsor. Contoh lain, memitigasi tsunami dengan menggencarkan penanaman mangrove di kawasan pesisir pantai.
Selain itu, perencanaan tata ruang bisa dilakukan dengan pembenahan kawasan hutan untuk memitigasi bencana longsor. Adapun pada bencana gempa dan erupsi gunung api, mitigasi bisa dilakukan melalui pemetaan kawasan rawan bencana.
Peta itu menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam mengatur tata ruang di wilayahnya, termasuk menentukan lokasi kawasan permukiman warga. Peta itu juga bisa jadi acuan masyarakat dalam menentukan konstruksi yang tepat saat membangun rumah ataupun gedung perkantoran.
Awang menambahkan, institusi-institusi terkait kebencanaan geologi Indonesia, baik PVMBG, BMKG, BRIN, maupun BNPB, telah melakukan upaya mitigasi, pemantauan kejadian, dan penanggulangan bencana.
Hasil pekerjaan institusi-institusi ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam pembangunan dan pengelolaan tata ruang guna mengurangi korban.
”Bencana akan terulang pada masa depan sebagai bagian siklus proses geologi,” ucap Awang.
Menurut dia, sudah banyak mitigasi bencana geologi yang dikerjakan sepanjang tahun 2023. Upaya itu antara lain memodernisasi dan mengembangkan sistem pemantauan gunung api sebanyak 12 unit sehingga total menjadi 1.063 unit, juga menambah empat pemetaan geologi gunung api sehingga total menjadi 116 peta.
Masih pada tahun 2023, dilakukan penambahan dua pemetaan kawasan rawan rencana (KRB) gunung api sehingga menjadi 111 peta. Selain itu, menambah empat pemetaan KRB gempa menjadi total 51 peta, menambah lima pemetaan KRB tsunami menjadi total 58 peta, serta menambah enam peta zona kerentanan gerakan tanah menjadi 12 peta.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga menambah tiga early warning system menjadi 11 unit, menyusun peta penurunan muka tanah sebanyak 16 rekomendasi, dan membuat peta zona kerentanan likuefaksi sebanyak 12 rekomendasi.
”Pemahaman yang baik terhadap geologi dan mekanisme kejadian bencana akan meningkatkan upaya mitigasi untuk mengurangi korban,” kata Awang.
Pakar bencana ITS, Amin Widodo, di sejumlah kesempatan mengatakan, bangsa Indonesia hidup di kawasan pertemuan lempeng tektonik yang aktif dan kawasan beriklim tropis. Artinya, masyarakat bermukim di kawasan rawan gempa, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, gerakan tanah, dan bencana lain.
Fenomena alam, baik peristiwa geologi maupun hidrometeorologi, memiliki kekuatan, periode ulang, bahkan lokasi dan jalur tertentu yang bisa dikenali. Oleh karena itulah, diperlukan adaptasi melalui perencanaan tata ruang yang memperhatikan potensi kebencanaan.
Bangsa Indonesia juga tinggal di kawasan dengan banyak hujan, angin, panas, air laut pasang, dan ombak besar yang terjadi setiap tahun. Kondisi tersebut diperparah munculnya fenomena La Nina, El Nino, serta badai siklon.
Amin menambahkan, hasil penelitian menunjukkan, fenomena alam, baik peristiwa geologi maupun hidrometeorologi, memiliki kekuatan, periode ulang, bahkan lokasi dan jalur tertentu yang bisa dikenali. Oleh karena itulah, diperlukan adaptasi melalui perencanaan tata ruang yang memperhatikan potensi kebencanaan.
Salah seorang peserta kuliah tamu, Ilham Alimuddin, memberikan masukan agar peta risiko bencana yang dikeluarkan oleh Badan Geologi lebih detail agar bisa dijadikan acuan perencanaan tata ruang yang disusun oleh pemerintah daerah.
”Salah satu tantangannya, kesadaran pimpinan di daerah untuk memanfaatkan atau mengimplementasikan peta kawasan rawan bencana yang dikeluarkan oleh Badan Geologi,” ucap Ilham.